"Bangsat!" Umpat begitu saja atas kemarahan besarnya.
"MAS!!" Pekik Inara marah.
"Mulutmu itu loh, dijaga!" Sambungnya sambil memberikan tatapan tajam.
"Bagaimanapun Mbak Qaisa, itu tetap Kakaknya kamu. Saudara sedarah denganmu. Biarin aja kalau mereka gak peduli sama Dana. Kita kan masih ada. Anggap aja ini juga salah satu ujian dalam hidup kita. Kita harus siap untuk menjaga Dana sendirian, siap untuk menggantikan posisinya Mbak Qaisa," petuah Inara dengan panjangnya. Ia tak pernah mendukung keributan antara suami dan kakak iparnya itu, meski hal tersebut sangat sering terjadi dalam kehidupan mereka. Ada saja yang mereka peributkan.
"Tapi ini udah keterlaluan, Nara. Sepenting apapun pekerjaannya, masak sampe harus seacuh ini sama anak sendiri? Dia cuma punya satu loh, kalau ini pergi, gak ada penggantinya."
"Maksud kamu ngomong gitu apa? Siapa yang pergi? Siapa yang mau digantikan? Gak ada! Dana bakal terus bersama dengan kita, dengan orangtuanya." Inara mungkin masih sanggup mengontrol emosinya dalam masalah lain, tapi jika itu sudah menyangkut dengan Dana, lalu mengarah ke hal yang negatif. Mohon maaf, ia juga bisa tersinggung layaknya manusia biasa.
"Maksud Mas gak gitu, Ra!" Faizan frustasi dibuatnya.
"Udahlah, Mas. Mbak Qaisa juga kerja buat Dana. Terlepas dari apapun kedua orangtuanya sangat sanggup memenuhi kebutuhan finansial Dana. Mereka memang belum berhasil memberikan Dana kasih sayang yang seutuhnya, tapi mereka juga gak pernah membuat Dana merasa kekurangan."
"Nara! Uang bukan segalanya."
"Jangan ribut, Om, Bunda!" Suara lirih yang diiringi derap langkah itu sukses mengalihkan perhatian mereka. Menghentikan pertikaian sepele itu dengan seketika.
Dari arah tangga, Dana baru saja turun dengan perlahan, lantas kini sedang menuju ke arah mereka. Ia memberikan senyum tipis, menambah sedikit rona pada wajahnya yang masih pucat.
"D-dana?" Inara sampai terbata, sebenarnya juga sekaligus lega. Akhirnya Dana keluar dari kamarnya, akhirnya suara anak itu bisa kembali di dengar olehnya.
"Dana kenapa? Dana lapar? Mau makan? Bunda buatin, ya?" Tanyanya langsung saat Dana baru mendudukkan diri.
Anak itu menggeleng pelan.
"Nanti aja, Bun. Dana cuma lagi pengen keluar. Sudah lama, kan?" Tidak memperlihatkan dirinya kepada orang rumah.
"Capek, ya? Ngehubungin orang tua Dana? Udah, gak perlu dipaksa. Dana udah mengirimkan hasil test itu ke mereka. Terserah kapan mau dibaca, dan terserah kapan mereka mau tau."
"Percuma marah sama Mama dan Papa, mereka juga punya kesibukannya sendiri. Terkait dengan sakitnya Dana juga sudah suratan Takdir. Marah gak akan membuat kanker ini hilang, kan?"
"Ada atau tidaknya mereka, Dana masih punya kalian, kan? Dana masih punya Bunda, punya om Faizan, yang udah sangat baik dan sangat berpengaruh dalam hidup Dana. Terima kasih karena terus membersamai Dana dalam titik terendah ini. Terima kasih sudah memberikan Dana waktu untuk mencari ketenangan, dan terima kasih sudah mengajarkan Dana tentang betapa pentingnya bangkit dari keterpurukan."
Panjangnya kalimat yang ia rangkai sukses mengunci tatapan dari kedua insan yang berada di dekatnya. Tatapannya kini begitu tulus, hingga mampu menyelami ke dalam netra yang lain.
"Dan, kami lebih berterima kasih kepada kamu. Terima kasih karena sudah menerima, terima kasih sudah kembali."
Sambil menahan haru, Inara langsung berpindah ke samping Dana. Mengelus pelan tangan anak itu dan menggenggamnya. Kebahagiaannya bukan karena penyakit ini bisa disembuhkan, tapi karena Dana setidaknya sudah mau berjuang. Sudah tak lagi tenggelam dalam pedihnya sebuah luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐀𝐍𝐀𝐃𝐘𝐀𝐊𝐒𝐀 [✓]
Teen FictionPernah merasakan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dianggap ada, atau semacamnya? Pernah melakukan sesuatu yang sudah sangat sesuai dengan apa yang didambakan seseorang, namun tetap tak dipandang olehnya? Jika pernah, itu artinya kita sama. Lelah...