Sepeninggal Archie untuk menjemput Rein, Siri sibuk dengan dirinya sendiri yang menggila. Dia menangis karena perasaan yang membuncah aneh. Siri tak suka perasaan yang tidak sinkron sama sekali. Pikiran dan hatinya bertolak belakang. Kehidupan sepertinya tidak memberikan Siri waktu untuk bisa beradaptasi dengan kekacauan yang ada. Hingga menangis adalah satu-satunya cara yang bisa Siri lakukan agar bisa menumpahkan emosi yang ada.
"Babe? Lo ngapain?" Jeje masuk ke dalam kamar Siri dan mendapati wanita itu menangis tanpa adanya Archie.
"Kok, lo masuk, Je?"
"Laki lo yang suruh. Dia takut lo kabur pas dia lagi jemput anaknya."
Siri mengusap wajahnya frustrasi. Tangisannya menjelaskan betapa ia sedang dirundung masalah yang tidak mudah.
"Lo kenapa, sih, Babe? Laki lo sampe takut lo kabur. Kalian sebenernya apa, sih?" tanya Jeje dengan gerakan dramatis.
"Gue udah kasih nomor hape dan dia masih takut gue kabur. Dia masih nggak percaya sama gue, Je."
"Gimana mau percaya, lo aja nggak mau jujur sama dia. Dibawa ke rumah sakit nggak mau, mana katanya masih nolak liat mukanya. Gimana dia bisa sepenuhnya percaya sama lo?"
Balasan dari Jeje membuat Siri menatap kosong ke depan. Siri memang tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya dia inginkan, kegamangan yang dirasakannya kini bukan hal yang main-main. Namun, disatu sisi dia tak mau melepaskan Archie dan Rein.
"Salah gue berarti, ya, Je?"
"Ini bukan masalah bener atau salahnya, Siri. Tapi lo nggak aneh. Lo bilang masih nggak yakin, tapi lo juga kasih nomor hape ke Archipelago sebelum dia jemput anaknya. Sekarang dia udah semangat dan lo nangis dengan isi pikiran dan perasaan yang nggak bisa orang lain ngerti. What do you want, Babe?"
Siri menatap Jeje dengan matanya yang merah. "I want him, I want us."
"Then tell him!"
"Gue mau mereka, hubungan ini, but you know ... there's always 'tapi' dalam kamus hidup gue, Je."
Jeje berhenti untuk berkata dengan menggebu kali ini. Dia memberikan balasan dengan nada pelan yang mungkin lebih bisa Siri terima dengan baik. "Untuk kali ini, gue mau lo bahagia. Jangan lagi menjadi Artemisia Sirius yang hobi menyakiti diri sendiri karena takut menerima cinta orang lain. I'm believe with him, Archipelago Cakra. Gue yakin dia bisa jaga dan pakai otaknya ketika tahu semuanya. Before that, just have fun. Life too short, Siri. Kalo bukan sekarang kapan lagi?"
Siri menatap Jeje, meski tahu bahwa dia memang menginginkan Archie dan Rein, keraguan itu masih ada di dalam diri Siri. Luka itu tidak akan mudah untuk ditaklukkan. Namun, jika Siri tak mencobanya, kapan dirinya bisa tahu prosesnya?
*
Archie begitu bersemangat ketika menginjakkan kakinya di rumah yang dirinya tinggali bersama sang mama. Langkahnya ringan dan mempercepat diri ketika menuju kamar Serein yang ternyata sedang tertidur. Biasanya anak itu tidak akan nyaman jika dibangunkan, tapi Archie yakin selalu ada pengecualian jika menyangkut Siri.
"Rein ... Moma Siri mau ketemu sama kamu." Archie menyampaikannya dengan bisikkan. Anak itu tak akan suka jika dibangunkan dengan cara yang buru-buru dan mengejutkan.
Archie mengelus kepala putranya dan menunggu respon seperti apa yang akan Rein berikan.
"Moma Siyi?" sahut Rein dengan lirih.
Tebakan Archie benar jika anak itu akan selalu suka dengan sebutan moma Siri. Meski tak tega, tapi Archie lebih tak tega jika Rein melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Siri.
"Iya. Moma Siri mau ketemu dan main sama Rein. Kamu mau ketemu moma, nggak?"
Rein mengangguk-anggukan kepala dengan mata yang sekarang digosok menggunakan tangan mungilnya. "Au, Popa."
Senyuman Archie langsung tercetak dengan jelas. Bahagia rasanya menemukan momen seperti ini.
Archie segera membawa Rein untuk merapikan diri, tidak rumit, hanya menggantikan pakaiannya dan membawa pakaian cadangan karena Rein pasti akan mengotori apa yang dipakainya dengan sisa noda makanan.
"Kamu mau bawa Rein kemana?" tanya Dewinta ketika mendapati putranya mengajak Rein untuk berganti pakaian dan menyiapkan kebutuhan cucunya itu.
"Ketemu momanya Rein, Ma."
Jawaban Archie masih saja tidak benar-benar diiyakan oleh Dewinta. "Serius yang ini? Tapi nggak masalah, sih. Mama tetep mau kamu coba temuin calon yang mama pilih."
Archie meniru apa yang Dewinta lakukan—tidak menanggapi serius mengenai calon pilihan mamanya. "Ya, serius. Terserah Mama juga, sih, urusan perjodohan itu. Aku cuma perlu batalin kalo calonku yang ini berhasil."
Rein menyandarkan tubuh pada sang papa sepenuhnya. Digendong dengan perasaan yang menanti pertemuan dengan moma Siri-nya.
"Oke. Nggak perlu mama ingetin berkali-kali lagi, ya. Saat tanggal pertemuan nanti kamu harus tetep datang dan kenalan dulu sama calon yang mama kenal, ya. Kalo nggak cocok dan memang udah serius sama yang kamu mau, tolak baik-baik."
"I know, Mom." Archie membawa tas kebutuhan Serein di lengan kiri dan menggendong anaknya di lengan kanan. "Aku berangkat dulu. Mama bisa punya waktu luang buat diri sendiri selama Rein pergi sama aku."
"Oke. Hati-hati bawa mobilnya. Jangan kasih makanan sembarangan buat cucu mama yang paling lucu."
Rein memajukan tubuhnya untuk mencium neneknya dan memeluk singkat sebagai salam perpisahan. "Babai, Yeyek!"
Dewinta mengangguk dan mengusap pipi cucunya sekilas. Anak selucu Rein tidak pernah mendapatkan perhatian dari ibunya dan bahkan perempuan yang melahirkannya itu tak pernah datang untuk mengetahui kabar Serein.
"Ibu macam apa yang nggak cari keberadaan anaknya? Setelah cerai, nggak peduli sama sekali kondisi anaknya." Dewinta meratapi punggung Archie yang semakin menjauh. "Semoga kali ini kamu dapat kebahagiaan yang penuh, Archie."
*
"Moma Siyi imana, Popa?" Dengan wafer kesukaannya Rein bicara tak jelas pada papanya.
"Di rumahnya. Kita main ke rumah moma Siri, ya. Nanti kamu bisa main tapi ikutin aturan moma Siri. Oke?"
"Oceee!" sahut Rein dengan gembira.
Kebahagiaan itu menular pada Archie. Mereka bersenandung dengan lagu anak-anak yang Archie putar dan dinyanyikan oleh anak itu dengan pengucapan yang tidak jelas. Terlebih hanya kata akhir saja yang bisa disebutkan oleh Rein karena belum fasih bicara.
Melihat putranya yang bisa bertumbuh meski tanpa peran seorang ibu, Archie bertanya-tanya dalam hati kenapa Serein tidak pernah menanyakan kemana ibunya. Anak itu bahkan terhitung sangat tenang hidup tanpa sang ibu. Berbeda sekali ketika Archie masih terikat dengan istrinya. Rein dulu lebih sering sakit-sakitan, keluar masuk rumah sakit dan tidak pernah tidur dengan nyaman. Hobi Serein dulu adalah menangis dan membuat ibunya berteriak seperti orang gila karena tangisan Rein tak kunjung mereda.
Sekarang, Rein lebih nyaman dengan apa yang ia punya. Meski hanya memiliki popa dan nenek, Rein justru terlihat bahagia.
Keputusan Archie memang benar untuk menceraikan wanita yang tidak tahu bagaimana cara menyayangi anaknya sendiri. Berbeda dengan Sirius yang langsung memberikan cinta pada Rein.
Semoga saja Archie dan Siri bisa membangun hubungan yang utuh dan bisa saling mencintai ke depannya. Semoga saja tidak ada gangguan dari mantan istri Archie yang sekarang berada di masa puncak karirnya. Harusnya wanita itu bahagia bisa mendapatkan kehidupannya kembali tanpa sibuk memikirkan anaknya, kan? Jadi seharusnya tidak ada alasan bagi wanita itu untuk kembali.
[Nanti malem cek Karyakarsa 'kataromchick' buat baca special chapter 10, ya. Agak sedep2 basah gitu💋]
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's In Hurry / Tamat
ChickLitPerkenalkan Archie, seorang duda beranak satu yang didorong orangtua untuk segera menikah kembali karena tak mau cucu mereka mendapati kebiasaan one night stand Archie yang semakin menjadi. Bertemu dengan Siri, pemilik bisnis khusus 'kewanitaan' ya...