CH. 35

3.4K 769 12
                                    

Siri tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya mengetahui betapa rusak dirinya. Menghadapi pemikiran yang buruk bukanlah hal mudah dan Siri juga tak siap dijustifikasi sebagai seorang pesakitan oleh anaknya sendiri yang baru dia ketahui asal usulnya. Hanya Jeje yang bisa dia mintai bantuan untuk melindunginya dari dunia luar yang mungkin tak bisa menerima kondisinya.

"Je ..."

"Ssstttt, udah. Jangan mikir macem-macem, gue udah handle semuanya."

Jeje tak mau jujur bahwa dirinya hanya perlu menghubungi Archie untuk tak salah paham dengan sikap Siri yang langsung meninggalkan Rein tanpa penjelasan. Jeje paling tahu, Siri akan sulit berkonsentrasi dalam kondisi seperti ini.

"Anak gue ... gimana, Je?"

Jeje menggenggam tangan Siri dan memberikan kalimat paling penting untuk Siri dengar.

"Anak lo akan selalu menunggu, Siri. Kalo lo mau anak lo bahagia, maka lo harus bahagia lebih dulu. Itu bukan egois, tapi itu cara supaya anak lo nggak terbawa dengan versi lo yang tertekan. Oke?"

Siri belum menanggapi, dan Jeje meneruskan kalimatnya. "Ambil waktu yang lo butuhin, bahagia dulu, lega dulu, baru lo ketemu sama anak lo. Gue urus semuanya. Tenang aja. Lo tahu kalo gue selalu bisa lo andalkan dari dulu. Jadi, fokus sama kesehatan lo. Gue udah hubungi terapis lo yang ada di Indo."

Depresi yang dialami oleh Siri sebenarnya dipicu banyak hal yang selalu dipendam tanpa penyelesaian. Jeje tidak pernah tahu pasti cerita luka yang ada di kepala Siri, karena terapi bertahun-tahun yang dijalani wanita itu memang sangat menjunjung privasi dan Jeje juga tak mau terlalu dalam tahu penyebabnya. Jeje menyimpulkan secara garis besar saja untuk menemani Siri yang selalu menyembunyikan kondisinya dari orang lain, bahkan orangtuanya sendiri.

"Udah, duduk dan jangan panik. Gue minta Mila jaga di depan kamar lo, ya. Gue mau turun sebentar buat nunggu terapis lo."

Siri mengangguk samar dan tidak keberatan dengan Mila yang akan menunggu di depan kamarnya.

*

Archie melihat notifikasi panggilan di ponselnya yang berasal dari Jeje. Dia segera menerima panggilan itu dan mendengarkan apa yang manajer Siri itu sampaikan.

"Archie," panggil Jeje.

"Ya. Gimana kondisi Siri? Kenapa lo nggak libatin gue untuk ngurus Siri, Je!?"

Ada perasaan tak terima karena Jeje berjalan sendiri tanpa melibatkan Archie yang akan menjadi bagian dalam hidup Siri juga kelak. Apalagi setelah mengetahui siapa Serein sebenarnya, membuat Archie semakin mencintai perempuan itu-ibu dari anak-anaknya.

"Sorry buat itu, tapi gue mau lo kasih pengertian ke Rein dan mama lo. Siri nggak bermaksud jahat, dia nggak mau kelihatan sakit di depan anak kalian. Makanya dia minta gue bawa dia pergi dari rumah mama lo tadi. Gue juga nggak bisa paksa Siri buat nerima lo untuk ngurusin dia yang panik. Gue nggak mau Siri makin berpikiran macem-macem saat lihat ekspresi sedih lo."

Archie mendesah lelah, mengusap wajahnya penuh rasa frustrasi.

"Gue agak nggak terima karena lo sibuk ngurusin Siri sendirian tadi. Gue agak kepancing emosi juga tanpa sadar."

"Hm, gue paham. Ini kondisi baru yang lo alami. Tapi ini bagian diri Siri sejak lama. Jadi, lo harus terbiasa kalo Siri belum bisa langsung minta bantuan ke lo. Dia maunya kelihatan sempurna di mata lo dan anak kalian, Archie."

Archie tidak meragukan betapa mengagumkannya Siri. Kepribadian kuat yang wanita itu tunjukkan selama ini, itu adalah daya tarik yang Siri punya. Namun, bagian tak sempurna Siri juga diakibatkan oleh kelakuan mantan istri Archie juga. Dikhianati seorang teman yang dipercaya dan kehilangan anak disaat seluruh hormon perubahan terjadi dalam tubuh wanita itu pastilah berat.

"Gimana kondisinya sekarang, Je?" tanya Archie yang mulai tenang.

"Butuh waktu, ini juga terapisnya baru datang. Gue monitor keadaan Siri sama lo, tenang aja. Kasih penjelasan juga ke anak kalian yang sayang banget sama Siri, ya. Jangan sampe anak kalian takut deketin Siri yang beda banget dari Siri yang biasanya."

Archie mengangguk meski Jeje tak bisa melihatnya. "Hm, ya. Serein ketiduran karena capek nangis."

"Mama lo, gimana? Dia pasti nggak paham kondisi Siri yang diluar perkiraan. Soalnya tadi dia sempet marah karena nggak terima sama sikap Siri."

Archie memandangi mamanya yang masih melamun pasca keributan yang terjadi di rumahnya.

"Masih diem. Belum ada komentar apa pun, tapi gue bakalan jelasin ke dia."

"Ya, secepatnya jelasin. Siri nggak bisa mengontrol dirinya sendiri, jadi jangan sampe mama lo punya pikiran picik sama calon menantunya."

Archie tidak bisa memprotes ucapan Jeje mengenai mamanya. Mungkin saja mamanya merasa Siri tak pantas dijadikan menantu karena sikap tak disengaja Siri tadi. Archie-lah yang harus memastikan sendiri supaya mamanya tidak berpikir macam-macam.

"Oke. Thanks udah kasih penjelasan, Je."

"Ya, gue monitor terus kondisi Siri. Jangan langsung dateng kalo info dari gue nunjukkin Siri belum benar-benar baik buat ketemu orang. Lo harus super sabar kalo emang mau sama Siri."

"Ya, gue tahu." Secara tak langsung Jeje memberikan ultimatum agar Archie tidak menjadi labil dan urung membangun hubungan dengan Siri karena melihat sisi Sirius yang semacam itu. Archie mencintai Siri, pria itu sangat yakin demikian. Kondisi Siri juga bukan karena disengaja, jadi Archie akan belajar sabar untuk menemani Siri.

Setelah panggilan berakhir, Archie mendekati mamanya dan duduk di samping wanita itu.

"Ma," panggil Archie.

"Siri beneran ibu kandung Serein?" tanya Dewinta langsung.

Archie mengangguk. "Iya, Ma."

"Permainan apa, sih, yang mereka lakukan!? Antara Virginia dan Siri, mereka sama-sama kelihatan salah di mata mama!"

Dewinta tidak menutupi rasa kecewanya terhadap Siri dan Virginia.

"Siri berbeda, Ma. Dia pernah merelakan rahimnya untuk mengandung bayiku karena Irgi didiagnosa nggak bisa memiliki keturunan. Irgi yang sejak awal berbohong dan memanfaatkan Siri."

Sulit sekali untuk percaya bahwa ternyata Rein adalah anak yang dikandung Siri. Dewinta masih merasa semua ini adalah permainan semata.

"Mama benci sama Siri?" tanya Archie.

Dewinta tidak menjawab pertanyaan Archie dan justru balik bertanya, "Apa orangtua Siri tahu bahwa putrinya sudah pernah melahirkan sebelum kehamilan yang ini?"

Archie menggeleng. "Kondisi itu cuma manajernya yang tahu, Ma."

Dewinta berdecak. "Hobinya suka ngumpetin masalah!"

"Ma, aku nggak akan mundur kalo mama keberatan dan ingin menarik restu untuk Siri. Bagaimana pun Siri adalah ibu dari anak-anakku. Meskipun banyak drama yang terjadi, tapi ini sudah takdir, Ma. Aku nggak mau menjauhkan Rein dari mama kandungnya. Sudah cukup penderitaan Rein yang selama ini diurus wanita yang nggak menyayanginya."

Dewinta terdiam, tidak bisa berkata apa-apa karena pikirannya masih melayang terbagi pada semua kejadian yang cepat sekali disaksikannya.

"Dia kabur dari Rein tadi," ujar Dewinta. "Mama nggak suka dia main pergi gitu aja."

"Siri pernah depresi karena pengkhianatan Irgi dan kehilangan anak, Ma. Kondisinya rumit." Archie mengusap tangan mamanya. "Aku nggak mau memaksa mama untuk memahami kondisi Siri yang berbeda dari perkiraan. Aku cuma mau mama nggak menyakiti Siri dengan kata-kata atau tindakan apa pun ke depannya. Aku sayang mama, aku juga sayang Siri, dan begitu juga Rein. Aku nggak mau ada yang saling menyakiti, Ma."

Dewinta tidak menanggapi dan hanya menghela napasnya saja. Dan Archie tahu, mamanya masih berat memberikan kesempatan bagi Siri masuk menjadi anggota keluarganya setelah mengetahui hal ini. Namun, Archie tetap akan berjuang untuk cinta yang ia miliki pada Siri.

[Bab 46 sudah up di Karyakarsa, ya. Happy reading 💕]

Daddy's In Hurry / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang