CH. 48

3K 625 25
                                    

Archie sudah menata dan merancanakan dengan baik kepindahan mereka menuju rumah baru. Hanya perlu beberapa item untuk mengisi rumah mereka dan tentu saja hal itu bukan milik Archie seorang. Siri juga berhak menentukan barang apa saja yang harus dimiliki di rumah mereka yang baru. Semua pertimbangan untuk dimasukkan ke dalam rumah yang tidak main-main sudah Archie persiapkan dengan matang. Meski memang kepindahan ini didasari rasa cemas berlebih dalam diri Archie, hingga bisa dikatakan terburu-buru, mereka tetap tak sembarangan membangun luar dan dalam rumah impian keluarga kecil itu.

"Bagusnya nggak usah dikasih barang apa-apa buat ruang main si kakak sama adek nanti, ya, Popa?" tanya Siri yang sedang mempertimbangkan barang apa yang harus dibeli untuk ruang bermain Rein dan calon adiknya.

"Kosong aja? Emangnya nanti kita nggak ngawasin? Kamu kalo ngawasin Rein main mau duduk lesehan di bawah? Apalagi kalo nanti perut kamu makin besar, Star. Mau duduk di karpet aja? Atau malah di lantai?"

Siri menatap suaminya dan menggumam, "Iya, sih. Aku susah juga kalo nanti duduk tanpa kursi atau sofa."

Serein tidak diizinkan bermain sendiri apa pun alasannya. Hal itu untuk meminimalisir kemungkinan anak itu mencari sesuatu untuk dipegang atau menarik rasa penasarannya tanpa mengerti betul benda yang dipegangnya.

Archie juga rencananya akan menyewa jasa pengasuh untuk membantu istrinya di rumah nantinya. Kesibukan Siri dan Archie jelas akan bertambah dengan kelahiran bayi mereka yang kedua, Rein harus mendapatkan teman untuk mengawasi kegiatan anak itu. Archie juga terkadang tidak bisa di rumah sepenuhnya untuk membantu Siri. Perusahaan Siri juga membutuhkan perhatian yang lebih untuk terus beroperasi, meski Jeje ada di sana, ketuanya adalah Siri. Archie tidak akan membatasi kesibukan wanita itu meski mereka sudah resmi menjadi pasangan. Namun, Siri juga harus sadar diri dengan tugasnya menjadi seorang ibu dan istri yang sejatinya mengurus urusan rumah secara detail.

"Aku akan ambil sofa bed supaya bisa istirahat juga di sana. Bolak balik ke kamar juga mungkin kelamaan."

Archie mengangguk setuju. Pria itu memilih model yang luas, juga warna yang gelap, supaya tidak mudah kotor karena ulah anak-anaknya nanti.

"Aduh, Sayang, aku udah kebelet pipis lagi!" Siri buru-buru memberikan gandengannya dengan Rein pada sang suami.

"Lagi?" tanya Archie bingung.

Kehamilan memang membuat Siri lebih sering buang air kecil dan sulit sekali untuk menahannya. Disaat genting begini juga Siri akan buru-buru untuk menuntaskan keinginannya di kamar mandi.

"Iya. Tunggu di sini dan jagain anak kita!"

Archie mengangguk dengan pasrah pada perintah istrinya yang cantik dan menawan itu.

*

Siri berusaha untuk tetap hati-hati meski dirinya sulit mengendalikan diri dalam urusan kantung kemih yang menumpuk isinya. Dia sadar betul sedang membawa satu nyawa lainnya yang harus senantiasa dijaga dengan penuh rasa waspada dan hati-hati. Sama seperti Siri ketika melangkah ke kamar mandi yang kosong. Dia sangat rumit untuk urusan kamar mandi. Harus ada air dan tisu karena Siri tak suka bekas basah di celana dalamnya sehabis buang air. Untung saja kamar mandi yang digunakannya sekarang memenuhi seluruh standar kerumitan Siri.

Selesai dengan agendanya, Siri membawa langkahnya untuk lebih dulu menatap penampilannya melalui cermin yang tersedia. Wanita itu memastikan riasannya tidak bergeser dan harus rapi karena begitulah yang bayinya inginkan.

"Done." Siri berbalik dan baru mendapati dua langkah untuk keluar ketika di depan sana seseorang menghadangnya.

Tubuh Siri merespon dengan bergetar. Siri tahu siapa sosok itu. Dia tidak akan lupa dengan pria yang membuatnya takut dengan ikatan.

"Apa kabar, Siri? Kamu masih ingat kekasih tercintamu ini, kan?"

Berat sekali rasanya untuk berlari, kaki Siri seakan dipaku di lantai dan membuatnya sulit bergerak kemanapun. Tubuhnya kaku dan bertahan di posisi yang sama.

Demoz mendekatinya, membuat Siri semakin merasakan ketakutan menyebar di dal dirinya. Pria ini, pria yang membuat Siri depresi dan kehilangan jati diri. Pria yang membuat Siri sempat memilih melajang dan tak mau menikah. Pria yang membuat Siri memilih untuk lebih baik memiliki anak saja tanpa bersuami.

"Kenapa, Sayang? Kenapa kamu terlihat ketakutan?"

Sesungguhnya Siri ingin menampar pria itu. Ada amarah yang menggumpal sejak lama dan rasa kecewa dari perlakuan Demoz yang melecehkannya dulu. Pria itu membuat Siri seperti pemuas nafsu tak berharga dan mengintai kepercayaan diri Siri hingga ke titik paling rendah. Namun, jika Siri menuruti ketakutannya, hal gila apa lagi yang akan dilakukan oleh pria kejam itu?

"Sirius, I'm still in love with you. Tidakkah kamu sadar kalo aku mengagumi kamu sejak awal pertemuan kita? Aku mencintai kamu sampai aku nggak rela pria lain melihat kamu dengan cara berlebihan. Kamu milikku, Sirius. Kamu adalah wanita yang aku puja sepenuh hati—"

Plakkk! Siri akhirnya melayangkan tamparan keras ke pipi kanan Demozza. Pria itu pantas mendapatkannya.

"Apa yang kamu lakukan di sini!? Kamu harusnya membusuk di penjara!"

Demoz menyentuh pipinya yang terasa perih. Bagi pria itu, tamparan tersebut tak seberapa dibandingkan rasa kagumnya terhadap Siri.

"Wow! You're more powerful than before. Kamu bisa menampar aku sekarang, Sayang. Aku nggak nyangka kamu bisa melakukannya."

"Dasar pria gila! Kamu nggak normal, apa kamu tahu itu!?" balas Siri dengan kebencian yang tercetak jelas di wajahnya.

"Apa kamu tahu aku gila karena siapa? Kamu. Aku menggilai kamu sampai rasanya kepalaku akan pecah kalo bukan aku yang memiliki kamu, Sayang."

Siri menghindar ketika Demoz berusaha menyentuh pipinya. Tatapan jijik menghinggap di manik Siri.

"Jangan berani kamu menyentuhku!"

Demoz tertawa pelan. "Kenapa? Karena sudah ada pria selain aku yang menyentuh kamu? Apa pria itu mampu memuaskan kamu? Apa dia tahu, kalo wanita yang dinikahinya pernah berhubungan intim denganku, dengan cara yang nggak wajar? Apa pria kamu tahu, kamu pernah berulang kali keguguran karena menikmati seks—"

"AKU NGGAK PERNAH MENIKMATINYA BAJINGAN!!!" teriak Siri frustrasi. Siri tidak mampu mengendalikan diri lagi. "AKU NGGAK PERNAH MENYUKAINYA!!! AKU KESAKITAN DAN KAMU MENYIKSAKU!!!"

"Kamu membantahku, Siri. Seandainya kamu menerima semuanya, nggak akan ada janin yang terbunuh karena ulahmu. Kamu membunuh anak kita karena ketidakpatuhan kamu. Kamu membunuh anakku—"

"TIDAK!! KAMU PELAKUNYA!!!"

Demoz menatap mantan kekasihnya dengan kecewa. "Aku tulus mencintai kamu, Siri. Tapi kamu mengkhianati cinta kita dan merusak hidupku. Kamu membuat keluargaku terpuruk karena rekaman yang kamu buat. Kamu meminta Virginia untuk menghancurkan aku. Kamu adalah dalang dari kehancuran hidupku."

"DIIAAAAMMM!!!"

Demozza akan bicara jika saja Archie tidak mengganggunya. Pria itu sudah datang dan menghajar wajah Demoz detik itu juga.

"Brengsek!!!"

Siri tidak bisa melihat sekitarnya dengan baik karena tatapannya mulai menggelap dan tidak seimbang lagi.

"Ar—Archie ...."

Nama itu yang terakhir kali Siri ingat sebelum kesadarannya hilang dan tidak kembali dalam jangka waktu yang cepat.

Daddy's In Hurry / TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang