Saat mereka sampai di kantor—rumah Siri—Jeje langsung menarik lengan wanita itu dengan rasa penasaran tinggi. Archie yang mendapati hal itu langsung melotot pada Jeje. "Jangan kasar!"
Semua orang tahu betapa Archie terlihat sangat bucin dengan sikap protektifnya pada Siri. Tidak mengizinkan orang lain bersikap kasar pada wanita itu adalah hal utama yang didambakan para kaum hawa.
"Astaga, sorry nggak sengaja nariknya terlalu keras tadi."
"Nggak ada alasan. Lain kali jangan kasar dengan Siri, kondisinya juga masih lemah."
Jeje menatap Siri yang hanya tersenyum penuh kemenangan. Wanita itu tidak mau membela Jeje yang sudah pasti ingin mengorek sesuatu dan pastinya berhubungan dengan dua jam yang Siri habiskan bersama Archie.
"Okay, okay. Tapi gue mau ngomong berdua sama Siri."
Archie yang sebenarnya sedang dimintai izin oleh Jeje untuk membawa Siri lebih memilih memastikan semuanya pada wanita yang sangat dipedulikannya itu. "Kamu mau bicara berdua sama Jeje? Kalo kamu nggak mau, jangan maksain diri. Kamu bisa istirahat di atas."
Siri mulanya ingin menghindari Jeje, tapi melihat manajernya yang memohon dalam tatapannya membuat Siri tak tega.
"Aku ke ruangan Jeje, kamu naik ke atas duluan sama Rein, ya."
Siri mengira dia bisa ke ruangan Jeje tanpa halangan, tapi saat mendapati Serein dalam gendongan Mila sedang menuju ke arah mereka maka segala hal bisa ditunda demi anak menggemaskan itu.
"Moma Siyi!" seru Rein dengan keras dan mulai memantulkan tubuh karena riang dan ingin masuk dalam gendongan Siri.
Panggilan yang baru kali ini Siri dengar—karena mereka jarang bertemu—berdampak kuat pada emosi Siri. He called me Moma. His Moma. Siri tidak mengerti kenapa matanya perih dan mulai berair karena memikirkan hal itu. Semua orang di sana panik saat Siri mulai menyusut airmata.
"Kenapa?" Archie menahan Serein untuk digendong Siri. Pria itu menggendong Rein lebih cepat dari gerakan tangan Siri.
"Moma Siyi angis, Popa." Celetukan Rein menambah keyakinan Archie bahwa ada yang tidak beres dengan Siri.
"Rein jangan minta gendong Moma dulu, ya? Moma capek makanya nangis."
"Hu-um." Anggukan patuh Rein meluluhkan orang dewasa yang melihatnya. Apalagi saat anak itu memajukan tubuh seraya berkata pada papanya, "Len au um Moma bial na angis."
Archie mengizinkannya dan melihat sendiri bagaimana Rein mencium kening Siri dengan sayang. Dia tertegun, napasnya seperti terenggut oleh udara sekitar saat membayangkan bahwa Rein adalah anaknya dan Siri. Bayangan itu terlalu nyata, Archie bahkan bisa membual di dalam pikirannya bahwa Rein memiliki kemiripan dengan Sirius. Lo mikir apa, Archie!? Mamanya Rein itu Irgi!
"Thank you, Serein." Siri mengucapkannya dengan lirih sekali. "I love you, Rein."
Jantung Archie seketika mengetat, laju napasnya terhenti sejenak dan tidak berdampak baik bagi kinerja otaknya yang sekarang membeku karena kurangnya pasokan oksigen. Archie tak fokus hingga mulutnya mengucap kalimat balasan, "I love you too." Semua orang tentu saja menatap pria itu yang bicara diluar konteks pembahasan.
"What are you talking about?" tanya Siri dengan wajah yang sembab dan bingung.
Sudah berapa lama Archie termenung sampai Siri terlihat sembab begini? Apa Archie melewatkan banyak hal dengan waktu merenung yang singkat?
"Oh, aku—itu jawaban yang mewakili perasaan Rein ke kamu."
"Rein udah jawab sendiri tadi."
"Yein wab indiyi, Popa."
Anak itu tidak mau menahan diri untuk mengatakan hal tersebut. Mengikuti ucapan Siri yang menjelaskan betapa Rein sudah sangat cerdas untuk menjawab pernyataan I love you dengan baik tanpa harus diwakili oleh Archie.
"Oh, em ... Popa mau bilang aja."
"Kamu ngomong apa? Nggak ada yang paham kamu ini bahas apa, Ar."
Pria itu menggaruk pelipisnya dan mendesah. "Udahlah. Pokoknya gitu!" Lalu Archie sengaja berjalan lebih dulu menuju lift membawa serta Serein yang bingung.
*
"Dua jam? Bisa ngapain aja, tuh?" Jeje melesakkan busur kejulidan yang ia miliki langsung pada sasaran.
Siri tidak mengambil pusing dan mudah saja menjawab. "Lo pasti ngerti kemana arah dari dua jam bisa ngapain aja, itu, kan, Je? Gue tahu lo udah paham."
Jeje mengepalkan tangan dan bukannya menggerakkan tangan akan memukul, Jeje malah menghentakkan kaki seraya berkata, "Ihhhh, lo, tuh nyebelin banget, deh!"
Siri tidak pernah terintimidasi dengan sisi Jeje yang seperti itu, justru Siri malah selalu terhibur dengan sikap manajernya yang suka sekali menunjukkan sisi gemulainya di depan Siri.
"Eh, wait!" Jeje langsung teringat sesuatu. "Lo habisin waktu dua jam buat—having sex?"
"Apa masalahnya?" balas Siri.
Jeje segera mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana. Siri tidak mengerti apa yang manajernya cari hingga heboh sekali seperti ini.
"Baca, nih!" Jeje menunjukkan halaman di website yang menggunakan kata kunci 'mengeluarkan sperma saat hamil muda'.
"Lo bolehin laki lo buang di dalem? Padahal lo lagi hamil muda."
Siri terkejut dengan ucapan Jeje. "Kok, lo tahu gue ..."
"Awalnya gue nggak tahu. Gue lagi tanya-tanya ke Mila kenapa anak kecil yang mirip banget sama laki lo ada sama dia dan dia jelasin semuanya. Gue curiga, dooooongggg! Pemeriksaan apa yang ngabisin waktu dua jam??? Kalo lo bayarnya ngantri pake BPJS gue percaya, tapi gue tahu duit lo lebih dari cukup buat nyewa satu rumah sakit buat nanganin lo sendiri supaya ditangani lebih cepat. Saat itu juga gue sharing sama Mila dan Mila curiga ciri-ciri sakit lo mirip sama kakakknya yang lagi hamil muda. Daaaannnn, gue sibuk mulai cari fakta beginian karena lo!"
Siri tidak bisa membuat Jeje berhenti bicara. Pria itu memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menekan Siri serta mengaku dengan jujur.
"Selama gue dan bayi gue oke, that's fine. Lagian, apa, sih, yang nggak lo tahu tentang gue? Kenapa hal semacam ini aja lo yang pertama kali tahu???"
"Jadi ... lo fix preggo?"
"Jangan bilang-bilang ke siapa pun, Je. Gue nggak mau kehilangan lagi."
Jeje menatap Siri dengan kesal. "Lo nggak ngasih tahu bapak si bayi? Laki lo?"
Gelengan Siri membuat Jeje semakin kesal. "Lo nggak mau kehilangan lagi, tapi lo malah bikin kebodohan kayak gini lagi?"
"Kebodohan apa maksud lo?"
"Dengan nggak kasih tahu bapak si bayi. Waktu itu, lo juga nggak ngasih tahu suami si Virginia sampe anak lo dibawa dan lo nggak dapet akses ketemu. Sekarang, lo mau ulangi kebodohan itu? Kalo nanti anak lo kenapa-napa, laki lo nggak tahu keberadaannya, dan dia baru tahu pas bayi kalian dalam bahaya, itu yang lo mau?"
"Kok, lo jadi doain bayi gue kenapa-napa, sih!? Lo nggak suka sama kehamilan gue, iya, kan? Bilang aja lo nggak mau gue hamil supaya nggak ribet ngurusin media!"
Jeje menepuk jidatnya agak keras. "Sebagai manjer gue pasti mikirin bagian itu, tapi gue nggak bodoh buat 'nggak suka' sama kehamilan lo, Siri! Kehamilan lo ini anugerah, gue cuma nggak mau lo menambah masalah lagi."
Siri yang masih dalam tahap denial memilih tidak menggubris ucapan Jeje dan berkata, "Pokoknya nggak ada yang boleh ngasih tahu soal kehamilan gue sama Archie! Kalo gue tahu lo ember, gue nggak bakalan baik hati lagi, Je."
Siri tidak dalam mode yang bisa diberi nasihat. Pikirannya sedang kacau dan menyebabkan wanita itu keras kepala dengan apa yang dipilihnya.
[Mbak Siri kepalanya minta digetok, gaeeessss.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's In Hurry / Tamat
Chick-LitPerkenalkan Archie, seorang duda beranak satu yang didorong orangtua untuk segera menikah kembali karena tak mau cucu mereka mendapati kebiasaan one night stand Archie yang semakin menjadi. Bertemu dengan Siri, pemilik bisnis khusus 'kewanitaan' ya...