001. Tempat yang Asing

866 57 2
                                    

Chat 

Choi Seungwoo: Let's break up 

Haneul: Oke

Choi Seungwoo: kamu bahkan sama sekali nggak ada niatan buat stop ini semua??

Haneul: Kalau aku bilang belum mau putus dari kamu, apa ini semua akan merubah keputusan kamu?

Choi Seungwoo: Let's just break up 

*** 

27 Juli, 2021 

Haneul terdiam menatap nanar pesan terakhirnya dengan sang kekasih. Tak ada perlawanan yang ia lakukan bahkan sekedar untuk meyakinkan sang kekasih agar bertahan. Kini, satu-satunya tempat ia bersandar pun pergi meninggalkannya.

Haneul terdiam melamun selama beberapa saat hingga tak terasa, air mata mengalir begitu saja di pipinya, "Agh-- hiks--" emosi yang selama ini ia pendam tumpah ruah begitu saja malam itu. 

Haneul memiliki alasan sendiri mengapa ia tak berusaha mempertahankan hubungannya dengan sang kekasih. Ia merasa jika hidupnya hancur belakangan ini; ayahnya yang belum lama meninggal menyusul sang ibu dan meninggalkan setumpuk hutang padanya demi memenuhi gaya hidup keduanya agar tak dipandang rendah oleh orang-orang di sekitar mereka. Tapi kini, Haneul yang harus menanggung semuanya. 

Namun terlepas dari sulitnya hal itu, ia berusaha melunasi hampir semua hutang orang tuanya hingga tersisa satu hutang terakhir yang harus dilunasi. Namun, keberuntungan seolah belum mau menghampirinya, baru saja akan tuntas permasalahannya, ia mendapat kabar buruk bahwa penerbit yang sudah bekerja sama dengannya selama beberapa tahun ini memutuskan untuk mengakhiri kontrak mereka karena penjualan buku Haneul yang terus menurun dan semakin jauh dari target. 

Berakhirnya hubungan Haneul dengan sang kekasih adalah puncak rasa frustasi yang ia alami beberapa bulan terakhir. Bahkan keinginan untuk 'mengakhiri' semuanya kini terus memenuhi kepalanya. 

Haneul merebahkan dirinya di lantai ruang tamu rumahnya. Di tengah rasa frustasi dan keinginannya untuk mengakhiri hidupnya, ia melihat sebuah cutter tergeletak begitu saja di kolong laci lemari ruang tamu. 

Ia menjulurkan tangannya untuk meraih benda itu, dan ketika ia menariknya keluar dari kolong, selembar amplop lusuh turut muncul terseret tangannya. 

"Huh? Hiks--" Haneul mengusap matanya yang sempat basah karena air mata. Ia meraih amplop lusuh itu dan membukanya yang ternyata berisi selembar surat lama dari mendiang neneknya yang wafat tahun lalu:

Untuk, cucuku tersayang, Lee Haneul

Apa semuanya baik-baik saja di sana? Nenek mengkhawatirkanmu karena tahu benar bagaimana sikap ayahmu. Semoga sifat ringan tangannya tak muncul setiap kali ia stress dan mabuk. Nenek ingin sekali kesana untuk menjemputmu tapi hubungan Nenek dan ayahmu tak terlalu baik. 

Dia selalu menghalangi Nenek untuk menemuimu. Maaf, Nenek tidak bisa berbuat banyak untuk menolongmu. Tapi satu hal yang Nenek ingin sampaikan padamu, dan Nenek harap semoga ini bisa sedikit membantu meringankan bebanmu, rumah Nenek selalu terbuka untukmu sekalipun Nenek mungkin sudah tak lagi ada di dunia ini.

Nenek memberikan aset Nenek satu-satunya itu untukmu. Jual lah jika memang kau membutuhkan uang atau kau bisa tinggal di sana jika kau butuh pelarian dari kota besar yang bising. 

Datanglah ke laut di saat langit menyentuh lautan. Karena itu saat terindah untuk sedikit melepaskan penat dari segala beban hidup yang menghimpit. Hanya ini yang bisa Nenek lakukan untukmu.

Nenek menyayangimu, Lee Haneul

Haneul memejamkan kedua matanya dan meletakkan surat dari sang nenek di dadanya seolah hal itu mewakili sosok sang nenek yang dulu selalu ada untuk memeluknya hangat dan bercerita tentang keindahan laut di desa tempatnya tinggal. 

Air mata mengalir deras membasahi pipi Haneul sebagai ungkapan rasa frustasi dan sedikit lega memenuhi benak Haneul saat ini. 

Di saat terakhir di mana ia hampir saja mengakhiri hidupnya, secercah harapan muncul untuknya dari sang Nenek yang selama ini memantaunya dari kejauhan.

Rasa bersalah menyesakkan dadanya saat ini. Jika saja dulu ia punya sedikit keberanian untuk melarikan diri dari kedua orang tuanya, ia pasti akan memilih untuk tinggal bersama sang nenek. 

***

Tiga Hari Kemudian 

"Ini benar rumah orang tuamu? Maksudku rumah asli bukan--"

Haneul menyerahkan sertifikat asli rumah orang tuanya pada rentenir  yang biasa menagih hutang orang tuanya, "Aku sudah nggak punya uang lagi sepeserpun selain untukku bertahan hidup. Jadi aku mau menyerahkan aset orang tuaku ini saja untuk kalian."

"Biar ku periksa dulu," ucap sang rentenir sambil menghubungi bos mereka, memberitahukan apa yang terjadi. 

Haneul hanya terdiam di depan rumahnya, membiarkan para rentenir itu memeriksa kelayakan rumahnya selama beberapa saat.

"Eum, sertifikat ini asli. Jadi gimana bos? Ah, baik bos!" Ucap sang kepala rentenir mengakhiri sambungan telepon dengan bosnya, "Aku sudah memberitahu bosku dan beliau setuju mengingat ini adalah tagihan yang terakhir jadi dia memberimu keringanan karena selama ini kau sudah berusaha membayar hutang-hutang orang tuamu tepat waktu."

"Terima kasih!" Seru Haneul membungkuk cepat. 

Sang rentenir mengeluarkan surat perjanjian berakhirnya urusan hutang-piutang antara keluarga Haneul dengan mereka.

"Lalu kemana kau akan tinggal kalau kau serahkan rumah ini pada kami?" Tanya sang kepala rentenir sambil menunggu Haneul menyelesaikan tanda tangannya pada surat perjanjian itu.

Haneul menutup surat itu dan menyerahkan kembali pada pria itu, "Aku akan pergi ke satu tempat, sejauh mungkin dari sini dan memulai lagi semuanya dari awal..."

Pria itu mengangguk pelan dan merapikan berkasnya, "Kuberi kau waktu maksimal dua hari untuk pindah."

"Terima kasih!" Seru Haneul membungkuk sopan. 

*** 

Dua hari berlalu semenjak perjanjian antara sang kepala rentenir dengan Haneul. Gadis itu menyerahkan kunci rumahnya pada pria itu. "Terima kasih sudah tepat waktu. Jujur, aku tak tega jika harus menagihmu setiap bulannya, tapi terima kasih untuk selalu membayar tepat waktu dan tak mempersulitku. Kudoakan yang terbaik untukmu."

"Terima kasih," ucap Haneul tersenyum tipis dan berpamitan. Ia menarik koper miliknya dan beberapa tas bawaannya lalu menyetop sebuah taksi begitu ia tiba di halte bis ujung jalan. 

"Kemana tujuan anda, nona?"

"Terminal bis kota Seoul," ucap Haneul singkat. Taksi pun berjalan menuju tempat yang dituju Haneul. 

"Apa Nona mau bepergian keluar kota?"

"Aku mau ke Pulau Jindo," ucap Haneul sopan. 

"Pulau Jindo? Anda mau berlibur di sana? Bukankah itu pulau kecil? Kurasa Jeju masih lebih baik kalau untuk berlibur?"

Haneul hanya tersenyum tipis, "Bukan, mulai hari ini aku akan pindah ke sana dan mengurus rumah nenekku di sana."

"Oh...kenapa tidak dijual saja? Bukankah tinggal di kota besar lebih menjanjikan?"

"Eum, anda benar. Tapi nggak ada gunanya memaksakan untuk tinggal di tempat yang tak lagi bisa menerima kita," gumam Haneul tersenyum getir menatap pemandangan di luar sana. Kedua tangannya menggenggam erat selembar foto lusuh– foto dirinya semasa kecil bersama sang nenek– satu-satunya foto yang ia miliki bersama sang nenek sebelum keluarganya hancur berantakan. 

Sky & Sea [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang