002. Pulau Jindo & Pria Aneh

464 44 3
                                    

Hampir lima jam berlalu semenjak Haneul meninggalkan Seoul. Ia berangkat pukul sembilan pagi dan tiba di Pulau Jindo sekitar menjelang pukul tiga sore. Ia memakai jasa bis antar kota. Penghasilan royalti dari penjualan buku-buku yang ia tulis dulu masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya namun tidak untuk membayar hutang kedua orang tuanya. Maka dari itu ia memutuskan untuk menyerahkan rumah orang tuanya yang bagi Haneul hanya menyisakan kenangan buruk pada sang rentenir. Paling tidak, mereka bisa mengurusnya dengan menjualnya lagi atau membangun usaha dari rumah tersebut. 

Rencana Haneul saat ini adalah mulai kembali menulis. Ia memilih untuk mengasingkan diri demi mendapatkan ide cerita yang lebih fresh dan menarik yang bisa dikomersilkan dengan mengirimkan naskahnya ke penerbit lain atau mencetaknya secara independen. Tapi untuk saat ini, menata kembali hidupnya, adalah tujuan utamanya. 

Haneul turun dari bis yang membawanya dan berhenti di salah satu halte kecil tak jauh dari pemukiman penduduk, Pulau Jindo tak memiliki banyak penduduk. Situasi yang tenang di sana begitu berbeda dengan padatnya kota Seoul. Haneul terdiam selama beberapa saat merasakan terpaan angin pantai yang beradu dengan suara debur ombak dari pemandangan pantai yang terhampar luas di hadapannya. 

Laut kuning, nama pantai itu. Begitu yang ia dengar dari seorang wanita setengah baya yang duduk bersebelahan dengannya di bis tadi. Beliau adalah penduduk Pulau Mondo, pulau yang berada berseberangan dengan Pulau Jindo. Di jalan tadi, beliau bercerita bahwa memang benar bahwa Pulau Jindo tidaklah memiliki atraksi pemandangan sebanyak dan seindah di pulau Jeju. Namun, ada sebuah atraksi natural di Pulau Jindo yang selalu menarik wisatawan setiap tahunnya untuk datang berkunjung, yaitu atraksi terbelahnya laut kuning. Air laut yang surut di periode bulan Mei dan Juni menimbulkan sebuah daratan membentang di antara Pulau Jindo dan Pulau Mondo. Daratan itu bagaikan sebuah jalan setapak yang membuka jalan sehingga penduduk Pulau Mondo bisa berkunjung ke Pulau Jindo hanya dengan berjalan kaki. 

Fenomena alam itu terjadi setiap dua kali dalam setahun di bulan Mei dan pertengahan Juni. Ia menyayangkan kedatangan Haneul yang muncul di sana saat bulan Juli. 

“Aku bisa lihat tahun depan,” ucap Haneul tersenyum tipis lalu kembali menyeret kopernya menuju alamat yang ditinggalkan sang nenek. Setelah berjalan selama kurang lebih lima belas menit, ia tiba di depan sebuah rumah bergaya tradisional yang ternyata berada tak jauh dari pantai. Haneul bahkan bisa mendengar suara debur ombak dari halaman rumah sang nenek. 

“Nggak buruk,” gumam Haneul ketika melihat situasi rumah sang nenek. Setiap rumah di sana memiliki halaman masing-masing dan tak berdempetan seperti apartemen atau pemukiman di kota besar, sehingga Haneul tak perlu repot menghabiskan energinya untuk bersosialisasi dengan para tetangganya. Ia bisa tinggal di rumah seharian atau bermain ke pantai sepuasnya. 

“Permisi? Siapa ya? Pemilik rumah ini–”

“Ah! Perkenalkan, namaku Lee Haneul,” ucap Haneul membungkuk sopan pada seorang wanita setengah baya yang sepertinya adalah tetangga dekat sang nenek, “Aku cucu dari pemilik rumah ini– Nyonya, Lee Bada.”

“Ah! Kau cucunya?!” 

“Benar sekali Bibi. Mulai hari ini aku akan menempati rumah ini.”

“Ah, jadi prediksi Bada benar… pantas saja dia tak mau menjual rumahnya.”

“Ya?” ucap Haneul ketika mendengarkan bibi tua itu menggumamkan sesuatu tentang sang nenek. 

*** 

“Silahkan masuk! Ah, maaf, rumahku mungkin tak sebagus rumahmu di Seoul–”

“Ah, rumahku juga tak besar, Bibi,” ucap Haneul. Ia duduk di ruang tamu setelah dipersilahkan duduk. Tak lama kemudian, sang Bibi tua yang memperkenalkan dirinya sebagai Bibi Yang Minsook, datang kembali dengan membawakan minuman berupa barley tea dan beberapa cemilan ringan. 

Sky & Sea [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang