"Terima kasih kak," kata Cinta kepada Dwi.
Cinta jadi merasa tidak enak karena sudah membuat kakak panitia itu jadi repot dengan mengurusnya.
"Sama-sama," jawab Dwi sambil melangkah ke luar ruangan.
Sepeninggal panitia yang menjaganya itu, ruang UKS menjadi sepi dan hening, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka.
Cinta melihat ke arah pintu dan melihat kakaknya Iwan muncul di hadapan Cinta sambil wajahnya cengengesan.
"Wah masa baru tiga hari orientasi sudah pingsan, masih ada tiga hari lagi loh," katanya kepada Cinta sambil mengukur suhu di kening adiknya itu dengan cara menempelkan telapak tangan kanannya.
"Kakak sih, nggak mengingatkan aku untuk sarapan pagi," sungut Cinta sambil cemberut menanggapi candaan Iwan.
"Lha kok nyalahin kakak? Kan sudah gede masa sarapan saja harus diingatkan," kata Iwan sambil terkekeh.
"....." Cinta terdiam, apa yang dikatakan kakaknya itu memang benar. Sudah saatnya dia belajar mandiri, tidak lagi tergantung pada orang terdekat dalam segala macam hal yang seharusnya bisa dia lakukan sendiri.
"Kenapa ruangan ini sepi? Dimana petugas jaganya?" tanya Iwan heran.
Dia memandang ke sekeliling ruangan UKS, dengan kening berkerut. ' Gila, sepi banget, adik aku sendirian di sini, kalau ada orang jahat gimana coba? Untung aku cepat-cepat ke sini,' pikir Iwan kesal.
Sekolah Iwan dan Pelangi saat ini memang terletak di depan sebuah jalan besar. Tapi, walaupun begitu di sekeliling sekolahnya merupakan dataran luas, yang jauh dari permukiman penduduk.
Letak UKS tepat di depan lapangan dan terpisah dari ruang kelas, itu lebih terlihat seperti paviliun dengan taman bunga di halaman depan.
Sangat tenang dan nyaman, mungkin itu sebabnya ruangan ini menjadi tempat favorit siswa yang ingin istirahat dari penatnya kegiatan belajar.
"Kakak yang tadi jaga lagi ngambil makanan buat Cinta, soalnya tadi Perut cinta keroncongan," jawab Cinta sambil bersandar melorot di tembok dekat tempat tidur.
"Oh, kenapa keroncongan? Kenapa nggak seriosa saja sekalian?" goda Iwan sambil nyengir bandel.
"Kakak, iih!" kata Cinta gemas sambil mencubit perut Iwan.
"Aduh! Sakit Dek, sudah seperti kepiting saja nih nyubitnya," sungut Iwan sambil mengusap perutnya yang dicubit cinta.
"Makanya punya perut jangan banyak lemaknya, sekali cubit ketarik semua," olok Cinta.
"E-eh, sembarangan! Perut kakak six pack tahu Dek!" kata Iwan sungguh-sungguh.
"Nyatanya masih bisa dicubit," sahut Cinta cuek.
"Itu kan kamunya saja seperti punya capit, makanya kan sakit kalau nyubit," balas Iwan.
"Masa?" kata Cinta tidak percaya.
"Beneran, kasihan banget suami kamu nantinya.....jadi pengen tahu siapa laki-laki tidak beruntung itu yang akan menerima cubitan maut kamu," kata Iwan sambil terkekeh jahil.
"Yang jelas dia pasti baik dan sesuai kriteria aku kak," kata Cinta melamun, entah kenapa pikirannya langsung melayang ke pria tampan jago silat yang menolongnya di bandara.
'Di mana dia sekarang?' tanya Cinta dalam hati.
Cinta ingat walaupun saat itu pria tersebut belum memberitahukan siapa namanya tapi pria itu sempat bercerita bahwa dia akan mengunjungi bibinya di Kota Bunga.
"Malah melamun," kata Iwan sambil mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Cinta.
Cinta mendorong telapak tangan Iwan yang dirasanya sangat mengganggu sekali dan membuyarkan lamunannya tentang Raka.
"Tangan kakak bau!" Olok Cinta.
"Masa?" tanya Iwan tidak percaya, dia lalu mencium tangannya dengan rasa penasaran.
"Bau kan?" tanya Cinta sambil senyum.
"Nggak ah, nggak bau, hidung kamu saja kali bermasalah, atau kamu salah cium, maklum letak mulut kan dekat sekali dengan hidung," olok Iwan.
"Kakak!" seru Cinta kesal.
Cinta dengan jengkel meraih bantal UKS di punggungnya, kemudian dia melemparkannya ke arah wajah kakaknya. Dengan gesit Iwan menghindar dan menangkap bantal tersebut.
"Kalau jatuh kotor tahu Dek, jadi nggak steril lagi, ini kan bantal UKS, harus bersih terus, makanya tiap pagi sore rutin diganti," tegur Iwan kepada adiknya tegas.
Iwan memang sayang sama Cinta, tapi kalau adiknya itu melakukan sesuatu yang salah dia tidak akan segan-segan untuk menegurnya, sebagaimana yang dia lakukan saat ini.
"Nggak bakal jatuh, karena Cinta sudah pertimbangkan, kakak pasti nggak bakal membiarkan bantal itu jatuh ke bawah," kata Cinta penuh percaya diri.
"....." Iwan terdiam, kalau dalam urusan adu argumentasi, Iwan memang kalah jauh dari adiknya. Cinta seperti punya segudang kosa kata untuk membantah dan menyangkal semua ucapannya.
"Kakak nggak sibuk mengurus orientasi lagi? Bukannya kakak ketua panitia pelaksana? Kok malah santai-santai di sini?" tanya Cinta sambil menegakan badan menatap kakaknya serius.
"Sudah beres semua, sekarang waktunya istirahat. Paling sebentar lagi baru ke kantor panitia, untuk mengecek hasil kerja panitia lainnya," jawab Iwan cool.
Dia teringat pada beberapa panitia yang melakukan kesalahan ketika orientasi berlangsung, dan Iwan mulai berpikir tentang hukuman yang cocok untuk dia berikan kepada mereka.
"Kalau lihat wajah jelek kakak, Cinta bisa tahu bahwa ada suatu hal yang bikin kakak kesal," tebak Cinta kalem sambil bertopang dagu memerhatikan kakak tersayangnya.
"Yah, di kepanitiaan ada sedikit masalah dan pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa panitia, dan sekarang kakak sedang berpikir kira-kira apa hukuman apa yg sebaiknya kakak berikan kepada mereka," jelas Iwan.
"Pelanggarannya berat kak?" tanya Cinta ingin tahu.
"Ada yang berat ada yang ringan, tapi yang jelas itu semua bertentangan dengan peraturan yang telah disepakati oleh semua panitia," jawab Iwan serius.
"Apa rencana kakak untuk hukuman yang berat dan yang ringan?" tanya Cinta lagi.
"Kakak masih memikirkannya, mungkin saat ke kantor panitia nanti baru kakak putuskan," terang Iwan.
"......"
Cinta jadi merasa kasihan dengan kakak panitia yang bermasalah itu. Urusan dengan Iwan akan lebih baik jika dia tidak sampai memikirkan bagaimana cara menjatuhkan hukuman. Sebab, kalau hal itu terjadi maka hukumannya tidak akan seringan bending atau lari keliling lapangan.
'Apa sebenarnya kesalahan mereka, hingga kakak memikirkan bagaimana memberikan hukuman yang pantas untuk mereka,' pikir Cinta heran.
"Siapa yang jaga di sini tadi?" tanya Iwan.
"Nggak tahu namanya," jawab Cinta acuh tak acuh, sebab dia memang tidak tahu nama kakak yang baik hati itu.
"Kenapa nggak tanya? Apa masih Dwi?" tanya Iwan penasaran. Dia lebih suka Cinta dijaga oleh Dwi daripada petugas kesehatan yang lain, karena Dwi lebih sabar dan perhatian.
"Kenapa Cinta mencium aroma-aroma gula di sini," kata Cinta sambil mengendus ke arah kakaknya.
"......" Iwan mendorong wajah adiknya dengan telapak tangan agar menjauh dari dirinya, membuat Cinta cemberut.
"Kakak kasar! Cinta nggak mau ngomong lagi sama kakak!" kata Cinta cemberut sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Maaf, Dek, kamu sih begitu, kakak kan jadi risih," kata Iwan sambil menggaruk kepala tidak gatal.
"Tapi beneran kakak naksir kak Dwi?!" tanya Cinta antara penasaran dan semangat, jujur Cinta suka sama petugas kesehatan yang cantik dan perhatian itu.
"Apa dah, jangan dilanjut lagi, kedengaran orang nanti jadi nggak enak sama Dwi nya," kata Iwan sambil tersenyum geli.
"....." Cinta tersenyum terhibur melihat sikap kakaknya, 'sepertinya memang benar Kak Iwan naksir Kak Dwi,' pikir Cinta senang.
Kemudian mereka asik mengobrol hingga tidak menyadari Dwi masuk ke dalam UKS membawa lontong sayur dan teh manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
(End) Cerita Cinta
ChickLitNovel ini menceritakan tentang kisah perjalan hidup seorang gadis bernama Cinta sejak masa remajanya hingga dia dewasa dan mulai mengenal arti kasih sayang yang sesungguhnya antara pria dan wanita. *** Raka muncul tiba-tiba setelah lama menghilang d...