Bab 20. Tahu Dari Mana?

7 6 0
                                    

"Sebaiknya kamu jangan terlalu baik kepada mereka, nanti mereka jadi kebiasaan!" saran gadis itu kepada Cinta.

"Apakah kita saling kenal?"

"Tidak."

"Apakah aku memakai uang kamu untuk mentraktir mereka?"

"Tidak,"

"Lalu menyingkir dari sini! Urus saja urusanmu sendiri, jangan ikut campur urusan orang lain, apalagi orang yang sama sekali tidak kamu kenal," kata Cinta tegas.

Gadis itu tampak salah tingkah mendapat pertanyaan itu, ditambah banyaknya pengunjung dan pelayan restoran yang mulai memperhatikan mereka dengan aneh. sementara Yudi yang berada di belakang gadis itu hanya tersenyum, sambil mengacungkan jempol dan memuji Cinta di dalam hati.

"Yah aku hanya mengingatkan saja," kata Gadis itu kesal.

"Siapa yang membutuhkan pengingat dari kamu?" cibir Cinta sinis.

"Kamu!.....terserah!" kata gadis itu sambil berbalik pergi dengan muka merah dan bibir cemberut.

Semua orang yang memperhatikan mereka kembali kemejanya masing-masing, tidak lagi ada yang tertarik untuk memperhatikan Cinta dan anak-anak jalanan itu.

Gadis itu memang benar, bukan urusan mereka untuk ikut campur dalam hal apapun yang Cinta lakukan karena mereka bukan siapa-siapa dan tidal saling kenal, apalagi mereka juga tidak dirugikan satu sen pun atas traktoran Cinta kepada anak-anak jalanan tersebut.

"Kakak pasti menyesal sudah mengajak kami makan di sini," kata salah satu anak jalanan yang diajak oleh Cinta.

"Sudah kayak dukun saja, tahu dari mana kalau aku menyesal membawa kalian?" ledek cinta.

"Kakak kan liat sendiri dari awal kita masuk, semua orang termasuk pelayan itu terus menatap aneh ke arah kita," ingat salah satu anak jalanan yang lainnya.

"Ya terus?" tanya Cinta sambil mencomot kentang goreng yang ada di depannya dan memakannya dengan santai.

"Kakak pasti malu," kata anak itu lagi.

"Tahu pastinya dari mana?" tanya Cinta acuh tak acuh.

"Ya mikir sendiri aja sih kak!"

"Masih kecil kebanyakan mikir, nanti cepat tua kayak kakek-kakek!" goda Cinta sambil tersenyum, bocah itu meringis malu mendengar godaan Cinta.

"Aku boleh makan ayamnya kak?" tanya salah satu bocah yang sedari tadi terdiam memperhatikan Cinta makan.

Bocah itu terus saja menatap bolak balik antara Cinta dan ayam goreng di hadapannya itu sambil menelan ludahnya sendiri ketika meihat cinta memakan ayam tepung dan  mengeluarkan bunyi kriuknya yang  renyah.

"Gak boleh!" kata Cinta cuek.

"......" bocah itu bengong.

"Itu makanan kan ada di depan kamu, ngapain bilang-bilang? Kan tadi udah dibilangin mau diajak makan," kata Cinta sambil tersenyum.

"hehehe..." bocah itu terkekeh malu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Plak!"

"Dasar dodol!" kata temannya sambil memukul pundaknya, bercanda.

"......" anak tersebut hanya tersenyum malu-malu.

"Cuci tangan dulu sana!" suruh Cinta sambil menunjukan wastafel tempat cuci tangan di rumah makan itu.

kedua anak jalanan itu langsung beranjak dari duduknya dan mencuci tangan di wastafel yang ditunjukan oleh Cinta yang kebetulan tidak berada jauh dari tempat itu.

Setelah selesai mencuci tangan hingga bersih, kedua bocah tersebut kembali duduk di hadapan Cinta dengan tenang dan mulai memakan ayam goreng bagian mereka.

"Kalian belum memperkenalkan nama kalian," kata Cinta kepada kedua bocah itu.

"Apalah arti sebuah nama, kak," ceplos anak yang berambut keriting itu polos membuat Cinta tersedak dan terbatuk-batuk.

"Kak?!" kedua anak itu tampak khawatir.

Cinta mengangkat tangannya menenangkan mereka, kemudian dia mengambil tisu dan mengelap mulutnya  dan sudut matanya.

"Dari mana kamu belajar kalimat itu?" tanya Cinta heran.

"Dari buku yang saya baca kak," jawab bocah itu jujur.

"Jadi kalian tidak mau menyebutkan nama kalian?" tanya Cinta sambil tersenyum lucu melihat sikap kedua bocah yang telah di bawanya itu.

"Mau kak, namaku Leman," kata anak yang berambut lurus memperkenalkan diri kepada Cinta.

"Namaku Sarbini kak, nama kakak siapa?" tanya Sarbini kepada Cinta.

"Namaku Cinta......orangtua kalian tahu kalau kalian mengamen?" tanya Cinta ingin tahu.

"Tidak tahu kak, kalau tahu pasti kita dimarahin, iya kan man?" tanya Sarbini kepada Leman.

"He-eh," jawab Leman sambil terus menguburkan kepalanya di makanan yang ada di hadapannya, dia makan dengan sangat lahap, membuat Cinta tersenyum dan merasa terhibur.

"Mengapa kalian nekat ingin mengamen tanpa setahu orang tua kalian?" tanya Cinta.

"Ya habis bagaimana lagi kak, bapak saya kan sopir serep, kalau pas nyopir dapat duit, kalau enggak ya nggak bakal dapat duit, paling mengandalkan gaji ibu dari hasil kuli nyuci di perumnas, mana cukup buat bayaran sehari-hari, untuk bayar buku latihan saja saya sampai sekarang masih nunggak," ungkap Leman berkaca-kaca sambil tetap memakan ayam yang sisa sedikit di hadapannya.

Leman membayangkan wajah letih ibunya yang kerap terlihat ketika pulang mencuci di perumnas, namun masih juga tidak dapat istirahat, karena harus mengurus adiknya yang masih kecil dan menyiapkan makanan untuk makan siang dan makan malam keluarga mereka.

"Memangnya berapa sehari yang ibu kamu dapatkan dari hasil mencuci?" tanya Cinta penasaran.

"Sehari itu paling banyak ibu cuma dapat lima puluh ribu kak, tapi tergantung orang perumnasnya juga sih," jawab Leman.

Cinta terdiam, memikirkan bagaimana dia menghabiskan uang jajan sebesar itu hanya dalam waktu sehari untuk jajan, selama ini dia sama sekali tidak memikirkan untuk berhemat, karena apa yang diberikan oleh kedua orangtua dan pamannya itu lebih dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya.

Tadinya Cinta berpikir dia adalah orang paling irit, karena diantara teman-teman sekoahnya hanya dia saja yang jajan lima puluh ribu sehari, sementara teman-temannya biasa menghabiskan uang lebih dari itu, terutama mereka yang masih keturunan asing.

Sekolah yang di masuki oleh Cinta dan kakaknya memang merupakan sekolah unggulan nomer satu yang juga menerima siswa pertukaran pelajar dari luar negeri, jadi wajar kalau dirinya merasa biasa saja ketika jajan sebesar itu setiap harinya, karena teman-temannya  sendiri pun malah menghabiskan uang jajan yang lebih besar dan lebih banyak dari yang telah Cinta habiskan setiap harinya.

Setelah bertemu dengan anak-anak jalanan ini Cinta mulai merasa bahwa dirinya ternyata sangatlah boros, uang lima puluh ribu yang harusnya bisa dipakai untuk memberi makan seluruh anggota keluarga anak jalanan di hadapannya ini,  malah sering di habiskan olehnya begitu saja dengan membeli makanan dan hal-hal yang tidak begitu urgen untuk dirinya sendiri.

Tiba-tiba saja Cinta merasa malu kepada dirinya sendiri, apalagi saat dia mulai menyadari kalau uang yang selama ini telah dia habiskan bukanlah uang hasil jerih payahnya sendiri melainkan hasil dari jerih payah kedua orang tua dan paman bungsunya yang baik hati kepada dirinya dan kakaknya.

(End) Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang