Bab 17. Seminggu Tidak Ada Kabar.

5 6 0
                                    

"Kak telepon dari mamah bukan?" tanya Cinta yang tiba-tiba saja muncul di kamar Iwan masih dengan seragam lengkapnya.

Saat masuk ke dalam rumah Cinta mendengar Iwan sedang berbicara di telepon, dan dia ada menyebut-nyebut tentang Pulau Besar, pikiran Cinta langsung tertuju pada kedua orangtuanya di Pulau Besar.

Sudah hampir seminggu Cinta tidak mendengar kabar dari kedua orangtuanya selain saat ini gadis itu sangat sibuk, orangtuanya juga sedang ke daerah pelosok meninjau pembangunan di sana.

Papah Cinta dan mamahnya adalah anggota dewan daerah. Terakhir mereka saling menghubungi adalah seminggu yang lalu saat papah mamahnya mau berangkat, papahnya mengatakan bahwa tempat yang akan dikunjunginya adalah daerah terpencil yang dikelilingi gunung, kemungkinan akan sulit untuk mendapatkan sinyal jadi papahnya meminta Cinta dan Iwan untuk tidak cemas jika tidak dapat menghubungi mereka.

"Ganti dulu sana seragamnya, dilihatnya gerah banget," kata Iwan tanpa menjawab pertanyaan adiknya.

Iwan mengamati pakaian Cinta yang di beberapa bagian ternoda keringat, rambut kuncir satunya juga tampak terlihat berantakan.

Pemuda itu mengerutkan kening merasa heran kenapa Cinta sampai berantakan seperti itu, padahal biasanya walau terlihat keringatan penampilannya tetap rapi, tidak berantakan seperti sekarang.

"Itu telepon dari mamah papah bukan?" tanya Cinta lagi tambah penasaran karena pertanyaannya tidak dijawab.

Cinta sadar kakaknya pasti heran saat melihat penampilannya yang sangat berantakan, tadi di sekolah gadis itu sibuk di organisasi hingga tidak sempat merapikan kuncirnya kembali dan merapikan diri sebagaimana biasa.

Kegiatan hari ini sangat padat sekali karena di sekolah akan diadakan reuni perak kakak-kakak alumni sekolahnya, yang melibatkan Cinta dan anggota organisasi siswa lainnya untuk menjadi panitia, mulai seksi acara hingga konsumsi.

Belum lagi persiapan latihan dasar kepemimpinan yang akan diadakan satu hari setelah acara reuni perak yang akan diadakan oleh kakak alumninya, walau acara diadakan di dua tempat berbeda, reuni perak diadakan di hotel sementara latihan dasar kepemimpinan diadakan di sekolah hingga keduanya bisa dipersiapkan secara bersamaan, namun sempitnya waktu membuat Cinta dan teman-temannya sibuk bolak balik antara hotel dan sekolah.

"Bukan, ini dari Oka," jawab Iwan tegas.

Iwan memperlihatkan layar ponselnya agar Cinta dapat melihat nomor dan nama penelepon tersebut.

Cinta mengerutkan bibirnya cemberut, dia merasa aneh mengetahui Oka menelepon kakaknya setelah sekian lama mereka tidak saling menghubungi sebagaimana cerita Iwan.

"Oh," kata Cinta sambil berlalu dari kamar Iwan.

Gadis itu tidak merasa perlu untuk berbicara atau mengetahui sebab Oka menelepon kakaknya sebab yang dia tahu kakaknya memang bersahabat dengan Oka sejak mereka masih kanak-kanak.

Cinta sendiri kurang suka dengan sikap Oka yang kerap mengganggunya dan membuatnya kesal, ada saja tingkahnya yang membuat Cinta kesal dan marah, padahal ke teman perempuan yang lain Oka tidak pernah bersikap seperti itu, malah dia terkesan menjauh dari mereka.

"....itu Cinta ya Wan?" tanya Oka dari seberang telepon setelah sekian lama hanya diam mendengarkan percakapan antara Cinta dan  Iwan.

Diam-diam tadinya dia berharap Cinta akan meminta ponsel dari Iwan dan  berbicara dengannya, sudah lama sejak gadis itu pindah mereka tidak saling tegur sapa, namun pemuda itu juga tahu bahwa harapannya itu tidak mungkin akan terjadi.

'Bisa hujan besar kalau itu terjadi,' kata Oka di dalam hati sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya menepis harapan konyol yang dia miliki.

"Iya dia baru pulang sekolah kamu mau ngomong?"tanya Iwan.

Entah kenapa Iwan merasa bahwa Oka tiba-tiba meneleponnya adalah karena Cinta namun, karena sahabatnya itu tidak mengatakan dengan jelas, Iwan enggan untuk menyinggung masalah tersebut.

Dia tidak keberatan Oka dan Cinta memiliki hubungan tapi dia tidak ingin ikut campur apalagi sampai mendorong Cinta untuk menerima Oka sementara adiknya itu sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Oka, jadi biarkan sahabatnya itu berjuang sendiri untuk menaklukan hati cinta.

'Yah itu adalah pilihan terbaik,' pikir Iwan mantap.

"Nggak usah lah biar dia istirahat dulu, dia pasti capek," sahut Oka.

Oka yakin kalaupun dia ingin berbicara dengan Cinta gadis itu pasti akan segan menerima teleponnya apalagi dalam kondisi capek pulang sekolah seperti apa yang Iwan katakan sebelumnya.

"Yo, perhatian sekali," ledek Iwan.

Iwan benar-benar takjub dengan sikap Oka saat ini, sebelum-sebelumnya kalau bertemu atau melihat Cinta sahabatnya itu akan mengambil inisiatif untuk  membuat Cinta marah

"Hehehe..."

Oka terkekeh malu, dia menyadari kalau sikapnya selama ini memang kekanak-kanakan, harusnya kalau dia suka dengan seorang gadis, dia bisa memperlihatkannya dengan perhatian yang lebih, bukannya malah mengajak gadis itu ribut dan bertengkar hingga marah kepadanya.

"Ya udah kalau gak mau ngobrol sama Cinta kita ngobrol yang lain aja," usul Iwan.

"Boleh," sahut  Oka singkat.

mereka berdua pun bercakap-cakap membahas segala hal. Namun, satu hal yang tidak di sadari oleh Iwan bahwa lawan bicaranya saat ini sedang patah hati karena menerima perlakuan acuh tak acuh dari Cinta.

Tadinya Oka ingin memberitahu pada Iwan bahwa dia ada rencana untuk pindah ke kota bunga. Namun melihat bagaimana cueknya sikap Cinta, Oka jadi berpikir dua kali untuk merealisasikan niatnya tersebut. Dia takut ketika dia sudah pindah ke sana gadis itu malah tetap akan bersikap cuek kepadanya.

'Lalu apa gunanya aku pindah ke sana?' batin Oka patah semangat.

Sementara itu Cinta di kamarnya tampak terduduk lesu. "Mamah papah kok belum nelepon juga sih," gumam Cinta pelan.

Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya dan berganti pakaian rumah yang lebih simpel, dia juga mengikat ulang rambutnya agar lebih rapi, lalu keluar kamar.

"Mau kemana dek?" tanya Iwan yang baru saja selesai menerima telepon dari Oka.

Dia heran melihat adiknya berjalan keluar rumah dengan pakaian santai yang biasa dipakai di dalam rumah oleh adiknya.

"Ngadem di luar sambil mencoba telepon mamah papah lagi," sahut Cinta sambil terus berjalan menuju halaman depan.

Sampai di gazebo Cinta duduk dengan santai dan mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.

Iwan mengikutinya sampai ke halaman depan kemudian ikut duduk di gazebo di samping Cinta. "Memangnya sudah bisa dihubungi dek?" tanya Iwan.

"Nggak tahu, ini juga baru mau coba sih, mudah-mudahan saja bisa," kata Cinta sambil mencari nomor ponsel papahnya di kontak dan menghubunginya.

Nada dering telah lama berbunyi namun, telepon Cinta masih juga belum mendapatkan jawaban.

"Nggak dijawab kak," kata Cinta dengan nada lesu.

Keduanya sama-sama terdiam larut dalam pikiran masing-masing, di dalam hati mereka mencoba untuk tenang tapi perasaan cemas dan khawatir itu sama sekali tidak kunjung pergi.

"Mungkin masih sibuk, nanti saja kita coba hubungi lagi," hibur Iwan.

Walaupun dia sendiri juga cemas tapi dia tidak ingin membuat adiknya Cinta menjadi lebih panik karena melihat kecemasannya.

"......" Cinta hanya mengangguk, gadis itu menghela napas dan menunduk sambil terus memandangi layar teleponnya.

Baru kali ini kedua orangtuanya susah untuk dihubungi padahal biasanya walau pun mendapat tugas di daerah pedalaman mereka masih tetap bisa dihubungi oleh Iwan dan Cinta.

(End) Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang