Bab 23. Begitu Saja Kok Repot?

6 6 0
                                    


Enam tahun kemudian......

Iklan lowongan si Media SRB menarik perhatian Cinta. Media milik kakaknya itu sedang membutuhkan reporter dengan syarat berijazah S1, aktifis kampus, menyukai dunia jurnalistik dan mau bekerja keras.

"Ini dia nih!" cetus Cinta sambil menjentikan jarinya.

Dengan tergesa Cinta mematikan laptopnya dan mempersiapkan berkas lamarannya untuk di kirim ke media milik Iwan, kakaknya. 'Eh? Gimana kalau kakak tahu?' pikir Cinta bingung.

Cinta yakin kalau kakaknya itu tahu Cinta melamar di perusahaan miliknya, dia pasti marah dan tidak akan mengizinkan Cinta untuk masuk ke perusahaannya sebagai reporter.

"Coba dulu aja deh, siapa tahu lolos, semangat Cinta!" gumam Cinta menyemangati dirinya sendiri.

Selesai mempersiapkan persyaratan untuk melamar, Cinta pun mengirimkan lamarannya itu secara langsung dengan mendatangi kantor SRB. Kantor itu tampak lengang, mungkin karena sebagian besar karyawannya yang merupakan iklan dan redaksi sedang sibuk liputan dan tugas di luar. Cinta mengeluarkan amplop coklat yang berisi berkas lamarannya dari tas, saat dia sampai di meja resepsionis.

"Mau melamar jadi reporter ya?" tanya resepsionis itu ramah.

"Iya, kak," sahut Cinta sambil menyerahkan amplop yang berisi berkas lamarannya kepada sang resepsionis.

"Oke, nanti lihat pengumumannya di Email dan di media SRB ya? Sekitar seminggu lagi."

"Baik kak," kata Cinta sambil menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terimakasih kepada resepsionis itu sebelum keluar dari kantor SRB.

Wahyu sang Redaktur pelaksana SRB tampak sibuk memeriksa berkas lamaran yang masuk, ketika Dian, sekretaris redaksinya menyerahkan berkas lamaran yang masuk hari ini.

"Lamaran lagi?" tanya Wahyu sambil tersenyum tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Baru dua hari lowongan di buka sudah ada seratus orang yang datang melamar.

"Iya bos," sahut Dian sambil menaruh setumpuk berkas lamaran di meja Wahyu.

"Ok, Thanks," kata Wahyu sebelum Dian berlalu dari kantornya . Dian hanya menjawab dengan anggukan sebelum dia keluar dari kantor atasannya tersebut.

Seminggu kemudian.....

Lima puluh nama calon yang masuk seleksi pertama diumumkan di akun sosmed SRB dan Cinta menjadi salah satu peserta yang lolos seleksi pertama, pada urutan ke dua puluh lima, gadis itu terlonjak bahagia saat melihat namanya juga tercantum di pengumuman itu.

Di bawah pengumuman tersebut terdapat pemberitahuan bahwa pelamar yang telah lolos seleksi diharapkan kehadirannya di kantor SRB untuk mengikuti tes tertulis.

Di lain tempat, Iwan yang sedang berada di kantornya tampak tercengang melihat ada nama adiknya di daftar calon reporter yang lolos seleksi pertama yang di serahkan oleh Wahyu.

"Jadi bagaimana bos? Apakah penilaiannya akan diserahkan kepadaku atau mau bos sendiri yang akan menilai mereka semua?" tanya Wahyu ingin tahu.

"Oh, iya, kamu saja yang memberikan penilaian kepada mereka, aku percaya pada hasil penilaian kamu," jawab Iwan pada akhirnya.

"Siap bos! Aku pasti tidak akan mengecewakan kepercayaan bos!" kata Wahyu lagi sambil berdiri dari duduknya.

"......" Iwan hanya menganggukkan kepalanya, jujur dia masih merasa terkejut dengan masuknya Cinta ke dalam peserta pelamar pekerjaan di kantornya.

"Kalau begitu aku akan menyiapkan dahulu materinya, bos!"

"O iya, iya, silahkan," sahut iwan berusaha untuk bersikap biasa saja.

Wahyu pun keluar dari ruangan Iwan dengan wajah cerah, sementara Iwan, wajahnya berubah menjadi muram setelah kepergian Wahyu, karena menahan  rasa marah ketika mengingat adik perempuannya yang diam-diam melamar sebagai reporter di perusahaannya tanpa setahu dirinya.

***
"Cinta! Cinta!" panggil Iwan saat disa telah sampai di rumah tanpa mempedulikan tatapan heran kedua orang tuanya.

"Ada apa ini? kok pulang kerja langsung heboh mencari Cinta?" tanya papanya ingin tahu.

"He-eh, tumben banget, dan ada apa dengan wajah muram itu?" tanya mamanya ikut menimpali.

"Itu mah, pah, Cinta ikut melamar pekerjaan sebagai reporter di perusahaan Iwan."

"Lalu?" tanya papa dan mamanya secara bersamaan.

"Lho, gimana sih papa mama ini? Papa kan tahu bagaimana kondisi fisik Cinta, jadi reporter itu berat pah, mah, kerjanya juga tidak terikat waktu, bahkan kalau di butuhkan untuk liputan tengah malam pun harus mau berangkat!" jelas Iwan sambil cemberut.

"Di coba saja dulu, apalagi itu kan perusahaan kamu sendiri, kamu pasti bisa memberikan pekerjaan yang ringan untuk adik kamu, misalnya saja untuk liputan di pemerintahan," saran papanya bijak.

"Itu sama saja papa menyuruh Iwan membedakan Cinta dari reporter lainnya," kata Iwan cemberut.

"Iya," sahut papanya kalem.

"Nepotisme dong!" cetus Iwan.

"Biarin, memangnya kenapa kalau Nepotisme di perusahaan kakaknya sendiri?" timpal mamanya acuh tak acuh.

"Gak enak sama yang lain dong mah," keluh Iwan.

"Kalau begitu jangan bilang-bilang ke yang lain kalau Cinta itu adik kamu," kata papanya santai.

"Iya, begitu aja kok repot?" timpal mamanya.

"......" Iwan diam tidak berkutik.

"Kamu harus memberikan kesempatan kepada adik kamu, kan kamu tahu sendiri kalau adikmu itu suka sekali menulis, berkali-kali tulisannya di muat di media, sayang kan? Kalau bakat seperti itu di sia-siakan?" ujar papanya lagi.

"Iya nak, mama pikir juga kalau pekerjaan itu memang berat bagi Cinta, anak itu pasti akan keluar dengan sendirinya dari pekerjaan itu," timpal mamanya.

Akhirnya Iwan menyerah untuk melarang Cinta menjadi reporter di perusahaannya karena mengakui apa yang dikatakan papa mamanya itu memang benar. Sementara Cinta yang bersembunyi di balik pintu kamarnya dan mendengarkan percakapan tersebut tampak tersenyum kegirangan.

(End) Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang