Page 42

2K 154 9
                                    

Well, well, well memang tiga jam pun menjadi tidak berasa setelah satu jam pidato charming-nya River, satu jam acara tanya jawab sambil makan snack, dan satu jam terakhir pembagian oleh-oleh. Snacknya saja sangat worth it dengan isi melimpah yang aku yakin mungkin ini perdana selama meeting di pabrik, aku sempat dengar Mbak Citra bilang tumben ketika melihat berdus-dus kotak dibawa ke dalam ruang oleh OB, belum lagi raut bingung staf lainnya.

Aku juga menangkap ekspresi Pak Dharma saat pembagian oleh-oleh. Alisnya menaut dan tangannya melipat. Ia sempat berdiam seperti itu beberapa saat sambil memperhatikan hampir seluruh karyawannya di ruangan yang cukup heboh memilih pernak-pernik pada tiga koper terbuka itu, yah, tiga koper yang sudah kunodai sebelumnya.

Maafkan keculasanku teman-teman, aku hanya diminta River untuk mengambil duluan, tenang saja aku cukup tahu diri kok, hanya tiga kresek besar, uhuk!

Acara pulang berlangsung ricuh lebih dari pembagian oleh-oleh. Tahu sendiri karyawan disini rumahnya rata-rata berjarak di atas empat kilo. Teh Filda pun langsung menghilang, Pak Ilyas, jangan tanya lagi, Aldo sih masih sempat terlihat. Kini hanya tinggal lima karyawan termasuk aku, Mbak Citra dan tentunya owner dan Pak Robert di dalam sana, juga pacarku.

"Kamu gak apa-apa pulang sendiri, Li?" Mbak Citra seperti biasa mengkhawatirkanku. Aku hanya terkekeh, sambil mengenakan jaket.

"Dah biasa kali, Mbak, hampir dua tahun aku hidup sendiri." Mbak Citra hanya menghela sambil menarik tasnya setelah menjejal satu plastik besar yang isinya berbagai macam barang.

Memang kali ini meeting selesai terlalu larut dan River yang berjiwa pahlawan beberapa detik setelah penutupan mendekat ke arah Pak Robert di sampingnya, membisikan sesuatu, lalu seketika itu langsung ada interupsi.

Guess what? besok semua karyawan yang hadir di rapat ini boleh masuk setengah hari, dan kita semua tahu itu adalah perintah langsung dari River Setiawan, yang bypass tanpa persetujuan papanya yang hanya berbatas Pak Robert.

Pak Dharma yang segera menoleh ke arah anaknya tak bisa berkata-kata, wajahnya yang merah padam mengartikan segalanya. Ia kembali terdiam. Aku juga melihatnya memanggil River tak lama setelah karyawan mulai bubar. Mereka meninggalkan ruang dan masuk kembali ke dalam pabrik.

Ish! aku yakin River kena marah. Tebakanku? pemborosan untuk snack dan oleh-oleh lalu kelancangan karena melangkahinya memberi perintah. Entahlah, aku masih khawatir dengan nasibnya sejak keluar ruangan tadi. Padahal ingin sekali pulang bersamanya, lalu menghabiskan waktu lagi berdua, dan melakukan yang lain-lain, tapi sejak tadi ponselku sepi-sepi saja.

"Aku sangat yakin Big Boss marah besar." Mbak Citra sepertinya memikirkan hal yang sama.

"Benar, Mbak, aku khawatir sama ... Ri, uhm, anaknya." Helaan membuat Mbak Citra menepuk pundakku. "Jelas sekali raut wajah bapaknya tadi, duh, mules perutku." Kuusap perutku itu pelan-pelan, karena rasa khawatirku kini menjalar ke mana-mana.

"Semua juga lihat kok, Li. Kamu pikir kita semua gak menyadari?" Aku menoleh dan menatap atasanku itu tersenyum pahit. "Sebaiknya kita jangan terlena dulu besok-besok, River mungkin cukup suprising, tapi bapaknya itu unik, kamu ngerti, kan?" Aku mengangguk sambil menepuk jidat sedang Mbak Citra hanya menggeleng-geleng kepalanya. "Aku duluan deh, Li, hati-hati ya kamu."
Aku mengangguk sambil melambai ke arah atasanku itu yang menghampiri seseorang di sana dengan sepeda motornya. Kudengar Mbak Citra memang tengah dekat dengan orang itu, kalau tidak salah namanya Ervin, eh Elgy, eh ... siapa yah, ck! aku ketinggalan berita!

***

Sudah beberapa menit entah beberapa jam berlalu, mataku mulai terasa berat. Aku gak tahu lagi sekarang pukul berapa, yang jelas ini sudah larut dan aku malah melakukan hal nekat yang cukup beresiko, tapi mau bagaimana lagi, aku harus tahu apa yang terjadi.

Gerbang depan pabrik seketika terbuka, sebuah mobil mewah warna putih milik Pak Dharma akhirnya keluar. Kedua lampu terang mobil itu langsung menyorot jalanan yang gelap gulita. Kemudian beberapa menit setelahnya aku melihat dua orang satpam dan ... River di belakang gerbang tengah berdiri tepatnya di halaman depan, sepertinya River pulang terpisah, aku memang tidak bisa menghubunginya sejak tadi, pasti ponselnya habis batere lagi.

Kenapa dia sendirian? Apa dia menunggu jemputan? terus kalau ponselnya mati memangnya dia mau bagaimana memesan ... his! aku harus melakukan sesuatu! sudah tanggung setengah jalan! buat apa aku menunggunya jika tidak melakukan apapun?!

Mobilku memang terparkir agak jauh dari gerbang dan tepat di samping sebuah pohon besar yang berhasil membuatnya tak terlihat, aku mematai mereka dari sana, dan sekarang aku keluar diam-diam. Mengendap-endap di kegelapan malam jalanan depan pabrik, demi pacarku!

Oh, apa yang kau lakukan Lily, bagaimana jika ada yang memergokimu melakukan semua ini? mati aku, mati aku, mati aku!

Gerbang itu belum seluruhnya tertutup karena mungkin masih ada River yang akan pulang. Aku berjalan perlahan menghampiri ujung gerbang itu dan dengan satu tarikan napas mulai mengintip.

Ada River di sana, dia masih berdiri, dan tengah memegang ponselnya yang tampaknya ... mati. Kulihat kedua satpam sudah kembali ke pos yang letaknya agak sebelah kiri, cukup jauh untuk menyadari ada seorang wanita aneh yang tengah mematai pemilik pabrik.

River! River! Haloo! lihat ke sini!!

Aku melambai diam-diam, tapi River masih saja menunduk mengutak atik ponselnya.

Duh, bagaimana ini?!

Aku mulai panik sambil melihat sekeliling, dan menemukan sebuah kerikil dan melempar landai ke arahnya, namun River yang bergerak ke kiri membuatnya tak menyadari.

Ih! benar-benar oppa satu ini!

Aku kembali mengambil kerikil yang lebih besar, kali ini sedikit mengenai sepatunya, tapi River yang menguap malah kembali gak menyadari.

Ohemji, gemes banget deh ini pacar, plis deh peka sedikit!

Dan untuk ketiga kali karena sudah tidak bisa menemukan kerikil, aku pun memutuskan mengambil sebuah botol minuman bekas yang akan kupakai untuk melempar, dan ketika aku kembali mengintip untuk melempar ...

"Waa ...!!!" Wajah River sudah tepat di depanku.

"Sssttt!!!!"

River dengan sigap maju dan menutup mulutku, ia juga mendekapku dan menyembunyikan aku dalam jaketnya.

Kedua satpam yang sepertinya mendengar lalu menghampiri dari belakang, namun River yang memunggungi mereka dan dua buah tangan kecil yang mengalung di pinggang sang owner membuat mereka segan melanjutkan setelah saling tatap.

"Pacarnya si Bos kayanya," ujar Pak Aslan dan Pak Dirman mengangguk sambil terkekeh. "Dasar anak muda, kirain apa?" Mereka pun kembali ke pos.

"Lily, kamu ngapain?" pelukan River masih tak mengendur.

"Saya nyariin kamu," ujarku yang terkubur di dadanya. Veromon oh veromon. Tapi perlahan River melepaskan pelukannya dan kami saling bertatapan.

"Kenapa kamu tungguin saya? kenapa gak pulang?" Aku hanya menggeleng menjawab River dengan rautnya yang masih bingung dan kaget.

"Nanti kujelaskan, itu mobil saya." Kutunjuk sebuah pohon besar tiga meter dari sana. "Ambil tasmu, kutunggu, ya!" aku pun segera meloloskan diri dari River dan memberinya arahan untuk mengikuti. River yang masih bengong akhirnya terkekeh dan mengusap wajahnya.

"My funny Lily."

***

SWEET BITESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang