Part 57

2.2K 95 16
                                    

Gak tahu lagi deh harus ngapain, yang ada senyuman River itu kurespon juga dengan senyuman simpel, sopan dengan sedikit anggukan, yah, layaknya pegawai yang merasa senang karena dihargai. Jujur aku sudah gak mau celingak-celinguk lagi lihat kiri kanan. Fokusku hanya pada approval-nya Pak Dharma, istrinya juga River.

Setelah sedikit keributan kecil yang mendebarkan tadi, aku dan Mbak Citra akhirnya kembali duduk. Kuraih segelas air mineral di meja dan meneguknya dua kali. Jantungku masih saja berdentum, tapi wajah River yang tersenyum sebenarnya lebih menyegarkan dari apapun, ya Tuhan!

Pak Robert selaku moderator dengan sigap kembali melanjutkan acara dengan memanggil Teh Filda, Aldo, lalu disusul Pak Ilyas untuk presentasi selanjutnya.

"Mbak, sorry banget, aku gak diskusi soal pembahasan produk tadi, waktu bikin penutup, tiba-tiba terlintas begitu saja."

Sebenarnya gara-gara teringat oleh-oleh River dari korea beberapa minggu lalu, ada sendal, sepatu dan dompet. Memang barang itu sebenarnya tidak dibagikan di pabrik, tapi kurasa sih untuk kerabat atau suplier, entahlah.

Mbak Citra terkekeh dan mengangguk. "Li, kamu tuh lucu, sudah direspon Pak Dharma, masih aja galau." Aku menghela ketika Mbak Citra menepuk pundakku. "Dengar deh, jarang-jarang loh mereka langsung merespon. Mungkin faktor omset membuat mereka bergerak cepat menangkap peluang, atau mungkin tas sudah terlalu jenuh? yang jelas ide kamu memang bagus, aku pasti dukung."

Akhirnya bisa tersenyum lega. Mengingat kami satu tim, reaksi Mbak Citra juga penting untukku.

"Thank you, Mbak."

***

By the way ...

Saking gak konsen, aku pun gak dengar waktu Pak Robert kembali memberi arahan dan jeda waktu untuk acara makan siang dan istirahat. Mbak Citra yang langsung menyebutkan satu menu yang sudah diincarnya membuat lamunanku buyar.

"Li, seriusan mau disitu terus, ayo makan." Mbak Citra meraih tanganku tanpa menunggu jawaban, membuatku dengan pasrah mengikuti dan ikut ambil barisan antri.

"Mbak, aku belum terlalu lapar," ujarku ngeles.

"Gak apa, kamu bisa ambil sekarang dan makan lima menit lagi. Dessert dulu atau cemilan juga boleh, aku tahu kamu belum sarapan. Jangan nyiksa badan, Bu."

Omongan Mbak Citra memang gak ada yang salah. Tapi rasa laparku kenapa menghilang begitu saja, ya? Jangan-jangan saraf-saraf di otak ini masih memproses kejadian tadi? haduh!

"Ya, Mbak, aku makan kok." Walau pun masih "galau" seperti tuduhan Mbak Citra, setelah mengambil piring dan menatap jajaran hidangan prasmanan yang kali ini, dan mungkin untuk pertama kalinya gak biasa-biasa lagi ini, aku pun salfok.

"Nah, kan, masih bimbang? aku juga gak fokus sejak tahu apa yang akan kita makan siang ini. Thanks to your ... BF." Kata BF yang berupa bisikan itu hampir membuatku loncat indah. Bukan berarti Pak Ilyas dan Aldo di belakangku gak dengar sedikit? aduduhhh!!!

"Mbak. I know, ok. No tebar-tebar please," rengekanku yang juga berupa bisikan hanya membuat atasanku itu terkikik.

"Tenang, semua aman. Lagian memang fakta kok. Beberapa tahun lalu kita gak sebahagia ini. Begitu juga kamu." Pipiku langsung panas mendidih. Nyes banget kata-kata Mbak Citra ini, yang walaupun kenyataan, tapi kekhawatiranku levelnya sudah melewati ambang batas.

"Yah. Kalau mau jujur sih ...,ehem!" Aku langsung menyambar segelas aneka jus warna-warni yang sudah ditakar pergelas 125 ml itu, dan semangka menjadi pilihanku menurunkan demam di wajah. Ish!!

SWEET BITESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang