Page 7

8.7K 438 2
                                    

Kalau dibilang menghayati, aku sampai nangis bombay menonton film tadi. Kenapa juga true love mostly separated by the death? ini topik yang paling kuhindari sebenarnya! Ah, sial sekali si River ini. Selama tersengguk-sengguk, dengan senang hati ia menawarkan saputangan branded-nya, yang wangi dan malah sayang untuk kupakai.

"Lap air matamu, Lily."

River sempat-sempatnya memperhatikan wajahku yang masih basah berderai, dan saputangannya hanya berakhir di genggamanku. Tapi mau tak mau akhirnya kupakai dengan terpaksa, hidungku saja mulai mampet gegara AC gedung yang gak kira-kira dinginnya. Mana hari ini aku cuma pakai selembar blouse berbahan chiffon tipis dan celana jeans. Mana tahu aku bakal diajak nonton? minimal aku pasti membawa sweater. Aku agak tidak kuat dengan dingin sebenarnya.

River tersenyum setelah memastikan wajahku kering, dan ia kembali menikmati film itu. Untungnya di akhir cerita, alurnya berubah, bagian klimaksnya telah kulewati, dan begitu film itu selesai aku langsung bangkit berdiri sebelum lampu menyala.

"Kamu mau ke mana?" River nampak bingung lalu ikut bangkit berdiri.

"Ke kamar mandi, Pak, saya kebelet," ujarku berbohong lalu buru-buru melangkah meninggalkan pria itu beberapa meter di belakang.

Sejujurnya bukan hanya kebelet, tapi aku tahu apa yang terjadi pada wajahku setelah kejadian tadi. Tidak mungkin juga aku membuka peralatan make up di depan dia, it's seem so low, if you know what i mean, dan sesampainya di toilet aku langsung berhambur ke depan kaca, menatap wajah yang ... cukup mess. Eyeliner hilang sebelah, sebelah lagi luntur hingga ke bawah mata, kelopak mataku agak bengkak, hidungku sedikit merah, dan ... bedak di pipiku luntur, yah yang terakhir sudah pasti. Toh aku bisa melihat noda krem kecoklatan di saputangan River.

Ah, ini PR banget cucinya, makanya tadi aku enggan pakai barang mahal ini jika ia tidak memaksa.

Setelah selesai berbenah, buru-buru aku keluar, hampir sepuluh menit lamanya aku di toilet, belum lagi antrian panjang untuk masuk ke kamar mandi. Aku semakin khawatir River tak sabar menungguku di luar.

Gak tahu diri banget kamu, Lily! bos kok disuruh nunggu.

Aku mengutuk diri sendiri sambil berjalan keluar, dan ... menemukan River yang duduk santai di kursi panjang persis depan toilet, tengah asik memainkan game di ponselnya. Sepersekian detik itu juga aku diam menatapnya yang tak peduli sekitar. Padahal dua orang ABG sepertinya sudah lama mencuri-curi pandang di sampingnya.

Oh, tentu saja dia tampan dan bergaya, lihat saja setelan jas dan tatanan rambutnya. Wajahnya yang serius-serius cute begitu, belum lagi harum tubuhnya, bukan hanya dua ABG lagi, malahan kumpulan tante di depan pintu toilet ini pun heboh jual pesona sambil sesekali melirik River. Alhasil aku sampai susah mau keluar toilet. Para tante muda ini ngumpul semua di sana, berharap dilirik sedikit saja oleh anak bos-ku itu.

Diam-diam aku pun terkikik.

"Sudah mau pergi, Pak?" ujarku hati-hati. Kulihat ia serius sekali memainkan game-nya. Aku pernah punya teman seperti ini, sampai rasanya susah diajak ngobrol saking seriusnya. Tapi diluar dugaan River langsung menengadah menatapku dan mematikan ponselnya begitu saja, ia juga tersenyum kecil.

"Yuk, kamu sudah selesai, kan?" aku mengangguk semangat. "Oke!" dan ia pun tanpa ragu kembali meraih sebelah tanganku lalu beranjak, membuatku lagi-lagi terhuyung mengikuti langkah panjangnya, dan meninggalkan tatapan-tatapan sinis, dengusan, rasa bingung bahkan terkejut di belakang sana.

Oh, maafkan aku semuanya, aku juga tidak tahu kenapa jadi begini!

Setelah beberapa menit berjalan, aku semakin galau dan yakin ini salah. Tidak seharusnya begini. Bukan karena ia bos dan aku bawahan, walau memang ini kenyataannya, tapi aku dan dia bahkan bukan seorang pasangan! jangan sampai ia bilang alasan berteman, mana ada hubungan pertemanan berbeda gender lantas bergandengan sepanjang jalan? bohong jika mereka tidak mengingkari perasaannya masing-masing.

"Pak ..." panggilku sambil menghentikan langkah tiba-tiba. River pun ikut berhenti dan menoleh.

"Ada apa, Li?" aku ragu-ragu menatapnya. Tapi tatapan baliknya begitu polos. Aku tahu ia tidak sesensitif itu. Entah pura-pura tidak sadar.

"Ehm, mungkin ... sebaiknya kita tidak ..." Kulepas genggamannya perlahan lalu menyembunyikan kedua tanganku ke belakang punggung, "kita tidak melakukan ini," sambungku membuat River mengangkat sebelah alisnya. Kutangkap bibirnya seketika saja melengkung tipis.

"Kamu takut ada yang lihat?" kekehnya santai, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Bukan, Pak, yang lihat sudah banyak. Bukan itu saja, tapi ini jelas tidak benar." Aku menggeleng kesal. Yah, kuakui aku sedikit kesal.

Dia itu seorang bos, apa dia tengah mempermainkan bawahannya? harusnya ia jangan lupa aku ini juga bukan remaja yang mudah terbuai, aku ini wanita dewasa 30 tahun, and i realize 100% this is wrong from the beginning. Sejujurnya aku tidak menolak tapi karena mencoba sopan.

"Ok, maafkan saya kalau begitu." River kali ini tersenyum lembut, dan yah aku melihatnya cukup tulus, and totally make me melting again!

"Mungkin saya terlalu bersemangat jalan denganmu, tapi semua itu saya lakukan dengan spontan, kok."

Yep, alasan itu lagi yang membuatku tak bisa berkutik. Spontan, aku tahu memang begitu. Tapi masalahnya perasaanku sulit menerima yang spontan-spontan begini, Pak. Jantungku gak berhenti olah raga setiap tanganmu menggenggam.

"Maaf jika Pak River tersinggung, saya hanya ... merasa gak pantas, ehm, maksudnya gak seharusnya begitu, Pak, kan kita ini bos dan bawahan, jadi sebaiknya ..."

"Ok, ok, Lily." River memberi lima jarinya di depan wajahku sambil terbahak, "saya sudah paham maksudmu kok, jangan ceramah lagi, ok?"

Aku berhenti dan bengong menatapnya yang tertawa renyah. Semua nampak menjadi hal sepele baginya. Kulirik sepintas wajahnya nampak tenang-tenang saja, tak banyak berubah. Aku pun menghela.

Kenapa orang ini santai sekali, ya? seandainya dia tahu, bahwa aku juga gak keberatan sama sekali digandeng seperti tadi. Tapi kalau aku gak protes begini juga nantinya aku bakal dianggap apa? gampangan? keenakan? serba salah, kan? Yah, kupikir walau berlawanan dengan hati kecilku yang tetap ingin intim dengannya, setidaknya tindakanku ini, cukup profesional, dan memang semestinya begitu, bukan?

Aku menghela lebih panjang lalu membuang muka ke samping, menatap etalase toko jam, sepatu dan pakaian.

Jangan lupa Lily, dia sudah mencium bibirmu. Itu lebih dari sekedar menggengam tangan. Tapi saat itu kau hanya diam saja bukan? kau hanya bengong.

Dan mendadak pipiku berasa panas lagi.

***

SWEET BITESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang