Page 48

2.4K 140 3
                                    

Bisakah hari ini hatiku baik-baik saja?

Kalimat itu terus berulang di kepalaku, sampai aku bisa membuatnya bernada dan kusenandungkan sambil mondar mandir ruang jait-ruang kerja beberapa kali, membawa pola tas, penggaris, pengukur kain, sketsa lalu kembali lagi duduk menghadap laptop, cek pattern, email hasil sablon, emboss dan lain sebagainya yang beberapa masih proses pengerjaan.

Aku kembali bersenandung sambil melihat kalender yang sudah masuk pertengahan bulan, sudah beberapa hari sejak River pulang. Feeling-ku mengatakan masterplan akan jatuh di akhir bulan ini, apa pun yang terjadi.

Setahuku, Pak Dharma suka tanggal-tanggal tua. Mungkin mendekati gajian, ia ingin gempur para pegawainya dulu, kalau bisa sampai babak belur, baru deh beliau puas, habis itu langsung eksekusi lagi hasil meeting, mana yang layak mana yang enggak. Iya, masterplan itu gak langsung deal! tapi ada penyaringan kedua, dan hanya untuk para petinggi saja, jadi gak bisa pede dulu, tahu-tahu besok rombak semua, matilah! hah! kenyataan pahitnya bekerja di pabrik ini.

Tapi sekarang bukan itu juga masalah yang menggangguku, gak cuma permasalahan kerja lagi, dan itu terjadi sejak kemarin, dan akan terus bertengger di kepala juga dadaku seterusnya, bagaimana ciuman River, sentuhannya, jemarinya, tingkahnya, wajahnya, senyumnya semua! semuanya!

"Kamu baik-baik aja, Li?"

Teh Filda sudah mendaratkan satu tangannya di pundakku, otomatis aku mengangguk, dan sialnya wajahku rasanya panas sekali, mungkin juga sudah berubah warna.

"Kamu demam, Li? aku lihat kamu melamun beberapa menit terus mukamu merah sekali." Dan sekarang Teh Filda meletakan tangannya di keningku. "Waduh, Li, beneran loh ini, kamu panas."

Ya ampun, tolong, Teh! ini panasnya beda, bukan demam biasa, tapi demam lain, virus R!!

"Saya gak apa kok, Teh, serius deh, mungkin pikiran tentang masterplan dan lainnya ini yang bikin jangar, santai, Teh, tinggal minum langsung baikan, kok."

Duh! susah memang cari alasan yang logik kalau udah salah tingkah begini, tapi aku yakin Teh Filda gak bakal seribet Mbak Citra kalau urusan ngeles. Buktinya wanita di sampingku ini sekarang langsung mengangguk sambi merogoh sesuatu dari lacinya.

"Oke deh kalau gitu, tapi jangan sampai memaksakan diri lagi ya, Li, Teteh gak mau lihat kamu ambuk lagi, Neng Geulis, nih permen jahe, lumayan bikin anget." Aku mengambil dua permen itu lalu menghela tersenyum.

Kekhawatiran Teh Filda menurutku adalah yang paling tulus, bukan berarti yang lain tidak ya, tapi aku selalu merasa nyaman dengan perhatiannya, mungkin karena sifat rempong yang sedikit kaya emak-emak dan candaan di balik sisi dewasanya itu membuat aku selalu menganggapnya seperti kakaku sendiri.

"Makasih banyak, Teh, lop yu pull!" Aku memberi tanda hati ala-ala oppa gitu, dan Teh Filda malah mengetuk kepalaku sebelum kembali ke laptopnya.

Mbak Citra yang seketika masuk membuat aku secepat mungkin menghadap kembali ke laptop, pasang wajah kerung sambil goyang-goyang mouse.

"Dah tinggal sejam lagi, santai aja, Bu." Aku pun mendadak diam lalu menatap Mbak Citra tengah menatapku, lalu Teh Filda dan bibirnya melengkung. "Lagian Bos besar dan permaisurinya juga gak datang kok hari ini, kagok setengah hari, rumah mereka terlalu jauh, buang waktu ya, kan? surprise!!"

Mbak Citra dengan senyumannya yang merekah kaya bunga itu membuat kami semua ikut tertawa tanpa suara. Kecuali Pak Ilyas tentunya, dia cuma melirik sekilas lalu menarik alisnya sekali.

"Ah, seriusan, lo, Cit, dengar kapan?" Teh Filda melirik dari balik layar komputer."

"Barusan, waktu baru keluar dari tempat jahit. Pak Robert bicara sama River sambil masuk ke ruang marketing."

SWEET BITESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang