"Kok bisa jatuh sih? Kayak bocil aja jatuh dari sepeda," komentar Ghea saat Oliv menunjukkan luka di lututnya kemarin.
Sebenarnya lukanya juga tidak seberapa parah sih, yang jadi masalah itu bekasnya. Entah harus berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai bekas luka itu akan menghilang. Oliv jadi bete, terlebih lagi Ghea justru menertawainya.
"Agak nyesel sih. Tau gitu gue tolak aja ajakan Rendy buat main sepeda," keluh Oliv sambil berjalan merangkul bahu Ghea. Maksudnya berpegangan sebab Oliv jalannya pincang juga lambat.
Untungnya Ghea mau menyamai langkah pelannya. "Ya udah lah, namanya juga musibah siapa yang tau? Masih sakit banget ya, Liv?"
"Cekat-cekit gitu, Ge. Nyeri," tak lama setelah itu Oliv menghela napas panjang. "Ini siapa lagi yang naruh tangga di sini?"
"Liv, dari dulu juga udah ada tangga di sini. Kalau nggak ada tangga emang lo mau terbang?"
"Kenapa juga kelas kita harus di lantai tiga sih? Terus gimana cara gue turunnya?"
"Tadi aja lo bisa naik."
"Perjuangan banget, Ge. Butuh waktu setengah jam baru bisa sampai ke kelas, itu pun disertai dengan umpatan soalnya lutut gue jadi nye--- EH, RENDY!"
Oliv kontan terpekik saat tubuhnya melayang setelah diangkat ala bridal style oleh pacarnya tersebut. Bukan hanya kaget, tapi juga heran sejak kapan pemuda itu ada di belakangnya. Setau Oliv tadi pas lewat di depan kelas Rendy, pemuda itu masih duduk serius menyimak materi di monitor LCD.
"Lo apa-apaan?!" Oliv mengecilkan volume suaranya agar tidak mengundang tatapan dari orang-orang sekitar, karena begini saja mereka sudah jadi pusat perhatian. "Gue berat, Rendy. Turunin!"
"Gue bantuin lo turun, jangan bawel. Jangan gerak-gerak juga, yang ada malah tambah berat!" Pemuda itu menjawab dengan ekspresi datar, beda jauh dengan Ghea yang justru tersenyum tidak jelas sekarang.
"Ge---"
"Nah, berhubung pangeran lo udah datang nih. Gue jalan duluan deh ya, bye!"
"Woy, Ghea!"
Namun teman satu-satunya itu justru terkikik geli, lalu menuruni anak tangga dengan cepat dan meninggalkan dirinya juga Rendy tanpa rasa bersalah. Samar-samar Oliv masih bisa mendengar tawa lepas Ghea meski tubuhnya sudah mulai tidak terlihat.
"Anjing, pengen mengumpat gue."
"Itu lo udah mengumpat, Oliv."
"Oh, iya."
Si pemuda merotasikan bola mata. Pacarnya ini emang agak-agak, jadi Rendy maklumi saja. Masih dengan Oliv yang ada di gendongan, pemuda itu mulai menuruni anak tangga lantai tiga departemennya secara perlahan. Kalau buru-buru takut oleng, mana dia lagi bawa beban pula. Kalau Oliv sampai jatuh kan bisa-bisa kakinya tambah parah.
"Seharusnya gedung kita dikasih lift aja nggak sih? Ribet banget harus naik turun tangga, mana banyak pula tangganya," Oliv nyeletuk asal, sambil tangannya melingkar pada leher Rendy. Lumayan lah nggak malu-malu amat karena di sini terbilang sepi.
"Kalau ini kampus punya nenek lo sih gampang nge-request!"
Oliv cuma nyengir. Perjalanan mereka masih cukup jauh sepertinya, jadi Oliv nyeletuk lagi. "Bukannya tadi lo masih kelas ya? Ada dosennya juga gue liat."
"Iya, gue izin sebentar."
"Lo izin cuma buat bantuin gue turun?"
"Iya."
"Widih, perhatian sekali pacar ku!" Saking senangnya perasaan Oliv sekarang, dia sampai refleks mencium pipi kiri Rendy.
Si empunya tentu saja mukanya langsung merah, tapi dia tetap mencoba untuk stay cool. Jangan sampai kelihatan salting di depan Oliv, jangan norak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovenemy ✓
FanfictionDebat, bertengkar, dan menjelekkan satu sama lain sudah menjadi hal biasa di hubungan Rendy dan Oliv. Dari awal, teman-temannya sudah berkata kalau mereka tidak akan cocok jika menjalin suatu hubungan. Hal itu karena mereka punya banyak sekali persa...