"Acaranya kan lusa, kenapa lo pulang ke rumahnya dari besok?"
"Terus gue nggak boleh pulang gitu?"
"Nggak gitu, Liv," Rendy menghela napas berat seraya mengubah posisi tidurannya di atas ranjang, ponsel yang semula ia pegang ditaruh di atas telinga. "cuma sedih aja karena kita harus LDR-an dua hari. Nanti siapa yang bakal gue jailin coba?"
Di seberang sana nampak Oliv yang mulai misuh-misuh mendengar jawaban Rendy. Ia pikir pemuda itu sedih karena takut akan merindukannya. Kenyataannya justru sebaliknya, Rendy hanya takut tidak ada yang bisa dijadikan objek kejahilan.
"Gue tuh kadang mikir loh, Ren---"
"Oh, bisa mikir ya?"
"DIEM!"
Rendy terkekeh geli, kemudian membiarkan gadis itu melanjutkan kalimatnya.
"Gue tuh kadang mikir, kita ini pacaran atau musuhan sih? Sumpah lo ngeselin banget, kalau aja deket udah gue tendang pantat lo!"
Memang ada benarnya, Rendy kadang juga suka kepikiran. Apa mungkin karena dulunya mereka ini adalah teman sekelas, makanya sampai udah jadi pacar pun sikap Rendy ke Oliv tidak jauh berbeda saat mereka masih berteman dulu. Termasuk halnya menjahili Oliv, atau membuat gadis itu kesal sampai mengomel, itu seringkali Rendy lakukan saat mereka masih bersekolah. Kadang ia sengaja mencari gara-gara pada gadis itu untuk sekedar mencuri atensinya, karena hanya dengan cara itulah ia bisa dekat dengan Oliv.
Sejujurnya Rendy adalah tipe pemuda yang tenang dan tidak banyak tingkah. Tentu saja bagian menjahili orang itu bukan kebiasaan normalnya, melainkan kebiasaan yang ia lakukan hanya pada Oliv semata. Ya bisa dibilang love language Rendy ke Oliv itu word of roasting, kalau Oliv lebih ke arah physical attack karena dia sering memukul Rendy jika merasa kesal.
Tapi meskipun begitu hubungan mereka masih terus bertahan hingga sekarang.
"Liv, kangen."
"Apaan anjir tiba-tiba bilang kangen? Serem lo!"
"Masa pacarnya bilang kangen dikatain serem? Dasar cewek aneh!"
"Ya lagian, kayak bukan lo banget tau nggak? Kenapa sih, brader?"
"I'm your boyfriend, not brother, Liv."
"Iya, sayang. Ada apa?"
"Liv, aba-aba dulu dong. Jantung gue kaget!"
"Halah, lebay."
"Salah besar gue berekspetasi bisa romantis-romantisan sama lo," si pemuda mengubah kembali posisinya menjadi telentang, kemudian ponselnya ia letakkan di atas dada dengan speaker yang menyala. "Btw, lutut lo gimana? Masih sakit banget?"
"Selama lukanya kering sih aman aja, Ren. Paling nyeri dikit."
"Sorry."
"It's okay, bukan salah lo kok. Lagian nggak ada gunanya juga gue nyalahin lo, luka gue nggak bakalan sembuh hanya karena gue maki-maki lo sekarang. Yang ada haus!"
Ia tau Oliv sedang tidak bercanda sekarang, namun tanpa sadar ia justru tertawa. Entahlah, menurutnya Oliv selalu jadi orang yang menyenangkan untuk dijadikan teman bicara, meskipun yang dibahas juga nggak penting-penting banget sih.
"Abang lo nginep?" Rendy mengalihkan ke topik yang lain, ia hanya tidak ingin sambungan telpon ini segera berakhir meski jam dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam sekarang.
"Iya nih, katanya biar sekalian aja besok pulang bareng. Jadi lebih hemat ongkos juga."
"Hm, hati-hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovenemy ✓
Fiksi PenggemarDebat, bertengkar, dan menjelekkan satu sama lain sudah menjadi hal biasa di hubungan Rendy dan Oliv. Dari awal, teman-temannya sudah berkata kalau mereka tidak akan cocok jika menjalin suatu hubungan. Hal itu karena mereka punya banyak sekali persa...