"Kalau lo seberbakat itu sama seni, kenapa nggak coba masuk jurusan seni aja?"
Oliv bertanya sembari mengekori Rendy yang sibuk memilih cat juga alat lukis yang rencananya mau dia beli untuk dipakai lomba pekan seni besok. Tadinya Rendy mau membelinya sendiri, tapi berhubung pulang kuliah tadi Oliv tidak ada kerjaan, jadi ya lebih baik ikut Rendy saja. Toh, tokonya juga tidak jauh dari apartemen Oliv.
"Tadinya emang mau ambil seni sih." Rendy menjawab sambil memasukkan dua macam kuas ke keranjang belanjaan, di belakangnya Oliv masih mengekor dengan wajah penasaran.
Kalau boleh jujur, ini bahkan kali pertama Oliv datang ke toko yang khusus menjual alat lukis. Dia kelihatan bingung awalnya, sibuk menoleh ke kanan dan kiri memandangi alat-alat lukis yang sering ia lihat tapi tidak tau pasti apa namanya. Bahkan kuasnya saja ternyata ada banyak macam dan fungsinya, benar-benar membingungkan.
"Kenapa nggak jadi?" Oliv bertanya lagi.
"Nggak dibolehin sama orang tua gue."
"Terus yang nyaranin masuk HI siapa?"
"Papa."
"Nurut banget?"
Bahu Rendy bergetar akibat kekehan yang keluar. Meski tidak bisa memandang wajahnya secara langsung, tapi Oliv tau pemuda itu sedang tersenyum sekarang.
"Terkadang pilihan orang tua emang ada benarnya, Liv. Jadi ya udah lah gitu, gue mutusin buat nurut."
"Lo nggak pernah ada niatan buat berontak gitu? Gue pikir lo tipe orang yang nggak suka diatur-atur."
"Emang iya," Tangan Rendy mengambil tiga pensil 2B dari salah satu rak lalu memasukkannya ke dalam keranjang. "Tadinya juga gue maunya gitu. Bahkan udah kepikiran kabur dari rumah terus gap year dulu setahun sambil nyari kerja dan beasiswa di jurusan seni, tapi nggak jadi. Toh, meski sekarang gue masuk HI masih bisa nyalurin bakat seni gue kok. Lagipula melukis itu cuma hobi buat gue, sekaligus healing juga sih."
Awalnya memang terasa berat kuliah di jurusan yang bahkan bukan Rendy banget gitu. Beruntung aslinya dia memiliki otak yang cerdas, jadi meskipun sulit sekalipun Rendy masih bisa melewatinya dengan baik dan nilainya pun nggak buruk-buruk banget. Setidaknya masih mending jika dibandingkan dengan Oliv yang bahkan sampai sekarang masih mencoba beradaptasi dengan jurusan mereka. Maka dari itu sebagai pacar yang baik, kadang Rendy juga ikut membantu Oliv mengerjakan tugas-tugasnya atau bantu menjelaskan poin-poin yang tidak dia mengerti.
"Udah nih? Coba dicek lagi siapa tau ada yang ketinggalan. Soalnya setau gue panitia nggak menyediakan peralatan lomba buat melukis, alias bawa masing-masing."
Rendy mengecek kembali paper bag berisi alat lukis yang telah ia beli barusan, sepertinya sih sudah lengkap semua tidak ada yang kurang. Jadi dia tersenyum seraya berkata,
"Udah semua, Liv, aman."
Setelah ini keduanya memutuskan untuk langsung pulang, berhubung mereka juga tadi sudah sempat makan siang di kantin kampus. Rendy juga sempat membantu Oliv memasang tali helm saat gadis itu terlihat kesusahan, meski mulutnya terus saja mengomel 'Udah besar tapi masang helm aja nggak bisa!' disertai wajah menyebalkan khasnya. Karena kesal Oliv balas dengan memukul kepala Rendy yang belum pakai helm, pemuda itu menatapnya tidak suka sebelum kemudian mendengus naik ke motornya sambil memasang helm.
"Pegangan, gue nggak bakal tanggung jawab kalau lo jatuh!"
"Iya, nggak usah cerewet!" Setelah itu si gadis melingkarkan kedua lengannya di perut Rendy.
Di saat yang bersamaan, Oliv merasakan ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Jadi untuk memastikan, ia kembali meraba perut Rendy sekali lagi sebelum kemudian berdecak kagum. "Widih, perut lo makin keras aja, Ren. Ngegym lo sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovenemy ✓
FanfictionDebat, bertengkar, dan menjelekkan satu sama lain sudah menjadi hal biasa di hubungan Rendy dan Oliv. Dari awal, teman-temannya sudah berkata kalau mereka tidak akan cocok jika menjalin suatu hubungan. Hal itu karena mereka punya banyak sekali persa...