14: Dimi & Rendy

151 49 6
                                    

Menurut Dimitri, tidak ada perubahan yang begitu mencolok di apartemen ini setelah ia tinggalkan hampir setahun yang lalu. Bahkan tata letak perabotannya saja tetap sama, Oliv memang terlalu malas untuk menata ulang ruangan.

Perubahan paling ketara hanya di bagian kamar saja yang dulunya begitu laki-laki, sekarang terlihat lebih feminim dan rapi. Oliv memang paling sering menghabiskan waktunya di dalam kamar, jadi sebisa mungkin ia akan menata kamarnya agar selalu rapi dan nyaman. Bahkan aroma kamarnya saja begitu menenangkan. Biasanya di malam hari, Oliv juga suka menyalakan lilin aromaterapi. Akibat dari racun Rendy juga sih, sebab pemuda itu juga suka mengoleksi lilin aromaterapi.

"Kaki kamu kenapa, Liv?" Dimi yang baru saja mengobservasi apartemen Oliv itu bertanya sambil menghampiri adiknya yang terduduk di sofa.

Masih sambil meniupi luka di lututnya yang kembali terbuka, sepertinya akibat dari naik tangga tadi pagi juga karena berlari menghampiri Dimi, Oliv meringis sambil menjawab. "Luka, Bang. Jatuh dari sepeda kemarin."

"Mana sini lukanya abang mau liat."

Kedua kaki Oliv diangkat oleh Dimi lalu diletakkan di atas pangkuannya, matanya yang tajam pun mulai meneliti luka tersebut selama beberapa saat. "Lukanya emang nggak begitu parah, tapi tetap kerasa perih ya kalau dibuat jalan?"

"Iya, cekat-cekit gitu."

"Kok bisa sampai jatuh sih, Liv? Sepeda siapa coba yang kamu pakai, kamu kan nggak punya sepeda."

"Sepeda punya pacar aku, namanya Rendy. Baik aku sama dia sama-sama nggak tau kalau rem sepedanya blong, mana aku bawa sepedanya lumayan laju pula. Pas di jalan yang agak menurun, jatuh deh gara-gara kehilangan keseimbangan. Ini juga masih mending sih seandainya nggak ditolong Rendy lukanya mungkin bakal lebih parah," jelas Oliv panjang lembar.

Si kakak mengangguk paham. "Pacar kamu luka juga?"

"Iya. Tapi anehnya dia kuat banget, padahal lututnya juga luka tapi tadi pas di kampus dia masih sanggup gendong aku buat bantuin turun dari lantai tiga."

"Wow. Pengorbanan banget tuh," Dimi berdecak kagum, "pacar kamu emang sebaik itu ya?"

"Halaah, apaan. Kadang-kadang doang baiknya, Bang. Seringnya sih bikin kesel, makanya kami sering banget berantem."

"Malah seru kan? Kalau isinya adem ayem uwu-uwuan doang malah flat, Liv. Kalau sering berantem kan jadi lebih memantang."

"Menantang gundul mu!" Si gadis mendengus sebal, kemudian menurunkan kedua kakinya dari pangkuan si kakak yang kini mulai menyandarkan punggungnya di sofa. "Abang sampai kapan di sini? Nggak mungkin lama kan? Setau aku ini belum masuk waktu libur."

Dimi mengangguk menyetujui. "Abang cuma ambil izin tiga hari buat pulang. Lusa kan sepupu kita ada yang nikahan, Liv. Itu si Januar, makanya abang mau datang. Paling selesai acara, malamnya abang bakal langsung ke bandara. Jadi nggak bakalan lama di sini."

"Oh, iya. Waktu itu ada sih dikasih tau Mama, cuma aku lupa ternyata lusa ya acaranya. Ku pikir masih minggu depan." Oliv ikut menyandarkan punggungnya di sofa setelah melepas kemeja hingga menyisakan kaus hitam saja di baliknya. "Jadi kangen Mama deh."

"Lagian kamu tuh jarang banget pulang ke rumah, setidaknya pas weekend gitu. Kasihan tau Mama sendirian nggak ada yang nemenin anaknya pada jauh-jauh semua."

"Masalahnya tuh males, Bang. Jauh. Capek di jalan."

"Cuma tiga jam doang."

"Tiga jam tuh lama! Lagian aku juga nggak punya kendaraan pribadi di sini, kalau tiap minggu balik ke rumah ya boros duit lah. Mending dibeliin jajan, nanti juga pas libur semester aku pulang."

Lovenemy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang