05 - Responsibility

22.4K 1K 9
                                    

Dipta sangat kesal. Masalahnya dengan Viora belum selesai, namun Papanya malah mengganggu dirinya. Sepulang dari sekolah, Dipta diwajibkan untuk mengunjungi Papanya di rumah.

Sebagai anak yang berbakti, Dipta pun mengabulkan keinginan Papanya. Kini, pria itu melangkah memasuki rumah besar yang mana dulu dia tumbuh. Di ruang tamu sudah ada Pram dan Utari, Papa dan Mamanya.

Melihat kedatangan sang putra, Pram langsung bangkit dan tiba-tiba memberikan pukulan keras ke Dipta. Pria itu yang tak siap pun langsung terhuyung ke belakang, jatuh terduduk dengan menatap Papanya tak mengerti.

"Papa kenapa, sih?" tanyanya bingung.

"Bangun! Anak kurang ajar!" makinya menarik kerah kemeja Dipta.

"Pa, udah! Kita bisa bicara baik-baik!"

Utari yang tahu kemarahan suaminya pun menarik Pram, mendudukkan pria itu di sofa kembali, lalu berjalan ke arah Dipta dan membimbing putranya untuk bangkit.

"Bangun!" titah Utari dingin.

Dipta sangat bingung melihat kedua orang tuanya yang terlihat marah. Dia tak tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat.

"Ma, Pa, ada apa?" Dipta kembali bertanya. Dirinya yang sudah duduk berseberangan dengan mereka menatap keduanya penuh rasa ingin tahu.

"Kamu masih berani tanya?" sahut Pram sewot.

"Aku nggak tahu, Pa! Kenapa Papa tiba-tiba mukul aku kayak tadi?"

Pram terlihat menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. Pria yang berusia lebih dari setengah abad itu kemudian menatap Dipta lekat.

"Papa tahu kalau kamu udah hamilin murid kamu," papar Pram kemudian.

Dipta sedikit terkejut, tangannya mengusap wajahnya kasar. "Pa ... ini nggak kayak apa yang Papa pikir," adu Dipta.

"Papa nggak peduli, intinya kamu udah brengsek banget setuju sama dia yang bakal aborsi!" kilah Pram.

"Tapi nggak mungkin juga dia bertahan sama bayinya, Pa. Dia masih sekolah," sambung Dipta.

"Ya terus kenapa kamu hamilin?" Tangan Pram yang terkepal kuat memukul meja kaca di depannya, membuat Dipta sedikit takut tentu saja. Utari yang di sebelahnya hanya bisa mengusap bahu suaminya untuk membuatnya tenang.

"Aku nggak senga-"

"Kamu pasti nggak pernah mikirin dampaknya kalau dia jadi aborsi. Oke, emang kamu bebas setelah itu. Tapi dia? Selain bakal berisiko mengalami komplikasi yang parah, dia juga bakal mengalami trauma psikologis. Rasa bersalah atas apa yang udah dia lakukan bakal menghantuinya. Lagi, secara nggak langsung kamu udah bunuh anak kamu sendiri."

Dipta termenung mendengar penjelasan Pram. Benar, dia tak berpikir sampai ke sana. Dia tak memikirkan dampaknya untuk Viora, dia terlalu egois.

"Tapi aku nggak maksa dia, Pa. Ak-"

"Mama mau ketemu sama dia."

Utari yang sejak tadi hanya diam pun membuka suara, memotong ucapan Dipta dan menatap putranya lekat-lekat.

Dipta kalah, dia tak bisa menolak keinginan Mamanya. Untuk itu, dia setuju untuk membawa kedua orang tuanya menemui Viora.

***

Pusing benar-benar menguasai kepalanya sekarang. Viora, perempuan itu tengah berbaring di sofa ruang tamu seraya menonton televisi. Di sedang menunggu Razka pulang, yang mana pemuda itu akan membawakannya makan.

Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Dengan sedikit mendengkus, Viora bangkit dan membuka pintu.

Matanya membulat sempurna ketika melihat Dipta dan dua orang yang jauh lebih tua dibanding gurunya itu.

Sejenak, Viora tak berkata apa-apa.

"Viora," panggil Dipta menyadarkan Viora dari rasa terkejutnya.

"Pak Dipta ngapain di sini?" tanyanya kemudian.

"Orang tua saya mau bicara sama kamu," jawabnya.

"Hah? Bica-baik, silakan masuk!"

Viora sangat bingung dan sedikit takut. Namun dia tetap membawa ketiga orang itu untuk masuk ke dalam. Sekarang, mereka sudah duduk di sofa, dengan Viora yang berseberangan dengan Pram dan Utari, sementara Dipta duduk di sisi yang lain.

"Maaf sebelumnya, ada apa, ya, Pak?" Viora bertanya dengan sopan.

"Nama kamu siapa, Nak?" Utari yang memperhatikan Viora sejak tadi angkat bicara.

"Nama saya Viora, Buk," balasnya sopan. Perempuan itu juga memberikan sedikit senyumnya.

"Kami udah tahu kalau anak kami udah hamilin kamu. Di sini, kami bakal bertanggung jawab dengan apa yang udah Dipta lakukan," jelas Utari mengatakan kedatangan mereka.

Viora terkejut, dia melirik Dipta yang hanya menunduk. Perempuan itu bingung kenapa Dipta bisa memberi tahu kedua orang tuanya tentang masalah ini.

"Buk ... tapi nggak perlu. Pak Dipta nggak salah juga. Semua ini kecelakaan," tolak Viora.

"Ma, aku emang hamilin Viora. Tapi ini nggak kayak apa yang Mama sama Papa pikirin," sambung Dipta.

"Ya udah, sekarang jelasin!" sahut Pram, didukung dengan anggukan Utari.

Dipta menatap Viora yang matanya sudah berkaca-kaca, meminta persetujuan perempuan itu untuk menjelaskan semuanya kepada kedua orangtuanya. Viora mengangguk, mempersilakan Dipta. Jujur, Viora sangat malu.

"Dua bulan yang lalu, Viora dijual sama Tantenya, Ma, Pa. Dia dipaksa buat jadi wanita panggilan. Aku yang waktu itu sakit hati karena Bang Dika sama Reana, disewain wanita sama Baron. Tapi aku nggak tahu kalau dia adalah Viora. Aku nggak sadar sama sekali karena mabuk."

"Tapi kamu bener-bener hamil sama anak saya, kan?" Pertanyaan yang bagi Viora sangat menyakitkan itu dilontarkan oleh Utari.

Viora sangat tak terima, dia marah, juga malu dan sakit hati. Ditatapnya Utari dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

"Buk, sa-"

"Anak aku, Ma. Itu yang pertama bagi dia. Setelah sama aku, dia kabur ke sini. Sampai sekarang Viora masih dikejar-kejar sama orang yang udah membelinya," sahut Dipta cepat, tangannya menggenggam tangan Viora yang mengepal kuat di sisi pahanya. Pria itu tahu perasaan Viora, dia berniat menguatkan perempuan itu.

"Oke, jadi ... kamu harus nikahin Viora," putus Pram setelahnya.

"Pa, tap-"

"Kamu harus bertanggung jawab, bukan untuk apa yang telah kamu perbuat, tapi untuk anak yang sekarang Viora kandung. Mau bagaimana pun juga, dia anak kamu, Dipta. Dia anak kalian berdua, Papa nggak bakal biarin kalian membunuh bayi nggak bersalah itu," lanjut Pram lagi.

"Kamu juga harus menebus Viora dari orang yang udah membelinya," sahut Utari.

Viora tak bisa berkata apa-apa, dia hanya menunduk menahan tangisnya.

"Nak, nggak usah sedih! Kamu nggak bakal lewatin ini sendirian," ujar Utari yang kini duduk di sebelah Viora, mengusap bahu perempuan itu untuk menenangkan perasaannya.

"Buk, saya takut," lirih Viora dengan isakan yang melengkapi.

"Kamu nggak perlu takut, Sayang."

"Papa bakal urus semuanya. Papa pergi dulu."

Pram menyela di antara obrolan mereka, mau tak mau, Utari harus ikut. Keduanya lalu melangkah pergi dari sana, meninggalkan Viora dan Dipta.

"Pak Dipta."

"Viora."

Mereka memanggil satu sama lain bersamaan, keduanya saling pandang setelah itu. Dipta tersenyum kecil di tengah keresahan di antara mereka, begitu pun Viora.

"Saya bakal tanggung jawab," ungkap Dipta tulus, sedikit mengangguk ke Viora.

"Sebenarnya Bapak nggak perlu ngelakuin itu."

"Benar kata Papa saya, saya nggak mungkin bunuh anak kita, Viora. Dia nggak bersalah."

Viora menundukkan wajahnya mendengar ucapan Dipta, dia merasakan pipinya memanas ketika Dipta menyebut bayi yang dia kandung adalah anak mereka. Entahlah, perasaan Viora terasa hangat.

My Little Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang