Pagi lagi, pagi terus, dan selalu pagi. Sudah ku bilang, hariku selalu diawali dengan pagi hari. Namun pagi ini berbeda dari biasanya. Tak ada sinar marahari yang menilisik melalu celah celah kamarku dan memaksaku untuk membuka mata. Tak ada kicauan burung yang ikut memeriahkan pagi ku seperti biasanya.
Hujan, langit mendung. Sejak kapan hujan turun? Aku melirik jam yanh tergantung didinding kamar ku. Baru jam setengah tujuh pagi, lalu aku melirik sekilas kalender, untung saja tanggal merah. Sehingga aku tak perlu terburu - buru mandi dan bersiap - siap berangkat sekolah.
Aku bangun dengan malas, mataku sembab sisa menangis semalam. Aku tak ingat siapa yang mengantar ku pulang. Tapi, dekapannya begitu hangat. Dia membiarkanku menangis. Dekapannya begitu membuat ku tenang.
Hujan semakin deras, aku suka hujan. Sangat suka. Aku suka mengagumi betapa hebatnya ia yang tak pernah mengeluh. Hujan semakin deras, aku suka hujan. Sangat suka. Aku suka merajut mimpi masa depanku dan menguraikan masa lalu hingga tak bersisa sama sekali. Aku suka hujan, sangat suka.
Ku rasa aku sudah terlalu lama melamun, mengapa sekarang aku lebih suka melamun? Entahlah.
"Mbok, mbok Sirni dimana?" Panggil ku, setelag penasaran dengan seseorang yang mengantar ku pulang
"Iya non, kenapa pagi-pagi udah nyari-nyari mbok non?" Tanya mbok Sirni yang sedang memasak didapur.
Sudah ku bilang, mbok Sirni selalu memperhatikan tumbuh kembangku. Setiap aku libur sekolah, ia selalu memasakkan masakan spesial untukku. Masakan seafood yang akan mengubah mood ku.
"Mbok, kemarin aku pulang jam berapa ya? Terus ada yang nganterin aku pulang gak mbok?" Tanyaku sambil sesekali mencicipi masakan mbok Sirni, sebenarnya bukan mencicipi atau lebih tepatnya mamakannya begitu saja.
"Aduh nonnn, itu baru bangun tidur langsung makan gitu aja. Gak baik anak gadis begitu non" omel mbok Sirni
"Maaf mbok,habisnya enak sih masakannya" ucapku sambil sesekali tertawa
"Oya mbok, jawaban dari pertanyaan Ara tadi apa?" Lanjutku
"Emang non udah sembuh? Itu mukanya masih pucet juga" ucap mbok Sirni mengalihkan pembicaraan
"Aduhhh, mbok ku ini. Pertanyaan ku kenapa belum dijawab" aku mengeluh pada mbok Sirni
"Iya iya, kemarin kamu dianter pulang sama cowok. Udah itu kamunya pake di gendong segala lagi sama cowok itu" jelas mbok Sirni dengan nada sedikit kesal, jelas saja mbok Sirni kesal. Dia tak suka ada laki - laki yang hanya bermain denganku
"Cowok? Dia ngasih tau namanya gak?" Tanyaku penasaran
"Mbok lupa nanya namanya, yang jelas sih temen sekolah non kayaknya"
"Emang ciri - ciri nya kayak gimana mbok?"
"Urakan gitu deh non, kayaknya anak bandel. Gak suka mbok liatnya. Tapi lumayan cakep juga sih"
"Mbok, dont judge the book by the cover. Yang artinya jangan melihat seseorang dari penampilannya aja mbok. Kali aja dia baik, dan gak seburuk penampilannya" jelas ku, memberikan pemahaman baru kepada mbok Sirni
"Iya ajalah. Asal non seneng, mbok juga seneng kok" ucap mbok Sirni sambil mengusap kepalaku
Aku hanya tersenyum, menikmati sentuhan lembut mbok Sirni.
"Oh iya non, mbok sampe lupa. Kemarin cowok itu nitipin surat buat non" ucap mbok Sirni memberhentikan langkah ku
"Eh? Surat apa mbok? Tebusan rumah sakit? Atau tebusan hutang?" Tanyaku dengan mengangkat sebelah alisku
"Non, dont judge the book by the cover. " ucap mbok Sirni meniru cara bicaraku
"Terus, suratnya dimana mbok?" Tanyaku
"Itu diatas meja, habis baca suratnya langsung mandi terus sarapan ya non" ucap mbok Sirni
"Oke sip" ucapku memberikan tanda jempol lalu berlarian menaiki tangga menuju kamarku
Sesampainya dikamar, aku meniliti surat tersebut. Sepertinya memang bukan surat tebusan. Lantas untuk apa mengirim surat? Bukankah sekarang sudah ada alat komunikasi yang lebih canggih?.
Aku mengingat kembali kejadian kemarin, saat Risfan mengungkapkan perasaannya, aku meninggalkannya, lantas dia hanya terdiam ditempat. Jadi tidak mungkin jika Risfan yang mengantar ku dan memberikan surat ini. Lagi pula penampilannya juga tidak urakan.
Lalu, aku berjalan maksudku setengah berlari. Aku menangis ditengah perjalanan. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku merasakan seseorang memanggil namaku. Mendekapku, dan dekapannya begitu hangat kurasakan.
Tapi, aku tak tahu siapa orang itu.Aku membuka surat itu, ditemani dengan melodi hujan yanh seperti menyayat hati. Entahlah, aku ingin menangis kembali bersama hujan.
Dear, Ara♡
Gimana Ra? Udah sehat? Jangan nangis lagi ya? Gue selalu ada buat lu kok? Lu tuh gak sendiri kok, dan bukan cuman lu aja yang ngerasain hal itu, gue juga kok!.
Jangan nangis ya mentari sore gue, senyum lu yang sehangat mentari sore dengan sunset yang diciptakannya, lu tuh bagai sunset yang selalu gue tunggu.
Lu bagai matahari dan gue bagai bunga matahari, gue akan selalu ngikutin dan menjaga lu dimanapun lu berada.
Gueeee, sayang lu Ra
Lu gak perlu tau siapa pun gue, yang pasti gue akan selalu jaga lu Ra.Love you Ra,
I always with you
Your Secret Admirer♡Tulisan tangannya tidak begitu rapih, aku rasa dia menulisnya terburu - buru. Kata - kata nya terlalu dipaksakan, aku rasa dia tak bisa berbahasa romantis.
Tapi kenapa dia menulis seakan dia juga merasakan hal yang sama denganku? Apa dia merasakan apa yang kurasa juga? Sejak kapan orang itu mengetahui kehidupan pribadiku? Teman - teman disekolah tak ada yang pernah mengetahui kehidupan pribadiku, lebih dari itu tak ada yang peduli.
Sejak kapan aku memiliki pengagum rahasia? Maksudku, aku memang salah satu anggota OSIS, namun kemungkinan kecil bagiku untuk memiliki pengagum rahasia, tidak seperti teman - teman OSIS ku yang lain yang memiliki banyk pengagum rahasia.
Aku membaca surat itu lagi, memperhatikan tulisannya lama - lama. Satu nama terlintas begitu saja dibenakku.
Ricky.
Ricky Prasetyo.
Dekapan yang hangat.
Penampilan urakan.
Tampang lumayan.
Mengapa itu semua mengarah pada Ricky? Kurasa itu ketidakmungkinan yang lebih besar.
Dia tak pernah peduli dengan ku, dia selalu menggangguku setiap hari. Tak pernah rela melihatku senang.
"Raaaa"
"Araaaa"
Suara itu kembali terngiang di benakku, suara berat yang sangat khas.
Ricky.
Ricky Prasetyo.
Dekapan yang hangat.
Penampilan urakan.
Tampang lumayan.
Suara berat yang khas.
Lalu apa maksudnya menulis surat ini? Apa maksudnya mengatakan bahwa dia merasakan hal yang sama dengan ku? Apa dia mengetahui kehidupan pribadiku?.
Aku tidak suka ini, aku tidak suka siapapun yang menyentuh kehidupan pribadiku. Dia terlalu sok tahu dengan apa yang aku alami.
Hujan semakin deras, otak dan hatiku tak sejalan. Ketika otakku mengatakan bahwa semua kemungkinan itu mengarah ke Ricky, namun hatiku mengelak. Tak harus Ricky, tak harus dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ara.
Fiksi RemajaNamaku Ara, aku tak percaya cinta. Seseorang yang seharusnya mengajarkan betapa cinta itu menyenangkan, tetapi malah memperlihatkan betapa sakitnya jatuh cinta. Aku tak percaya cinta