Part 11

122 10 3
                                    


"Hahhahahaha"

        "Aaaaa, mangap lu" ucap Risya kepada Shilla lalu memasukan potongan besar kue

       "Hmmpppp, ghue nghak bisha nehlen begho" ucap Shilla dengan mulut yang sudah penuh dengan makanan

       Aku tertawa sekali lagi dengan tingkah mereka, sangat lucu dan mengusir semua kesedihanku. Tuhan memang adil, dimana ada kesedihan pasti ada kebahagiaan. Aku bersyukur dengan keadaan kecil ini.

      Aku dan yang lainnya masih saling memasukan potongan - potongan kue kedalam mulut masing - masing.

      "Ini kue beli atau buat?" Tanyaku saat potongan - potongan kue itu sudah hampir habis

      "Gue maling di toko mang Ujang" ucap Tiza sekenanya

      "Eh Za, ini kuenya gue yang bikin tau" ucap Echa tak mau kalah

      "Enak aja lu doang yang ngaku - ngaku, gue juga yang mecahin telurnya"

     "Gue yang belanja barangnya"

     "Gue yang selalu mendoakan kalian" ucap Risya lalu tertawa

      Aku mengambil beberapa krim dengan tangan lalu mempoleskan krim itu kewajah teman - teman ku.

     "Ara"

     "Araa"

     "Araaa"

     "Araaaa"

     "Araaaaaa"

     "Hahaha, udah kayak paduan suara aja lu semua" aku tertawa dan berlari meninggalkan mereka, sebelum terjadi perang krim antara aku dan mereka.

      "Eh Ra tunggu deh" ucap Trisya diantara peperangan krim kami

     "Kenapa Sya?" Tanya ku bingung

     "Ini kue dari siapa deh?" Tanya Trisya sambil menunjuk sisa kue diatas meja dapurku

      "Oh itu? Itu dari Ricky"  ucapku santai
 
      "Hah? Ricky? Woy serius lu!" Tuduh Tiza langsung menodongku dengan tatapan mautnya

      "Iya, kenapa?" Tanyaku lagi

      "Ini aneh"

      "Sangat aneh"

      "Terlalu aneh dan susah dimengerti"

       "Apasih lu pada, biasa aja kali,  emang kenapa sih?" Tanyaku untuk kesekian kalinya lagi

       "Ada yang lu sembunyiin dari kita ya?" Tanya Shilla sesekali meniliti wajahku untuk menemukan keanehan yang mereka inginkan

       "Lu habis nangis?" Tanyanya lagi

       Aku hanya menggeleng dan menepis tangan Shilla yanh sedari tadi memegang bahuku

      "Jangan natap gue kayak gitu, gue bukan mahoan lu" ucapku dengan wajah datar

      "Anjir, kalau gue mau mahoan gue juga pilih - pilih orang bego" ucapnya sambil menoyor kepalaku

      Aku hanya tertawa, dan sekaligu bersyukur mereka tak membahas apapun

      "Tapi serius deh Ra, lu habis nangis?" Ucap Echa

      "Serius mah datengin orang tuanya Cha, jangan bilang ke gue" ucap ku lagi mengalihkan perhatian mereka pada topik pembicaraan lain

      "Ara, kita beneran" ucap Trisya tak mau kalah penasaran dengan yang lainnya

      "Kalian emang nyata kok" ucapku

      "Ra, lu gak bisa terus - terusan nyembunyiin semuanya sama kita" ucap Risya

       "Oke oke, tapi sebelum itu kita makan dulu. Karena jam makan siang gue udah lewat dari tadi" ucapku sambil sesekal melihat jarum jam yang sudah menunjukan pukul empat sore

       Teman - teman ku akhirnya menyetujui dan mengikutiku untuk keruang makan. Menyantap hidangan yanh sudah disediakan mbok Sirni. Tak ada yang memulai pembicaraan, semuanya diam dan terfokus pada makanan masing - masing, bagaimana caranya agar makanan dihadapan mereka habis dengan cepat.

       Setelah semua selesai dengan makanannya masing - masing, mereka menatapku, menunggu ku untuk berinteraksi.

      "Kenapa liatin gue kayak gitu?" Kataku

      "Cepetan cerita Ra" desak Shilla

       Aku tersenyum, mengambil nafas sejenak, menengadahkan wajah ku, melihat langit - langit rumahku yang menjadi saksi atas semua kejadian yang menyakitkan.

      "Gue pernah baca buku dan disitu ada kutipan, setiap kesedihan pasti ada celah untuk sebuah kebahagiaan. Dan gue percaya itu" kataku memulai cerita

     "Gue juga percaya itu, karena Tuhan gak akan pernah bikin hambanya terpuruk" ucap Trisya mengiyakan pendapatku

      "Selama ini gue selalu membenci takdir, kalian tau kan? Kalau takdir itu ada yang bisa diubah dan ada yang udah tetap. Tapi gue gak bisa ngerubah takdir yang bisa dirubah. Gue terlalu takut, gue gak bisa nerima dan gue juga gak bisa ngerubah takdir yang bisa gue rubah" ucapku lalu menghela nafas

      "Gue benci ketika perceraian kedua orang tua gue, jujur gue benci mereka yang udah ninggalin gue. Gue benci takdir yang ngebuat gue kayak gini. Kalian selalu bisa cerita tentang masalah cinta, karena kalian dicontohin dengan contoh kisah cinta yang bahagia. Sedangkan gue? Gue gak pernah percaya cinta, gue benci hal - hal yang bersangkutan sama cinta ataupun perasaan. Gue selalu dikasih liat bahwa cinta itu bukan buat orang bahagia, gue dikasih pengertian bahwa cinta itu bukan buat menyatukan hati masing - masing. Cinta itu cuman nyakitin. Gue ngeliat nyokap ditampar bokap, gue ngeliat nyokap yang ninggalin rumah tanpa pernah kembali lagi, terus gue dihadepin dengan bokap yang juga gak pernah gue tau berada dimana dia sekarang" aku menengadahkan wajah ku untuk menatap langit - langit. Air mata kutahan agar tak menetes. Kenangan itu berputar kembali. Aku memejamkan mata, suara ayah dan ibu terus memenuhi pendengaranku.

      "Kalian tau? Gue pernah jatuh cinta, gue pernah percaya sama satu orang , tapi orang yang gue percaya pergi gitu aja ninggalin gue. Pergi ninggalin gue kayak bokap sama nyokap. Dan orang itu dengan ringan langkahnya nemuin gue, nemuin gue saat gue udah merasa punya kebahagiaan" memori ku memutar ulang kejadian pagi hingga siang hari tadi

     "Setiap kesediahan masih ada celah untuk kebahagiaan, gue selalu berpegang teguh sama motivasi itu. Ricky dengan sikapnya yang konyol berhasil buat gue ngelupain masalah gue, dia tadi pagi dateng dengan santainya, ngebuat gue bahagia, ngebuat gue bisa ketawa lepas. Lalu, orang itu dateng lagi, dengan ringannya bilang kalau dia mau jelasin semuanya. Mau jelasin apa yang harusnya gak pernah terjadi. Gue, ...." ucapan ku menggantung, aku tak bisa menahan air mata lagi.

      Memori menyakitkan itu selalu berputar ulang diingatanku, tak ada yang mau berhenti. Jika dipaksa berhenti maka memori itu akan seperti kaset rusak.

       "Ra?" Ucap Echa mengelus punggung ku berusaha untuk menenangkanku

       "Gue gak kenapa -kenapa kok" ucapku berusaha tersenyum

       "Mulai sekarang lu punya kita Ra, lu punya kita yang selalu ada buat lu" ucap Risya

       "Iya Ra, jangan pernah buat gengsi cerita sama kita. Kita keluarga Ra, inget kan? Dalam keluarga harus saling terbuka" ucap Tiza

       Aku hanya tersenyum, Trisya dan Shilla memulai pelukan kami. Aku merasa hangat dalam dekapan mereka. Aku selalu percaya bahwa setiap kesedihan masih ada celah untuk kebahagiaan, walaupun aku tahu bahwa celah kebahagiaan ku terlalu kecil dan kesedihan itu terlalu besar. Namun kini aku mempunyai kelima sahabatku atau kini ku sebut mereka keluarga, mbok Sirni, dan mungkin Ricky. Apakah setelah ini aku akan percaya dengan cinta? Entahlah aku tak tahu bagaimana caranya percaya dengan cinta. Aku berharap memori menyakitkan itu dapat kuterima bukan kulupakan, dapat ku simpan bukan kubuang.

    

     
     
    

Ara.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang