Hari Pementasan...
Ada beberapa acara yang menjadi acara besar dan begitu penting bagi SMA Nusantara. Diantaranya perpisahan atau malam prom night nanti dan pementasan seni kali ini.
Semua sudah disiapkan oleh panitia, acara akan dimulai lima menit lagi. Tepatnya pukul delapan pagi. Namun kelasku akan tampil jam tujuh malam nanti. Karna akan ada jatah penampilan bagi yang lain. Pementasan kelas kami yang akan menjadi penutupnya.
"Eh properti udah ada semua kan? Gak ada yang kurang?" Tanya Trian memastikan bahwa tak ada yang kurang satu pun untuk pementasan ini
Seluruh anak kelas ku mendengus kesal, ini udah kesekian kalinya Trian mengulang pertanyaan yang bagiku itu cukup tidak bermutu.
"Okeoke, gue minta maaf. Gue cuma takut aja kalau ada yang kurang" ucap Trian lagi, dengan menggaruk kepala yang kuyakini itu pasti tidak sedang terasa gatal.
Waktu berlalu begitu cepat, dua jam lagi kelas ku akan melakukan pementasan. Jantung ku berdegup lebih kencang lagi, aku tak yakin ini hanya sebuah rasa gugup akan tontonan banyak orang. Firasatku mengatakan setelah pementasan akan ada hal yang sangat menyakitkan menantikanku. Aku tahu, kemungkinan terburuk apapun pasti akan ada dalam setiap momen. Namun apa salahnya jika kita tak memedulikan kemungkinan terburuk itu? Bukan kah kemungkinan terburuk itu akan hadir jika kita selalu memikirkannya?
"Lu kenapa sih? belom juga tampil, tapi udah banjir keringet gitu" ucap Echa mengembalikan ku ke alam sadar
"Haduh, Echa. Ini ditonton hampir seluruh murid SMA Nusantara, juga murid dari SMA lain. Gimana gue gak gugup juga" ucapku dengan kesal karna Echa terus mengeluh akan sikapku
"Tenang aja kali Ra, mereka cuma nonton. Gak akan makan lu" ucap Tiza menenangkanku
Aku menatap datar kearah Tiza, yaampun. Dalam keadaan genting ini, Tiza masih saja bercanda. Dan bercandanya tidak lucu sama sekali. Penampilan sebelum kami sudah selesai lima menit yang lalu, sekarang mc sedang mengambil alih acara. Bertanya sedikit banyak kepada penonton bagaimana berjalannya acara ini.
Sementara itu, properti untuk pementasan kelasku sudah mulai dipasang. Tentu saja dengan ayunan dan hal lainnya yang berhubungan dengan anak kecil.
Lampu panggung dimatikan, seluruh gelap. Tak ada cahaya sama sekali. Petikan gitar mulai terdengar, disusul dengan dentingan piano yang seperti beradu mengalun nada indah untuk mengawali pementasan ini.
Ricky membuka tarian, lampu panggung sempurna menyorotnya. Menarikan sebuah tarian yang sangat indah namun tetap menjaga wibawanya. Aku mulai memasuki panggung, namun lampu belum menyorotku. Ricky menyelesaikan monolognya yang diakhiri dengan tangannya terulur kepadaku. Aku menyambutnya, menari dengan nada yang sesuai.
Aku menari, seolah mengenang awal perkenalan kami. Bagaimana cara dia menatapku saat pertama kali bertemu, tersenyum saat pertama kali, membuatku tertawa dan kagum dalam satu waktu, mengenang bagaimana keseruan latihan dengan coki, membelah kota Jakarta bersama coki. Menikmati senja bertiga dengan coki untuk pertama kalinya. Ini bukan tarian tentang masa kanak - kanak. Ini tarian tentang kami, tarian tentang cerita kami yang entah bagaimana nanti ujungnya. Menarikan bagaimana perasaan ku, bagaimana perasaannya, dan bagaimana semua ini akan berakhir.
Aku menatap dalam matanya, bola mata coklat terang yang selalu membuatku ingin terus menatapnya, membuat ku tak ingin memalingkan pandangan jika sudah beradu dengan matanya. Ricky juga menatapku, lebih dalam lagi. Aku menutup mata, mungkin dia juga menutup mata. Menghirup udara sedalam - dalamnya. Udara terasa semakin menipis ketika aku dan Ricky menarikan inti dalam setiap tariannya.Jantungku semakin memacu kecepatan debarnya, seolah bahwa aku pemiliknya harus cepat mendapat pasokan darah untuk terus sampai ke otak.
Kaki ku ringan melangkah, tangan kokohnya memeluk erat pinggangku. Kakinya intens mengajak kakiku menari, tak ada kesalahan sama sekali. Sejauh ini semua tarian yang kami tarikan tak ada masalah sama sekali. Karena kami menarikan sepenuh hati. Aku kembali teringat kata - katanya saat di gedung itu, bahwa hati kami berada dalam satu lingkaran, saling berkaitan dan akan tetap terus begitu.
Aku tetap menutup mata, berharap ini semua bukan lah mimpi. Berharap apa yang kurasakan benar. Jarak kami semakin dekat, dia menarik tanganku agar lebih dalam memeluknya. Tarian kami sudah mencapai pada klimaksnya, dimana aku dan dia saat masa jatuh cinta.
Aku menari tanpanya, menarikan monolog yang ingin kusampaikan. Aku menari bebas, namun tarian yang lemah. Dalam tarian ini aku menceritakan bagaimana jika seseorang yang tak ada riwayat penyakit satupun langsung mendapatkan penyakit yang mengenaskan. Properti mulai berganti lagi, dihidungku sudah terpasang selang penghantar oksigen. Aku menari, semakin lama aku menari. Maka semakin lemah tarianku. Lemah dan terus menjadi lemah.
Tangannya terulur, mengajakku menari. Melihat dunia kembali, tarianku tetap lemah. Tangannya mempererat pegangannya pada pinggangku. Aku tak bisa mengikuti tempo tarian yang ia mainkan. Tarianku melemah dan semakin melemah, tarian aku dan dia kini hanya kekanan dan kekiri. Tak menari seaktif tadi.
Pada penutupannya, aku memeluk Ricky. Menyandarkan kepalaku pada pundak kokohnya. Masih tetap menari, namun tanpa ada jarak setipis benang pun. Tarian semakin pelan, petikan gitar semakin membuat hati teriris, dentingan piano semakin mengecilkan suaranya,menurunkan nada.
Tepat setelah petikan gitar terakhir berbunyi, aku jatuh. Ricky menangkapku dan mengecup keningku. Aku kaget, maksudku ini tak ada dalam skenario, bahkan adegan menangis pun tak ada dalam skenario. Tapi aku tak dapat melakukan apa - apa. Agar pementasan ini berlangsung meriah.
Tepuk tangan menggema diseluruh penjuru ruangan aula ini, tepat setelah Ricky menyudahi ciumannya pada keningku. Sejalan dengan tirai yang lambat - lambat mulai menutup.
"Gila, mereka kayak pasangan beneran"
"Emang beneran kali"
"Gue yakin, nilai kelas mereka yang gede. Liat aja, keren gitu"
"Iya"
"Yaiyalah"
Dan masih banyak lagi suara yang terdengar dibalik tirai yang sudah diturunkan.
Aku masih mengatur nafas, mengapa udara disini semakin menipis? Detak jantungku belum kembali normal, sepertinya ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal lagi. Aku masih terduduk didekat tirai, teman - teman ku masih bercengkrama dengan wali kelas ku yang sudah menunggu dibelakang panggung. Sesekali memberikan selamat kepadaku, dan juga tentunya kepada Ricky.
Aku mengedarkan pandangan, mencari Ricky. Melihat punggung kokohnya dari sudut mataku, jantungku berdetak lebih cepat dari pada tadi, aku seperti kehabisan nafas. Kenapa ini? Tidak mungkin bukan jika aku jatuh padanya? Tapi, apa maksud perlakuaannya saat kami menari tadi? Sebagian besar dari tarian kami bukan lah skenario yang sudah disiapkan Shilla.
Aku memegang keningku, memegang tepat ditempat Ricky menciumku. Aku masih terus memandanginya yang sedang mengobrol dengan Ali, tertawa saat Ali mencontohkan adegan yang tak ada didalam skenario.
Semua kembali kedalam kelas untuk mengganti pakaian, aku tak sempat menanyakan tentang tarian diluar skenario tadi.
Pementasan seni kali ini sudah selesai dengan meriah, kelas ku mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dan pujian yang melimpah dari penonton. Namun, aku dan Ricky menyudahi semuanya. Menyudahi sebelum aku benar - benar jatuh kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ara.
أدب المراهقينNamaku Ara, aku tak percaya cinta. Seseorang yang seharusnya mengajarkan betapa cinta itu menyenangkan, tetapi malah memperlihatkan betapa sakitnya jatuh cinta. Aku tak percaya cinta