Lukisan itu terpajang dengan apik di sudut ruang tenangnya. Di tembok berwarna cokelat dengan motif batu bata yang terdapat hiasan sulur dedaunan yang merambat.James disana, berdiri memandangnya dengan saksama tanpa benar-benar sadar bahwa bibirnya kini tengah melengkung karena tersenyum melihat betapa manisnya gadis dalam lukisan itu—lukisan yang mengingatkannya pada Megan, orang yang sangat ia cintai. James merindukannya, bahkan bayangan-bayangan indah itu turut menghiasi alam khayalnya.
˝Andai aku bisa memilih. Aku lebih memilih aku yang mati agar kau tetap hidup bersama anak kita, sayang.˝ James mendengus mendengar suara-suara Megan di perungunya. Suara itu masih begitu nyata di sampingnya, seolah melupakan kenyataan bahwa wanita itu telah tenang di alam sana. James tahu dia hampir gila dengan semua ini, sampai beberapa waktu lalu ia harus mendatangi dokter untuk memberinya obat penenang sebelum ia bertandang ke museum itu dan menemukan lukisan yang kini berada di depan matanya. ˝Kau selalu cantik. Dan aku tahu, kau tak akan bisa tergantikan oleh siapapun.˝
Suara gemeritik kayu bakar di perapian membuat pria itu menengok dan melirik ke arah sofa berwarna nude yang manis disana. Tempat dimana dulu mereka sering memadu kasih. Saling mencumbu, saling menyentuh dengan lembut, hingga saling mengisi satu sama lain. Tempat tubuh mereka saling memiliki satu sama lain, hanya untuk menguarkan rasa cinta yang mereka miliki.
Senyum itu lagi-lagi merekah. Menamparnya dengan bayangan yang sekali lagi hanya ilusi di matanya.
˝Aku rasa aku ingin menyentuhmu.˝
James mengangkat alisnya, meraih lukisan yang kemarin dipasang oleh kurir pengantar benda berharga itu untuk diturunkannya guna meraba seindah apa lukisan itu saat tersentuh oleh jemarinya. ˝Akankah kau seindah Megan?˝
Tangannya begitu perlahan saat menurunkan kanvas berfigura emas itu. Seakan benda itu akan hancur saat berada di tangannya. James menelitinya, mata kecil itu menyipit. Menyorot tiap sudut cat yang menggores disana, memahami lengkung yang sungguh ia yakin seperti lekuk tubuh Megan.
Dan James tiba-tiba tersentak. Kewarasannya seketika itu bangkit. Ia merasa benar sudah gila sekarang, hingga lukisan itu dengan kasar segera dibaliknya. Disandarkannya pada kaki nakas dan mendorong tubuhnya yang turun ke belakang sembari mendongak untuk menahan panas di matanya. Bergidik mengibas air mata yang mulai menurun di mata indahnya dan kembali menatap punggung kanvas.
Namun kini James memajukan tubuhnya untuk segera meraih benda yang tertangkap retinanya. Selembar kertas kekuningan yang jelas sekali tertempel dengan tulisan tangan yang melusuh.
James melepaskan kertas itu pelan-pelan. Membacanya dengan saksama dengan matanya yang memicing. Namun di akhir tulisan itu malah justru membuat matanya terbelalak.
˝Apa maksudnya ini?˝
🖤
Alice tak lagi menangisi kejadian beberapa waktu lalu. Orang yang ia cintai ternyata menyakitinya dengan sangat kejam. Mempermainkan hatinya dengan begitu mudah. Atau mungkin saja Alice yang terlalu mudah percaya pada pria, hanya karena ia baru pertama kali jatuh cinta. Dan cinta pertamanya kini tengah menikmati bahagia di atas kehancurannya.
Ia menarik napas dalam-dalam dan begitu nyeri, tapi senyumnya ia angkat dengan segenap kemampuannya. Alice tahu benar, ia tak boleh jatuh dalam jurang yang makin lama akan melahapnya mentah-mentah. Ia harus bangkit, menunjukkan arti kemenangan yang sesungguhnya pada para pengkhianat yang saat ini menertawai kebodohannya.
Bagaimana ini tak disebut kebodohan jika selama ini ternyata ia telah diduakan dan tak menyadari apapun. Rose adalah teman satu kelasnya di kampus bersama Rupert, dan mereka berada dalam satu lingkup yang sama. Dan sekarang? Menggelikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANE [End]
FanfictionJames Arthur telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Membuat pria itu merasakan kehilangan yang sanggup menghancurkannya dalam waktu sekejap. Namun siapa sangka jika dia menemukan hal lain setelah mendapati sebuah surat di balik lukisan...