3 : CITY

82 26 74
                                    

Pagelaran seni nampak dipadati ratusan manusia siang ini. Kumpulan hasil karya memiliki nilai jual yang luar biasa. Tak tertinggal pula James Arthur yang mengikuti tiap figura yang berjejer terpajang hingga sampai pada akhirnya kakinya berhenti di pojok utara dengan sorot lampu hangat menyorot tepat di atas lukisan itu.

Titik hitam mata itu terjerat. Terpatri disana hingga ia menelan ludahnya sendiri dan merasa tubuhnya sedikit gemetar. Wajah itu nampak anggun terlukis, bermahkota lekuk rambut cokelat keemasan yang tergerai, tersenyum dengan tenang bersama gaun hitam selutut yang menampakkan pesona seorang wanita dari jaman puluhan bahkan ratusan tahun lalu.

James masih mematung. Tak sedikitpun tergerak melangkah ke arah lain hanya demi menikmati suguhan yang membuatnya mengingat seseorang yang dicintainya.

"Megan?"

Atmosfer seakan makin membelenggu. Mulai membekukan tubuhnya tanpa sadar.

"Permisi."

Suara wanita memecah atensinya. Seorang pekerja pagelaran acara menghampirinya dengan senyum ramah. Membuat pria itu sedikit terkejut dan mengerjapkan matanya beberapa kali untuk fokus pada seseorang yang telah berdiri di sampingnya.

"Apa kau menyukai lukisannya, Tuan?"

Jantungnya berdetak keras, tubuhnya terasa cukup kacau sekarang hanya karena apa yang ada di depan matanya. "Eoh, ya tentu saja. Lukisan yang sangat cantik."

"Terima kasih Tuan. Di sebelah sana Anda akan menemukan yang lainnya juga, tak kalah menawannya dari lukisan ini."

James menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. Memainkan lidahnya di rongga mulut untuk menenangkan diri, kemudian, "Bisakah saya membeli lukisan ini, Nona?"

"Apa Anda sangat menginginkannya, Tuan?"

"Ya, tentu saja. Bisa bantu saya? Saya akan membelinya berapa pun harganya."

"Saya akan ke kantor sebentar. Akan saya tanyakan. Anda bisa menunggunya disini, Tuan."

Anggukan yakin dengan senyum mengembang menggambarkan bagaimana James begitu tak sabar membawa pulang lukisan megah itu. Memajangnya di istana miliknya hingga tak seorang pun dapat memilikinya.

🖤

"Terima kasih."

Langkahnya melemah. Kakinya mulai lelah setelah hampir seharian mencoba melamar pekerjaan di beberapa tempat.

"Tidak. Aku tidak boleh berhenti. Aku harus mendapatkan pekerjaan. Aku harus mengumpulkan uang untuk menemui Bryan. Aku harus mengambilnya. Harus!"

Semangat yang telah meredup satu menit lalu kembali bangkit. Bayangan dan suara tawa Bryan adalah kunci utama dalam hidupnya. Tak bisa lagi Alice mengulur waktu demi menahan rasa rindunya. Itu teramat menyakitkan. Harta keluarga telah hilang, dan dirinya tak mau harta paling berharga satu-satunya juga akan hilang dari hidupnya. Alice tak akan tinggal diam, dia harus bergegas sebelum semua makin terlambat dan makin memburuk.

"Satu tempat lagi. Semangat Alice!"

Langkahnya menuruni bis tujuan terakhirnya. Sebuah restoran di kota kecil itu menjadi tujuannya sekarang. Bekerja apapun asal dapat menghasilkan uang adalah tujuan dari awal setelah enam tempat yang didatanginya langsung memberi penolakan halus karena tak sesuai persyaratan yang diharapkan oleh pencari kerja. Ya, Alice memutuskan kuliahnya semenjak kedua orang tuanya meninggal. Banyak hal yang terjadi, membuatnya harus terbuang secara kasar ke tempat bordir seperti beberapa waktu lalu. Dan kini, ya inilah kenyataannya.

"Selamat siang."

"Selamat siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"

"Maaf, Tuan. Saya sedang mencari pekerjaan. Saya mendengar jika disini sedang mencari karyawan."

ARCANE [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang