18 : JUST BELIEVE

39 9 0
                                        

“Kenapa sekarang kau mengajakku berdebat?” Alice mendudukkan diri. Menarik selimut putih yang tadi terbuang ke lantai karena ulah James. Pria itu sungguh menyebalkan.

 “Aku tidak mengajakmu berdebat, sayang. Aku hanya memintamu untuk menurut. Itu semua demi keselamatanmu. Kau bahkan tak tahu—” James sekarang memerhatikan Alice lebih intens, “—jika dia tengah mengincarmu untuk suatu hal.” James mengerutkan dahinya. Wajahnya serius, lebih serius dibanding saat ia menyelesaikan masalah pekerjaan dengan kliennya.

Alice menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menelaah apa yang sedari tadi James katakana padanya, “Baiklah. Aku menurut. Tapi kau juga harus menjelaskan ada apa sebenarnya. Lalu darimana kau tahu jika aku pergi dengan Cedric.  Apa Keylie yang memberitahumu?”

Semua rasa lelah dan mengantuk lenyap seketika. Pikirannya kembali mengingat beberapa jam lalu. “Okay. Dengarkan aku dan maafkan aku.” James mengambil napas dalam-dalam sebelum bibirnya kembali berucap untuk pujaan hatinya, “Aku menaruh detector dalam ponselmu. Aku bisa mengetahui keberadaanmu dimanapun. Itu yang pertama. Lalu yang kedua. Karena kecurigaanku yang mengetahui lokasimu berada di tempat asing, aku menghubungi Keylie, aku memintanya untuk jujur tentang kemana perginya istriku setelah kalian bertemu. Apa aku salah? Jika aku salah katakan dimana letak kesalahanku?”

Alice menggigit bibir bawahnya. Ia merasakan lagi rasa bersalah dalam hatinya karena telah membohongi pria yang sekarang mengelus punggung tangannya. Ada dua hal juga yang ia pertanyakan dalam benaknya, kenapa James menaruh alat detector? Apa itu karena ketidakpercayaannya, atau karena dia terlalu khawatir? Alice ingin menanyakannya, tapi James sepertinya sudah tahu isi kepalanya.

“Aku terlalu mengkhawatirkanmu, sayang. Aku bekerja dan sering lembur. Aku tak bisa menghubungimu terus menerus untuk mengecek keadaanmu dan kau sedang berada dimana. Aku tahu, ini sepertinya berlebihan. Tapi—” James menelan salivanya, mendekatkan tubuhnya pada Alice dan memeluknya. “—aku tak mau kehilanganmu. Bahkan aku lebih rela mati untukmu, asalkan kau tetap hidup untukku.”

Benar saja, air mata itu mendadak menetes. Ia merasakan hal yang selama ini ia inginkan. Ia ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya. Memiliki pria yang setia padanya dan hanya menginginkan dirinya. Pria yang hanya berfokus padanya dan tak akan pergi meninggalkannya. Tuhan telah mengabulkannya. Mengirimkan malaikat penjaga dalam hidupnya untuk hidup bersama.

“Maafkan aku,” Alice terisak dalam hangat tubuh pria yang merengkuhnya. “Tapi beri aku kesempatan satu kali untuk bertemu Cedric besok. Aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku padanya.”

Tak tahu lagi harus berkata seperti apa untuk menjelaskan pada Alice tentang betapa berbahayanya Cedric yang memungkinkan ia mendapatkan celaka. Tapi mengingat Alice tak tahu apa-apa, ia hanya bisa mengatakan berulang kali agar wanita itu lebih berhati-hati dan menghubunginya saat bersama Cedric. Tak perlu bicara di telepon, hanya menghubungkan panggilan agar ia tahu apa saja yang dibicarakan dan yang dilakukan Cedric pada istrinya.

“Sekarang kita tidur. Besok akan kuantarkan dan menurunkanmu dari jauh, agar Cedric tidak curiga dan kau tetap bisa menemuinya.”

“Kau percaya padaku?”

Pria itu mengelus surai istrinya, mencium berulang-ulang di puncak kepalanya. Ia ingin sekali melarang, tapi Alice adalah tipikal orang yang keras kepala. Dan itu juga susah ditaklukkan. “Sangat. Aku sangat percaya padamu, melebihi aku mempercayai diriku sendiri.”

Alice tertawa parau, melepaskan diri dari pelukan dan menangkup wajah James dengan kedua tangannya yang kecil. “I love you, my king.”

“I love you, my queen.”

Dan satu kecupan menutup malam itu. Malam dimana mereka tengah merasakan banyak emosi yang silih berganti. Berharap esok akan jauh lebih baik daripada hari ini.

ARCANE [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang