Bab 1 | Berpikir

140 16 141
                                    

Hingar-bingar itu tak membuat Rahmat tertarik. Dia terus tak berpindah dari tempat duduknya. Musik berputar dan semua orang berdansa. Namun, Rahmat benar-benar tak tergiur dengan meriahnya pesta. Bahkan, dia hanya memperhatikan gelas miliknya yang tidak kunjung diminum.

Tak lama, salah satu temannya datang menghampiri. Nicolas namanya. Dia adalah teman Rahmat sejak kecil yang juga memiliki darah campuran Indonesia-Eropa. Dia yang mengadakan pesta dan mengundang Rahmat. Sejak tadi dia terheran dengan sahabatnya yang tampak bosan dengan pesta yang dia adakan.

"Hey, kok lo kayak gini. Nikmati pestanya. Kita nikmati saja masa muda," ucap Nicolas mencoba menyemangati temannya.

"Bolehkah aku pulang? Aku tak ingin di sini terlalu lama," ucap Rahmat tak acuh.

"Kok lo begini, sih. Apa lo lupa dengan persahabatan kita. Masa gini cara lo balasnya?"

"Maaf, aku lagi enggak nyaman."

"Jadi ini balasan lo selama ini di pesta yang gue adakan," ucap Nicolas yang mulai marah dengan sikap temannya. "Terserah! besok-besok jangan begini lagi!"

Rahmat pun mulai menatap sahabatnya. Namun, setelah itu Rahmat berpaling darinya dan meninggalkan pesta. Semua mata melihat kejadian ini, tetapi Rahmat tidak peduli. Dia melangkah dengan cepat menuju pintu.

Tak lama seorang gadis menarik lengan Rahmat yang membuat langkah laki-laki itu terhenti. Rahmat tampak malas menghadapi Clarissa saat ini tetapi perempuan itu justru menghadapi laki-laki itu yang merupakan pacarnya dengan senyuman.

"Hei, Rahmat. Kok kamu enggak nikmati pestanya saja. Ngomong-ngomong aku punya hadiah, nih," ucap Clarissa.

"Sudah jangan sekarang. Aku buru-buru," balas Rahmat.

"Tunggu dulu. Ini hadiah yang begitu spesial. Kamu boleh minta apa saja bahkan termasuk kesucianku."

"Kalau begitu beri aku waktu sendiri. Aku hanya ingin sendiri saat ini."

"Aku tahu. Kamu pasti takut aku hamil, kan. Tenang, aku sudah siapkan semuanya."

"Kamu enggak mengerti, ya. Aku butuh ketenangan. Itu saja enggak lebih."

"Rahmat, kita sudah lama pacaran. Namun kamu tetap saja cuek sama aku. Padahal aku selalu dukung kamu, selalu balas chat kamu, dan selalu ada di sampingmu. Namun, kamu tetap saja enggak peduli," ucap Clarissa marah terhadap sikap Rahmat.

"Maaf untuk waktumu yang aku buang percuma. Mungkin ada baiknya kalau kita putus," ucap Rahmat begitu saja.

Seketika Clarissa menangis mendengar ucapan itu. Air mata di ujung mata perempuan itu pun tak bisa dibendung. Clarissa tak percaya itu adalah kalimat yang diucapkan Rahmat yang merupakan pacarnya atas apa yang dia lakukan. Perempuan itu sadar dia sudah melakukan hubungan yang berakhir dengan sia-sia.

"Aku enggak akan berhenti mengejarmu! Enggak akan pernah," ucap Clarissa terisak. "Suatu saat nanti kamu akan mencintaiku."

Rahmat hanya bisa diam mendengar itu dan dia pun keluar dari pintu. Suasana teramat dingin baginya. Dengan cepat dia mencari mobilnya yang terparkir dan di sana sudah ada anak buahnya menunggu. Kehadiran Rahmat membuat Orlando yang merupakan anak buahnya sedikit terkejut. Orlando tak menyangka majikannya akan pulang lebih awal.

"Orlando, ayo kita pulang," ucap Rahmat cepat.

"Siap Bos," balas Orlando sambil membukakan pintu belakang mobil buat Rahmat. Segera Orlando pun menuju pintu depan dan masuk dan menjalankan mobil. Kendaraan pun melaju dengan segera meninggalkan rumah mewah milik teman Rahmat.

Selama perjalanan Rahmat Sanjaya terus melamun. Dia terus saja terdiam sambil melihat ke arah jendela mobil. Hal itu membuat Orlando sang anak buah bingung melihat majikannya dari spion mobil.

"Bos, sekarang lagi pesta. Bos kok malah pulang? Cerita saja ke aku pasti aku apa masalahnya. Aku pasti akan dengarkan."

Rahmat tetap melamun. Dia tak menjawab ucapan Orlando. Hal itu membuat Orlando sedikit kesal dengan sikap majikannya.

"Bos, jangan diam begitu. Lagi ngomong nih," ucap Orlando.

"Maaf kalau begitu. Aku sedang tidak fokus," balas Rahmat yang sadar laki-laki yang merupakan anak buahnya sedang mengajak bicara.

"Enggak apa, Bos. Tenang saja."

"Namun, tetap aku merasa enggak enak."

"Bos, kenapa, ya. Sudah lama jadi anak buah dan melayani Bos. Namun, Saya belum pernah lihat Bos tersenyum kecuali sedikit."

"Sebenarnya aku terlalu sering berpikir hingga lupa tersenyum," ucap Rahmat sambil tersenyum kecut.

"Bos, memang Bos pikirkan apa?"

"Banyak. Kadang aku memikirkan kemampuan Tuhan dalam membagikan rezeki. Ada yang dibuat menjadi sangat kaya dan ada pula yang dibuat menjadi sangat miskin padahal usaha yang dilakukan sama. Bahkan sekeras apa pun usaha seorang hamba atau semalas apa pun, rezeki sudah diatur dan tak pernah berubah. Semua itu sudah diatur oleh Allah sebelum diciptakan langit dan bumi."

"Waduh, Bos. Enggak mengerti aku Bos sama yang beginian," jawab Orlando tak mengerti.

"Apakah kamu tidak memikirkan seakan rezeki ada yang mengaturnya? Andaikan kamu jadi diriku, kamu pasti mengerti. Terkadang aku berharap agar Tuhan memberikan kekayaan kepada orang banyak. Bayangkan betapa banyak orang kaya seperti Jack Ma sudah memberi langkah agar menjadi miliarder seperti dirinya. Bila seminar mereka didengar oleh orang yang tinggal di Afrika sana tentu ada jutaan orang yang sudah jadi orang kaya."

"Iya juga. Kok aku baru memikirkannya," ucap Orlando.

"Akhirnya kamu mengerti juga."

"Memang Bos selalu berpikir begitu?"

"Kadang aku memikirkan hal lain berkaitan dengan Tuhan yang Maha Mendengar. Aku tak mengerti mengapa Tuhan tidak marah padahal makhlukNya selalu mengucapkan hal jahat kepada Allah? Padahal Dia selalu memberi rezeki pada makhlukNya. Dia Maha Mengabulkan doa hingga keajaiban tercipta."

"Keajaiban?"

"Ya, keajaiban. Namun jangan bilang sama ayah, ya. Sebenarnya dulu aku pernah diculik oleh seseorang. Lalu, aku berdoa dan berkata jika aku selamat dari ini, aku akan percaya dengan keajaiban. Lalu, hal itu pun terjadi. Aku membaca surat pendek dan dia pun melepaskan diriku. Ternyata pencurinya seorang muslim yang memang jumlah penganut agama Islam terbilang sedikit di kota London ini. Karena iba, aku pun memberikan semua uang yang diberikan ayah buat beli sesuatu yang aku sukai. Terus, aku berbohong dan bilang ke ayah kalau duit itu hilang."

"Lah, kok bisa begitu kejadiannya?"

"Mengapa kamu heran? Sejahat-jahat makhluk yang Allah ciptakan, dia masih bisa merasakan cinta. Maka, tak mungkin ada makhluk yang ditakdirkan jahat. Sejak saat itulah aku selalu berbaik sangka kepada Allah hingga sekarang."

"Kalau menurutku yang menculik Bos hanya bercanda kali. Makanya dia begitu."

"Namun, tetap saja aku kepikiran hingga sekarang."

"Jadi, begitu. Pantas saja Bos diam dari tadi."

"Karena itulah aku mau ke Indonesia. Aku mau berubah. Shalatku kadang terlambat dan kadang jarang berzikir pagi dan petang. Ya, mungkin karena lingkungan sekitarku buruk makanya aku mau hijrah ke sana."

"Kalau memang ingin belajar agama, kenapa enggak ke Arab Saudi atau ke Turki saja? Aku rasa pergi ke sana jauh lebih baik."

"Turki itu dekat negara yang penuh konflik dan Arab Saudi adalah negara yang terlalu ketat. Lagi pula aku mulai merindukan ibuku," jelas Rahmat.

"Namun, tetap aja di sana itu orangnya aneh-aneh."

"Aneh bagaimana?"

"Mereka orangnya terlalu santai dan sok kenal begitu."

"Baguslah kalau begitu. Berarti aku bisa akrab sama mereka."

"Sudah bilang ke Ayah?"

"Belum. Nanti aku akan bilang ke Ayah."

Orlando pun senang dengan pembicaraan ini yang membuat suasana tidak kaku. Terlebih dia melihat majikannya kini mulai sedikit tersenyum. Orlando pun berharap Indonesia menjadi tempat majikannya untuk belajar arti kebahagiaan.

Barisan Doa Annisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang