Bab 5 | Taman Kota

89 13 113
                                    

Sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya Rahmat dan Orlando pergi ke taman kota Gelora Bung Karno. Mereka berangkat dengan menggunakan mobil yang disewakan pihak hotel.

Seperti biasa Rahmat hanya memandangi jendela sembari melamun dan itu diamati oleh Orlando. Orlando memang biasa melihat majikannya seperti itu, namun lama-kelamaan dia mulai tidak tahan. Dia benar-benar tak mengerti apa yang ada di hati Rahmat. Hal yang lebih Orlando tak mengerti Rahmat membawa ponsel beserta kotaknya seakan ingin ponsel itu utuh dan tak rusak sedikit pun.

Orlando dan Rahmat akhirnya sampai di taman kota. Ternyata untuk masuk ke sana tidak membutuhkan tiket. Begitu masuk, mereka mendapati pemandangan yang asri dan indah. Sebuah tempat dengan ukuran empat hektar itu benar-benar dirancang agar menjadi paru-paru kota Jakarta.

"Wah, asik Bos kalau ada tempat yang bikin nyaman kayak di sini. Tumben Bos bisa pilih tempat yang bagus," ucap Orlando.

"Tentu saja," ucap Rahmat. "Minimal kita harus membuat kenangan di Jakarta sebelum kembali pulang ke Inggris."

Orlando hanya mengangguk setuju tanpa tahu apa yang direncanakan Rahmat yang ingin memberikan ponselnya pada orang lain. Rahmat pun ingin memberikan ponsel itu secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui Orlando.

"Baiklah Orlando, carikan aku minuman paling mahal yang kamu tahu yang ada di sekitar sini. Kalau bisa yang paling susah didapat biar kita minum dengan puas," ucap Rahmat.

"Baik Bos," jawab Orlando dengan segera.

Langsung saja Orlando pergi meninggalkan Rahmat untuk mencari minuman. Begitu Orlando pergi Rahmat bernafas lega. Dengan segera dia mencari sosok yang tepat dan pantas mendapatkan ponsel miliknya.

Rahmat mulai mencari. Akhirnya dia menemukan perempuan berjilbab yang sedang duduk di taman. Rahmat mengira perempuan itu sosok yang tepat karena dia memakai pakaian yang menutup aurat. Lalu, dengan segera dia mendekati gadis itu dan duduk di sampingnya.

"Permisi," ucap Rahmat sambil mengulurkan tangannya. "Bolehkah kita berkenalan?"

Perempuan itu menoleh ke arah Rahmat. Perempuan itu adalah Annisa. Melihat wajah Rahmat yang tampan memang nyaris mengalihkan perhatiannya. Tubuh Rahmat yang atletis bisa gadis itu lihat dari luar bajunya. Seketika Annisa menoleh ke arah yang lain.

"Maaf, ada apa, ya? Saya tak bermaksud mengganggu, kok," ucap Rahmat yang tangannya masih diulurkan mencoba berkenalan pada Annisa. "Aku hanya mau berkenalan saja."

Seketika Annisa memberi salam dengan cara menempelkan tangannya di hadapan Rahmat dan hampir tangannya sedang ditepukkan karena gerakan agak cepat.

"Namaku Annisa. Kita bukan mahram. Jadi, tidak boleh bersentuhan. Maaf kalau sikapku membuatmu marah."

Tingkah gadis berjilbab itu membuat Rahmat terheran. Sejak Rahmat kecil, dia sering bersalaman dengan menjabat tangan. Terlebih Rahmat menyadari dia begitu kaya dan penampilan pun begitu tampan. Semua orang mendekatinya baik laki-laki atau perempuan.

"Tidak, apa-apa. Aku mengerti," ucap Rahmat. "Namun, mengapa kamu masih tidak melihat ke arahku?"

"Penampilanmu terbuka. Memakai kaos yang tipis dan celana pendek hingga paha sedikit terlihat," jelas Annisa.

Rahmat kebingungan. Dia pun melihat pakaiannya dan dia tidak merasa ada yang salah.

"Aku rasa penampilanku tidak ada yang salah," ucap Rahmat.

"Mungkin kamu merasa penampilanmu biasa. Namun, aku tak merasa aman dari makar Allah. Tidaklah ada seorang anak adam melainkan hatinya terletak di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Siapa yang Allah kehendaki lurus, maka Dia akan meluruskannya. Lalu, siapa yang Allah kehendaki akan menyimpang, maka ia akan menyimpangkannya."

Barisan Doa Annisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang