Bab 21 | Teror Bom

26 2 6
                                    

Seperti biasa, tak ada hal lain yang dilakukan Rahmat selain memeriksa jejak aktivitas Annisa selama dia berada di sekolah. Namun, lokasi Annisa tidak berubah meskipun waktu berjalan cukup lama. Keadaan itu benar-benar tidak berubah hingga pulang sekolah.

Rahmat merasakan ada sesuatu yang aneh dan ada perasaan ingin tahu yang besar. Namun, rasa  penasaran itu hilang seketika begitu melihat sosok yang ada di depannya. Sosok itu adalah Clarissa, seorang perempuan yang pernah menjadi pacar Rahmat. Perempuan itu berdiri di dekat pintu gerbang sekolah seakan ada sosok yang ditunggu olehnya.

Perempuan itu begitu cantik dan memesona. Rambutnya yang pirang dan bergelombang ditambah dengan mata yang berwarna biru serta tubuh yang tinggi membuatnya bagaikan bintang model yang ada di Eropa sana. Pakaiannya yang putih bercampur dengan warna emas membuatnya terlihat mewah melengkapi keindahannya yang sempurna. Semua orang tertuju pada perempuan itu seakan mengagumi sosok yang bagaikan karya surga.

Rahmat mengembuskan napas ke udara. Laki-laki itu tak menyangka dia akan bertemu dengan Clarissa saat ini. Perempuan itu benar-benar mengatakan yang sesungguhnya bahwa dirinya akan ke Indonesia.

Rahmat mulai mendekati Clarissa. Semua orang memandangi kejadian itu seakan mengerti perempuan Eropa itu datang untuk menemui Rahmat.

“I am so lonely. Sudah lebih dari sebulan aku tidak bertemu denganmu dan bagiku itu terasa bagaikan seribu tahun,” ucap Clarissa.

“Ya, sudah lama kita tidak bertemu. Bukankah kita sudah putus? Mengapa kamu masih mencari diriku?” ucap Rahmat.

“I still love you. Apakah kamu tidak merasakannya?”

“Jadi, apa yang kamu inginkan?”

“Kenapa kamu dingin seperti itu? Bagaimana kalau kita berkeliling di Jakarta. Bukankah kota ini adalah tempat kelahiran Ibumu?”

“Baiklah, kali ini aku akan mengikuti keinginanmu. Namun, sebelum itu aku mau ke rumahku dulu. Aku mau mengganti pakaianku karena diriku masih memakai seragam sekolah.”

“Tidak perlu. Lebih baik kita pergi berbelanja pakaian untukmu. Itu lebih baik.”

“Bagaimana jika aku belikan baju untukmu? Aku rasa auratmu terlihat jika memakai pakaian itu.”

“Aku akan melakukannya ketika hatiku sudah siap untuk itu.”

Rahmat terdiam dan mulai melihat pakaian yang dikenakan Clarissa. Pakaiannya memang tidak begitu terbuka. Namun, Rahmat merasa bagian yang terlihat itu daerah pundak hingga ke tangan dan ditambah dengan rambutnya. Tentunya itu tetap saja adalah aurat bagi perempuan.

Rahmat merasa Clarissa ada maksud sesuatu. Rahmat yang tak ingin terjebak dengan fitnah memutuskan duduk di bangku depan tepat di samping sopir dan meminta Clarissa duduk di bangku belakang. Untungnya perempuan itu tidak marah sama sekali. Setelah itu mobil pun berangkat menuju Mall Plaza Indonesia yang merupakan salah satu tempat perbelanjaan yang ada di Jakarta.

Clarissa sendiri berasal dari keluarga yang baru mengenal Islam. Ayahnya adalah ateis dan ibunya berasal dari keluarga Nasrani. Hidayah datang pada keluarga itu berawal dari joint verture dari dua perusahaan milik Ayah Rahmat dan Ayah Clarissa. Ibu Rahmat yang hadir saat itu sering melakukan dakwah disela-sela kegiatan karena itu merupakan kewajiban untuk menyebarkan pesan Islam bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata.

Meskipun banyak orang yang tidak menyukainya, tetapi Ibu Rahmat tidak patah semangat. Hingga akhirnya pesan Islam itu sampai pada Ibu Clarissa yang saat itu ikut dalam acara tersebut dan dalam beberapa hari saja dia pindah ke agama Islam. Ayah Clarissa pun mengikuti istrinya beberapa bulan kemudian.

Rahmat dan Clarissa akhirnya sampai di Plaza Indonesia. Mereka pun menuju ke tempat penjualan pakaian untuk Rahmat karena laki-laki itu masih memakai seragam sekolah. Sebuah jaket dan celana bahan jeans dipilih dengan warna putih untuk menyesuaikan pakaian yang dipakai Clarissa saat ini. Meskipun Rahmat tidak memakainya, Clarissa merasa ada yang kurang. Perempuan itu pun memilihkan kaos berwarna emas agar penampilan Rahmat menjadi sempurna.

Mereka pun melangkah keluar dari tempat penjualan pakaian. Rahmat tidak langsung memakai pakaian yang baru dia beli. Laki-laki itu memutuskan mengganti pakaian di masjid. Clarissa yang ada di sampingnya terus saja melihat segala apa yang ada di sana. Terlihat oleh perempuan itu gerai penjualan parfum yang membuatnya tertarik.

“Rahmat, apakah kamu tidak membeli parfum juga? It will make you perfect,” ucap Clarissa sambil menunjuk salah satu gerai parfum.

“Tidak. Aku tidak tertarik sama sekali,” ucap Rahmat tak acuh.

“Namun, aku ingin kamu tampak sempurna.”

Rahmat yang selalu menghadap ke depan pun akhirnya menatap Clarissa. “Clarissa, kita tidak sedang berkencan. Aku hanya mengikuti dirimu untuk mengelilingi kota Jakarta.”

Clarissa yang kesal pun mengembungkan pipinya karena menahan marah. Perempuan itu mengambil sebuah parfum perempuan dari tas kecilnya dan menyemprotkannya ke baju Rahmat.

“Hei, apa yang kamu lakukan?” ucap Rahmat agak kesal. Laki-laki itu sadar Clarissa menyemprotkan parfum untuk perempuan padanya.

“Dengan begini kamu sedikit wangi. Jadi, jangan protes, ya,” ucap Clarissa penuh kemenangan.

Kini hanya helaan napas yang Rahmat dapat lakukan. Laki-laki itu pun melihat jam tangannya dan tampak waktu Ashar sebentar lagi akan tiba. Dia merasa pergi ke masjid akan menjadi sempurna dengan tubuh yang wangi seperti saat ini.

“Clarissa, kita ke masjid Istiqlal Jakarta. Aku mau berganti pakaian sekalian salat Ashar di sana,” ucap Rahmat.

“Baiklah, kita akan ke sana. Kebetulan aku juga tidak sedang ada halangan,” ucap Clarissa.

Mereka mulai menuju tempat parkir dan berangkat menuju ke masjid Istiqlal untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Alunan suara azan pun terdengar selama dalam perjalanan.

Selama dalam perjalanan tak ada yang Rahmat pikirkan selain ibu kandungnya. Ibu Rahmat adalah sosok yang religius dan selalu mengenakan jilbab dalam keseharian. Malik sendiri yang merupakan suaminya bukan merupakan tokoh yang mendalami agamanya sendiri melainkan dari istrinya. Meskipun Malik tidak melarang dakwah istrinya, tetapi laki-laki itu sedikit bungkam terlebih karena istrinya meninggal karena teror bom yang terjadi di Inggris.

Teror itu terjadi di Tavistock Square di kota London pada 7 Juli 2005 silam. Kejadian itu berawal dari Ibu Rahmat yang berniat menuju ke Hackney. Karena saat itu mobil yang bertugas mengantar Ibu Rahmat terjebak kemacetan, perempuan itu pun berinisiatif untuk menaiki bus. Celakanya sosok yang baru keluar dari kereta bawah tanah masuk ke dalam bus dan meledakkan sekitar sepuluh pon bahan peledak. Perempuan yang menjadi ibu Rahmat pun meninggal dunia. Sejak saat itulah Malik memutuskan untuk memberikan penjagaan ekstra kepada anaknya dengan menugaskan Adam sebagai bodyguard sekaligus sopir pribadi Rahmat agar kejadian itu tak terjadi untuk kedua kalinya.


Meskipun sudah lima tahun waktu berlalu, Rahmat masih ingat kenangan bersama ibunya. Kini, tampak bagi Rahmat tugu Monumen Nasional dari luar jendela. Dari hal itu teringat pula momen di mana Rahmat berfoto bersama ibu dan ayahnya di sana. Rahmat merasa ini adalah kota kenangan yang mengingatkan kembali memori yang sudah lama. Rahmat benar-benar merasa itu adalah kenangan yang indah.

Barisan Doa Annisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang