Bab 22 | Monumen Nasional

23 3 6
                                    

Azan Ashar berganti menjadi Iqamah. Di saat itulah Rahmat mulai salat berjamaah di masjid Istiqlal Jakarta. Laki-laki itu beribadah dengan khusyuk dari takbiratul ihram sampai salam.

Di saat itulah Rahmat mulai menengadah dan mengangkat keduanya untuk berdoa. Dia merasa hatinya masih lemah dan butuh pertolongan dari Allah yang merupakan Tuhan-Nya.

"Ya Allah, sungguh aku mengakui kelemahan diriku dalam menjaga imanku. Maka, jauhilah diriku dari segala bentuk kesesatan sehingga aku jauh dari-Mu. Dengarkan pintaku dan kabulkanlah. Sungguh Engkaulah Zat yang Maha Mengabulkan doa."

Setelah itu, Rahmat mulai menuju ke kamar mandi sambil membawa tasnya yang berisikan pakaian yang baru dia beli di Plaza Indonesia. Untungnya salah satu kamar mandi kosong sehingga dia tak perlu menunggu. Rahmat pun mulai mengganti pakaian dan keluar dari kamar mandi dengan pakaian baru.

Rahmat memakai pakaian yang serba putih dan begitu mewah. Jaket yang memiliki dasar jeans ditambah dengan sebuah kaos berwarna emas membuat dirinya terkesan mewah. Celana panjang dengan dasar jeans pun menyamakan jenis bahan jaketnya sehingga tampak serasi.

Rahmat segera keluar masjid dan di sana sudah tampak Clarissa yang menunggu dirinya. Perempuan itu mengamati satu persatu orang yang keluar dari pintu masjid. Tampak sekali Clarissa mencari Rahmat.

"Kamu lama sekali. Aku sampai bosan menunggu di sini," ucap Clarissa yang kesal karena menunggu lama.

"Sabar. Bukankah sehabis salat kita berdoa dulu. Bukankah doa adalah inti ibadah," jawab Rahmat.

"Buat apa berdoa jika ujung-ujungnya tidak dikabulkan juga."

"Allah itu Maha Mengabulkan doa. Jika tidak dikabulkan di dunia, maka akan dikabulkan di akhirat. Oleh karena itu, jangan pernah bosan berdoa, ya."

"Iya, aku janji enggak akan bosan berdoa. Namun, ke depannya jangan terlalu lama. Aku tipikal perempuan yang enggak sabaran."

"Iya, janji. Aku enggak bikin kamu menunggu lama lagi."

Seketika Clarissa tersenyum. Perempuan itu senang karena Rahmat mau berjanji dengan hal kecil itu.

Clarissa pun teringat saat masih kecil dulu. Baginya Rahmat adalah sosok yang begitu dewasa dan sangat menepati janji. Pernah ada sebuah kejadian di mana perempuan itu mengambil perhiasan ibunya secara diam-diam. Namun, salah seorang temannya iri dan melempar perhiasan itu ke sungai. Tentu, kejadian itu membuat Clarissa menangis keras.

Di saat itulah Clarissa meminta temannya ikut mencari dan meminta hal itu tidak diceritakan pada orang lain. Semuanya berjanji. Namun, banyak teman-temannya yang justru meninggalkan dirinya kecuali Rahmat. Bagi laki-laki itu penting untuk menepati janji bila memang berjanji. Hingga akhirnya perhiasan itu berhasil ditemukan.

Di saat itulah Clarissa penasaran mengapa Rahmat selalu berusaha menepati janji dan menanyakan hal itu padanya. Rahmat pun menjawab bahwa dengan cara itu Tuhan akan selalu mendengar apa yang dia ucapkan. Ketika seseorang selalu bermain dengan kata-kata, maka Tuhan akan memainkannya juga. Maka, ketika seseorang selalu bersungguh-sungguh dengan kata-kata, maka Tuhan akan mendengarkannya dengan kesungguhan. Terlebih, Allah menjanjikan surga. Maka Rahmat berusaha menepati janjinya agar Tuhan benar-benar menjanjikan surga. Itulah yang Rahmat percaya.

Setelah itu keduanya mulai menuju ke Monumen Nasional. Ketika sampai, mereka pun langsung mendapati ruang yang cukup luas dengan Tugu Monas yang ada di tengahnya. Suasana sudah sore dan tampak beberapa orang yang berlalu lintas di sekitar sana.

"Wah, di sini ramai sekali. Ayo kita berfoto dulu," ucap Clarissa.

Seketika Clarissa mencari seseorang untuk mengabadikan momen mereka di Monas. Seseorang pun dipilih dan orang itu memotret. Kemudian ponsel untuk memotret dikembalikan kepada Clarissa.

"Terima kasih, ya," ucap Clarissa. "Bagus, ya gambarnya."

"Iya, bagus sekali," balas Rahmat.

"Selanjutnya kita ke tempat penjualan aksesoris. Aku mau beli miniatur Monas untuk oleh-oleh. Kamu juga mau beli juga, kan?"

"Iya, karena sudah di sini tentunya harus dibeli."

Seketika mereka mencari pedagang kaki lima yang menjual aksesoris. Di sana, ternyata ada sosok yang Zakaria yang sedang berjualan. Dikarenakan mengenalinya, Rahmat pun menuju ke sana dan Clarissa mengikuti dari belakang.

"Paman Zakaria, jadi Paman berjualan di sini," ucap Rahmat.

"Ya, saya berjualan di sini. Mau beli apa?" tanya Zakaria.

"Mau beli miniatur tugu Monas. Saya mau beli dua. Berapa harganya?"

"Semua dua ratus ribu saja untuk nak Rahmat," ucap Zakaria. Laki-laki tua itu pun mengambil dua miniatur Monas dan dimasukkan ke dalam plastik.

Rahmat pun menerima apa diberikan oleh Zakaria. Pemuda itu kemudian mengeluarkan dompet kulitnya dan memberikan uang dua ratus ribu kepada Zakaria.

"Terima kasih," ucap Zakaria sambil menerima uang itu. "Ngomong-ngomong, siapa perempuan yang ada di sampingmu?"

"Dia Clarissa, temanku yang ada di Inggris. Dia datang dari jauh untuk menemuiku dan sekalian berkeliling di sekitar sini," ucap Rahmat.

"Nak, boleh saja kamu jalan bersama temanmu. Namun, temanmu harus bersama mahramnya biar tidak terkena fitnah."

Rahmat terdiam. Sungguh sudah lama sekali tidak ada yang memberi nasehat terkait apa yang dia lakukan. Rahmat adalah seseorang yang baru mengenal Islam dan hidup dalam kemewahan. Keadaanlah yang membuatnya seperti itu. Rahmat merasa sudah sekarang saatnya mengantar Clarissa ke hotel.

"Ya, saya rasa itu benar. Terima kasih atas nasehatnya," ucap Rahmat dan dirinya sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan. Rahmat pun mulai menatap Clarissa. "Ayo kita pulang."

Clarissa kemudian menarik tangan Rahmat seakan mencoba membuatnya jauh dari Zakaria. Di saat itulah Rahmat sadar bahwa badan Clarissa sedang panas. Hal itu membuat Rahmat semakin khawatir bahwa mungkin saja Clarissa terkena virus Corona.

"Clarissa, badanmu demam. Mungkin kamu terkena virus Corona. Ada baiknya jika kamu kembali ke hotel," ucap Rahmat. "Ayo kita segera ...."

"Tidak mau!" potong Clarissa dengan segera. "Jika kita langsung kembali, aku tak akan kembali ke Inggris. Kita belum membuat kenangan di sini."

"Terus, memangnya kita harus ke mana lagi?"

"Aku mau kita makan di restoran mewah yang ada di Jakarta. Lalu, aku sudah menentukan di mana lokasinya."

Rahmat pun mulai memegang dahinya lalu menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya perempuan ini bersikeras untuk tak mau meninggalkan dirinya begitu saja. Tentunya Rahmat sudah tahu sifat Clarissa bahwa dia baru mau tenang setelah keinginannya dituruti. Rahmat menarik napas dan mengeluarkannya lalu menatap Clarissa.

"Baiklah, aku setuju. Namun, setelah ini kamu harus ke hotel dan besoknya harus periksa dirimu ke dokter. Aku ingin kamu segera sembuh," ucap Rahmat.

Perempuan itu pun menampilkan senyum kemenangan. "Baiklah, kita ke Amuz gourmet. Di sana kita akan makan makanan ala Perancis dan menurutku tempat itu sangat romantis," ucap Clarissa sambil menundukkan wajahnya.

"Namun, kamu langsung ke hotel, ya. Jangan antar aku terlebih dahulu."

"Baiklah, setuju."

Rahmat mengerti bahwa segala apa yang dilakukan Clarissa untuk melanjutkan hubungan mereka yang terhenti di tengah jalan. Bagi Clarissa, Rahmat adalah cinta pertamanya. Perempuan itu merasa Rahmat adalah sosok yang pantas untuk diperjuangkan.

Barisan Doa Annisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang