Bab 27 | Sosok Misterius

28 2 6
                                    

Annisa merasa heran dengan apa yang terjadi. Penjualan uduk yang dia lakukan setiap hari semakin lama semakin sepi. Biasanya pagi-pagi sekali sudah ada yang belanja uduk di tempatnya. Namun, kali ini tak banyak orang yang berbelanja.

Beberapa pelanggan tetapnya pun sudah tidak dia temui lagi. Bahkan lebih dari itu, nasi uduk pun mulai makin banyak tersisa. Bahkan penjualan semakin menurun dengan begitu tajam. Menyadari hal itu Annisa hanya bisa menerima keadaan.

Annisa sadar bahwa ini adalah hal yang harus diterima dengan lapang dada sebab rezeki sudah diatur oleh yang Maha Kuasa. Perempuan itu merasa usaha tentu tak selamanya memperoleh keuntungan dan terkadang ada fase turunnya. Tuhanlah yang mengatur itu semua.

“Mbak, pesan uduknya satu,” ucap salah seorang pelanggan.

“Mau makan di sini atau dibungkus?” tanya Annisa.

“Makan di sini saja.”

“Baiklah, tunggu sebentar, ya.”

Dengan segera Annisa mengambil piring dan mulai memberikan nasi uduk sesuai pesanan lengkap dengan tempe dan kerupuknya. Lalu, pesanan itu diberikan pada pembeli tadi.

“Annisa, nasi uduknya masih banyak yang tersisa, ya?” tanya Joko.

“Iya, Paman. Saya bingung sisa nasi ini akan diberikan pada siapa,” ucap Annisa.

“Annisa, mungkin ini saran dan boleh ditolak. Menurut Paman ada baiknya nasi uduk yang tersisa diberikan pada tetangga saja. Mungkin keadaan memang sepi karena kita kurang sedekah.”

“Mungkin saja Paman. Selama ini nasi uduknya selalu habis dan tidak pernah disisakan buat yang belum mampu. Nanti Paman yang membagikan karena aku masih sekolah.”

“Iya, tentu saja. Serahkan hal itu kepada Paman.”

Annisa tersenyum. Dalam batin dia juga berniat memberikan uduk buatannya kepada teman-teman di sekolah. Perempuan itu yakin pasti banyak dari temannya yang penasaran dengan nasi uduk buatannya.

“Sudah lebih dari seminggu, tetapi orang itu belum juga kelihatan. Apalagi dia sering kasih uang agar kita belanja uduk di sini. Memangnya dia kenapa, ya?” ucap salah seorang pelanggan kepada temannya.

“Iya, nih. Apalagi situasi sulit sejak virus Corona sudah muncul akhir-akhir ini.”

Annisa terdiam dengan obrolan dari para pelanggannya. Perempuan itu tak menyangka ada sosok misterius yang selama ini mendukung usahanya secara diam-diam. Karena penasaran dia pun mendekati pelanggan itu.

“Mas, apakah boleh bertanya? Ngomong-ngomong lagi membicarakan apa?” tanya Annisa.

Seketika itu juga para pelanggan itu panik dan mempercepat makannya. Setelah itu mereka pun langsung membayar nasi uduk yang mereka pesan dan berangkat pergi.

Annisa merasa terheran dengan sikap mereka seolah ada sebuah cerita yang sengaja dirahasiakan. Perempuan itu mulai bertanya dalam batin siapakah sosok yang selama ini ada di balik semua kejadian yang terjadi. Sosok itu begitu misterius dan sulit untuk dijawab.

***

Annisa pun berangkat ke sekolah. Tak lupa juga dia mempersiapkan uduk untuk teman-temannya. Nasi uduk pun dibawa berjumlah tujuh bungkus dan sengaja perempuan itu datang pagi-pagi sekali agar bisa dimakan sebelum aktivitas sekolah dimulai.

Annisa pun sampai di kelasnya. Tampak di sana ada Langit dan beberapa teman yang lain.

“Teman-teman, aku bawa nasi uduk dari usahaku di rumah. Semoga kalian suka,” ucap Annisa.

Tak lama teman-teman yang ada di kelas pun mulai mendekati Annisa dan begitu juga dengan Langit. Nasi uduk itu kemudian dibuka bungkusnya dan segera mereka makan.

“Annisa, nasi uduk buatanmu enak sekali. Apa benar kamu yang membuatnya?” ucap Langit.

“Iya, saya sendiri yang membuatnya,” ucap Annisa.

“Calon istriku memang pandai memasak.”

“Sudahlah, tak perlu berlebihan. Saya bawa nasi uduk ini karena pernah berjanji untuk membawanya ke sekolah. Hanya saja takdir Allah yang baru mengizinkan untuk membawanya sekarang.”

“Tidak apa-apa, kok. Saya juga mengerti. Pasti ini karena nasi uduk buatan kamu yang selalu habis.”

Annisa seketika tersenyum mendengar hal itu. Perempuan itu senang karena Langit yang tahu keadaannya sehingga mau menerima alasannya.

Tak lama hadirlah Qalam dan Ahmad dari pintu kelas. Tampak di sana beberapa orang makan nasi uduk. Qalam sadar pasti Annisa membawa nasi uduk untuk teman-temannya.

“Wah, Annisa. Apakah masih ada nasi uduk yang tersisa,” ucap Qalam.

“Sayang sekali nasi uduknya sudah habis. Tak perlu khawatir. Insyaallah saya akan membawa nasi uduk lebih banyak lagi,” ucap Annisa.

Seketika itu juga Annisa menundukkan wajahnya seakan ada kesedihan yang kini menimpanya. Hal itu sangat membuat Qalam begitu penasaran.

“Annisa, ada apa? Kenapa kamu cemberut begitu?” tanya Qalam.

“Sebenarnya akhir-akhir ini penjualan nasi uduk di tempatku semakin sepi. Aku merasa heran. Selain itu, aku juga mendengar dari para pembeli bahwa ada sosok misterius yang selama ini mendukung usahaku dari belakang. Sosok misterius itu memberikan uang kepada orang-orang dan mengatur agar mereka belanja nasi uduk di tempatku,” ucap Annisa.

“Benarkah itu?” tanya Langit.

“Iya, itu benar. Aku juga merasa aneh karena usahaku berjualan nasi uduk selalu ramai sejak hari pertama. Lalu, entah kenapa akhir-akhir ini menjadi sepi.”

Qalam seketika terdiam. Laki-laki itu merasa sosok itu adalah Rahmat karena untuk melakukan semua hal itu dibutuhkan modal yang cukup besar. Sedangkan Rahmat adalah sosok yang kaya dan sangat tertarik dengan Annisa. Qalam merasa Rahmat melakukan tindakan yang jauh lebih dalam lagi dengan melakukan penyadapan di rumah Annisa. Namun, Qalam segera membuang pikiran itu karena kurangnya bukti.

Qalam segera memutar akal. Segera dia mencari alasan agar mencari alat yang digunakan Rahmat untuk menyadap rumah Annisa. Setelah berpikir cukup lama, terlintas di benak Qalam untuk melakukan kegiatan belajar bersama karena sebentar lagi ada ujian kenaikan kelas.

“Annisa, sudahlah jangan berprasangka buruk dulu. Kita kerjakan hal yang lain saja,” ucap Qalam.

“Saya tidak berprasangka buruk. Saya merasa jika ada sosok yang selama ini membantu usahaku, saya ingin mengucapkan terima kasih kepadanya,” ucap Annisa.

“Sudahlah, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana kalau kita belajar bersama di rumahmu? Bukankah sebentar lagi kita ada ujian kenaikan kelas.”

“Itu benar. Bukankah sebentar lagi ada ujian kenaikan kelas,” balas Langit.

“Tidak perlu khawatir. Aku akan ajak teman-teman perempuan juga agar tidak dianggap fitnah karena mengajak laki-laki masuk ke rumahmu,” ucap Ahmad.

“Baiklah kalau begitu. Aku setuju. Namun, bisakah kalian mengajak Lina juga ikut belajar bersamaku?” ucap Annisa.

“Mengapa harus mengajak Lina juga? Bukankah dia selalu berbuat buruk kepadamu?” ucap Langit agak marah karena mendengar pendapat dari Annisa. “Terlebih dia ada di kelas yang berbeda dengan kita.”

“Aku tidak memaksa kalian untuk mengundang Lina dalam kegiatan belajar bersama yang akan kita lakukan nanti. Hanya saja aku ingin kegiatan ini akan menjadi caraku untuk memperbaiki hubunganku dengannya. Jika kalian tidak mau, aku akan ikut pendapat kalian untuk tidak mengundang Lina.”

Seketika itu juga Ahmad, Qalam, dan Langit terdiam. Meskipun mereka benci dengan rencana itu karena Lina sering menjahili Annisa, tetapi ide itu tak sepenuhnya buruk.

“Baiklah, kalau begitu aku akan menemui Divano karena laki-laki itu begitu disukai Lina. Semoga Divano bisa mengajak Lina untuk belajar bersama,” ucap Ahmad.

Seketika itu juga Annisa tersenyum. Annisa senang karena teman-temannya mau menerima pendapatnya. Tak ada yang diharapkan perempuan itu selain agar semuanya berjalan lancar.

Barisan Doa Annisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang