Bab 18 | Mazhab

21 2 6
                                    

Bel tanda waktu istirahat berbunyi. Di saat itulah murid-murid yang lain mulai keluar dari kelas dan menuju ke kantin. Hanya saja situasi Rahmat sedikit berbeda. Dirinya sudah membawa roti tawar yang diisi dengan krim susu sehingga bisa makan dengan waktu yang singkat.

Qalam memperhatikan Rahmat yang tampak sederhana dan tak mau mengumbar kemewahan. Qalam tahu Rahmat begitu kaya. Tiba-tiba terlintas dalam benak Qalam untuk mengajaknya untuk salat Dhuha bersama dengan Langit, Khalid, dan Annisa.

“Rahmat, apakah kamu mau salat Dhuha bersama dengan kami?” tanya Qalam begitu sudah dekat dengannya.

“Maaf, aku mau fokus dengan pelajaran yang telah diajarkan oleh guru. Aku mau mengulang hingga aku benar-benar memahaminya,” balas Rahmat.

“Belajar memang penting, tetapi ilmu itu datang dari Allah. Maka, sudah sewajarnya kita bersyukur karena sudah mendapat ilmu dari-Nya dengan cara mengerjakan salat Dhuha. Ikuti kami untuk sekali ini saja.”

Mendengar jawaban itu tentu saja Rahmat menurutinya. Mereka pun mulai melangkah menuju mushola sekolah yang letaknya dekat tempat parkir. Tampak mushola itu begitu asri karena ada pohon rindang tumbuh di dekat sana. Mereka pun melepas sepatu dan masuk ke mushola. Setelah itu mereka mulai mengambil wudhu dan mengerjakan salat sunah dua rakaat.

Khalid memperhatikan bagaimana Rahmat salat. Tampak dia berdiri dan bersedekap lalu posisi kedua tangan diletakkan di bawah pusar. Hal ini membuat Khalid merasa heran karena meskipun cara shalatnya tidak salah karena umumnya cara itu dilakukan oleh Mazhab Hanafi. Tentu saja cara ini jarang orang Indonesia yang melakukannya.

Begitu Khalid telah menyelesaikan salat duha, dia pun langsung bertanya kepada Rahmat. Awal Khalid bertemu dengan Rahmat tidaklah terlalu curiga dan tak mau memikirkan latar belakang laki-laki itu. Namun setelah lama mengenalnya, Khalid yakin bahwa dia pasti datang dari luar Indonesia.

“Rahmat, kamu asal dari negara mana? Bolehkah aku tahu?” tanya Khalid.

“Aku aslinya dari Inggris. Maaf jika tidak langsung mengatakannya pada kalian.” Rahmat ingin menyembunyikan latar belakangnya dari teman sekolahnya. Namun, karena Qalam sudah tahu, maka dia merasa tak ada yang perlu disembunyikan.

“Benarkah itu? Memangnya Mazhab apa yang dipegang di Inggris?”

“Kebanyakan orang-orang di sana bermazhab Hanafi.”

“Oh, pantas saja cara salatmu aneh sekali. Berarti benar dugaanku kalau kamu bermazhab Hanafi.”

“Khalid, kamu tahu banyak, ya,” ucap Langit. “Sebenarnya aku mau menghentikan salatnya tadi, tetapi aku urungkan.”

“Ya, setiap orang punya pendapat masing-masing. Hanya saja kita tidak harus bertengkar dengan perbedaan itu,” ucap Khalid.

Tak lama hadirlah Divano dari luar mushola. Tampak dia tergesa-gesa seakan ingin bertemu seseorang.

“Annisa, apakah kamu di sini?” ucap Divano mencoba mencari keberadaan Annisa.

“Divano, Annisa memang ada di sini. Kamu kenapa terlihat panik begitu?” tanya Khalid.

“Divano, ada apa ini?” tanya Annisa yang mulai menyadari kehadiran Divano.

“Annisa, kamu tak perlu khawatir  dengan uangmu. Kemarin aku sudah mengambil uang yang Lina rebut darimu,” ucap Divano.

Annisa menundukkan pandangannya. Perempuan itu tidak menyangka akan ada banyak sekali laki-laki yang peduli padanya. Bahkan, Divano langsung bergerak begitu mendengar berita tentang uang yang direbut oleh Lina.

“Terima kasih. Namun, aku sudah ikhlas bila uang itu bukan lagi milikku,” ucap Annisa.

“Jangan berkata begitu. Ambillah uang ini karena ini memang uang milikmu,” ucap Divano.

Annisa pun mengangguk dan mengambil uang itu tanpa menghitungnya lagi dan langsung dimasukkan ke kantong celananya. Setelah itu, tanpa banyak bicara Annisa langsung keluar dari mushola dan menuju ke kelas.

Semua bingung dengan tingkah Annisa. Seharusnya perempuan itu bahagia karena uangnya sudah kembali. Namun, dia justru terdiam tanpa mengucapkan apa-apa.

Ada yang disembunyikan dalam benak Annisa. Perempuan itu bermaksud agar Lina tak menganggap dirinya adalah musuh. Annisa percaya ada kebaikan dalam hati Lina. Namun, rencana itu berantakan ketika Divano meminta kembali uang yang telah Annisa berikan pada Lina.

***

Waktu pelajaran sekolah berakhir dan semua murid mulai berangkat pulang dan hal itu juga yang dilakukan oleh Rahmat. Hanya saja selama pulang sekolah, laki-laki itu terus menatap iPhone miliknya dan memanfaatkan fitur pelacakan untuk mengetahui lokasi Annisa. Tentu saja Rahmat tak mau hal buruk terjadi pada perempuan berkerudung itu.

Setelah jelas Annisa sampai di rumah, barulah fitur itu dimatikan. Rahmat merasa dirinya harus melakukan hal ini secara rutin agar memastikan keselamatan Annisa. Namun, begitu sampai di rumah Rahmat melihat ekspresi dari Adam ada yang berbeda.

“Adam, ada apa? Kenapa raut wajahmu begitu?” tanya Rahmat.

“Begini, bos. Tadi Pak Ibrahim bilang akhir-akhir ini ada pencurian. Tentu saja karena berita itu aku jadi khawatir karena Annisa tinggal sendirian,” jawab Adam. “Apakah bos mau menambah tingkat keamanan pada rumah Annisa.”

Dahi Rahmat berkerut hebat dan merasa Adam benar dalam hal ini. Seketika Rahmat berpikir mengenai apa yang dia harus lakukan.

“Bos, aku ada ide. Bagaimana jika kita memberi CCTV jenis bohlam pada teras rumah Annisa saja? Aku lihat terasnya tidak ada lampu. Aku yakin Annisa akan menerima pemberian kita tanpa tahu alasan kita yang sebenarnya,” ucap Adam.

“Aku rasa kita tak perlu bertindak sejauh itu,” ucap Rahmat.

“Mengapa bos tidak setuju dengan rencana itu? Bukankah bos ingin tahu segala hal tentang perempuan itu?”

“Entah mengapa aku merasa cara kita yang memasang alat penyadap suara secara diam-diam itu merupakan cara yang salah. Aku sudah melakukan fitur pelacakan pada iPhone miliknya agar memastikan Annisa baik-baik saja. Lalu, aku tak mau melakukan hal yang lebih dalam lagi.”

Mendengar jawaban itu membuat Adam mematuhinya. Tentu saja tak ada hal yang diharapkan dari Adam selain kebaikan bagi majikannya.

“Oh, iya. Ada satu berita lagi yang belum aku sampaikan,” ucap Adam.

“Berita apa itu?” tanya Rahmat.

“Sebenarnya Clarissa menghubungiku dan bertanya di mana aku tinggal. Tentu saja waktu itu aku berbohong. Namun, mantan pacar bos menyadari hal itu sehingga aku terpaksa jujur padanya. Katanya dia tahu dari status Whatsapp milikku.”

“Jadi, apakah kamu kasih tahu juga kalau kita tinggal di sini?”

“Tentu saja tidak. Aku hanya memberitahu kalau kita berada di Jakarta. Hanya saja lokasi tepatnya kita berada tidak aku beritahu.”

Mendengar hal itu Rahmat pun akhirnya menyadari bahwa usahanya yang mencoba tidak mengunggah foto dan video ke media sosial berakhir dengan sia-sia. Laki-laki itu pun mulai membuka WhatsApp miliknya dan mulai melihat pesan yang diberikan Clarissa yang selama ini tak pernah dia buka.

Terlihat banyak sekali pesan yang Clarissa dikirimkan pada Rahmat. Bukan hanya pesan, tetapi perempuan itu mengirimkan foto-foto yang sedang memakai pakaian yang begitu mewah dan elegan untuk melengkapi kecantikannya. Memang sudah sejak lama Rahmat memberitahu bahwa dia tak ingin melihat Clarissa berpakaian dengan pakaian yang minim. Namun, kata-kata Rahmat hanya membatasinya dalam hal itu saja dan bukan dengan yang lain. Seketika itu juga Rahmat mengembuskan napas berat ke udara. Laki-laki itu merasa bahwa tak lama lagi bertemu dengan mantan pacarnya.

Barisan Doa Annisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang