Bab 4 | Kemewahan

84 13 85
                                    

"Bos, bangun. Kita sudah sampai," ucap Orlando.

Seketika Rahmat pun membuka matanya. Pikirannya begitu berat membuat kepalanya begitu sakit. Dengan segera dia mengikuti perkataan anak buahnya. Rahmat benar-benar butuh waktu agar bisa tersadar.

Orlando dan Rahmat pun sampai di bandara Internasional Soekarno-Hatta. Perjalanan memakan waktu hingga lebih dari lima belas jam dari Inggris ke Indonesia. Ingin sekali Rahmat tiba di hotel dan langsung beristirahat.

Orlando dan Rahmat pun menunggu di bandara. Tak lama menunggu mobil yang menjemput mereka pun akhirnya sampai. Orlando dan Rahmat pun masuk ke dalam mobil dan kendaraan pun melaju.

Selama di dalam mobil Rahmat hanya menatap ke luar. Dia hanya diam dan bahkan tak tersenyum sama sekali. Hati Rahmat pun masih terasa kosong dan belum tertarik dengan apa pun.

Tak lama mereka sampai di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Benar-benar pemandangan yang mewah bagi Orlando tetapi biasa bagi Rahmat. Mereka pun masuk ke dalam hotel. Segera mereka menuju ke ruang penerimaan tamu.

Sejak tadi hanya Orlando yang beraktivitas dan mengurus segala urusan. Sekejap saja Orlando sudah memberi kunci pada Rahmat.

"Bos, ini kuncinya. Ayo kita ke kamar," ucap Orlando.

Rahmat diam dan hanya mengikuti Orlando dari belakang. Mereka menuju lift dan naik ke lantai dua puluh dua. Sekejap saja mereka pun sampai di kamar dan masuk ke dalam.

"Bos, semuanya mewah, ya. Sudah aku duga yang paling mahal harganya yang paling mewah," ucap Orlando.

Rahmat hanya diam dan menuju ke kursi. Dalam duduk Rahmat termenung. Dia benar-benar tak mempedulikan Orlando yang berbicara.

"Orlando, coba kamu belikan ponsel untukku sekalian juga kartu perdananya juga," ucap Rahmat.

"Alhamdulillah, akhirnya Bos bicara juga. Kenapa butuh ponsel baru, Bos?" tanya Orlando.

"Jumlah kartu di ponselku hanya dua. Satu untuk keluarga dan satu untuk teman di Inggris. Aku ingin satu kartu lagi untuk teman di Indonesia. Aku ingin teman yang ada di Indonesia tak bisa menghubungiku lagi bila aku kembali ke Inggris. Aku tak mau membuat kenangan dan berada di sini terlalu lama," ucap Rahmat.

"Enggak mau terlalu lama di Indonesia ya, Bos?"

"Iya, paling kita hanya enam bulan di Indonesia. Lalu, aku rasa itu sudah sangat lama. Aku tidak mau menyusahkan Ayah."

"Baiklah kalau begitu. Aku pergi beli ponselnya."

"Kalau ini enggak usah terlalu mahal."

"Harus mahal dong, Bos. Biar Bos bisa senyum setiap harinya."

"Ya, sudah. Terserah kamu saja."

"Begitu dong Bos. Kalau Bos bahagia aku pun ikut bahagia."

Setelah itu Orlando pun pergi meninggalkan kamar. Seketika hanya Orlando sendiri. Dia pun mulai melihat ke arah luar jendela. Interior yang begitu mewah dan benar-benar indah dan Rahmat yakin ini adalah ujian dari Tuhannya. Orlando memang pintar memalingkan hatinya.

Seketika itu juga Rahmat memikirkan Fir'aun yang memang tiada. Sungguh, Rahmat kini bisa memahami mengapa Fir'aun sulit memahami petunjuk. Semakin tinggi posisi yang didapat olehnya, maka ujian yang didapat semakin sulit tetapi Fir'aun tidak sadar akan hal itu. Fir'aun menyangka bahwa derajat yang didapatkan olehnya tak mungkin bisa didapatkan kecuali oleh Tuhan.

Rahmat berpikir lagi. Laki-laki itu mencoba ke arah jendela agar meyakini apa yang dia pikirkan. Dia merasa ada di tempat yang tinggi dan sulit terjangkau. Tentunya akan ada suatu masa seseorang harus turun dan begitu juga dengan Fir'aun. Namun, Fir'aun takut hal itu. Terlebih lagi setelah mimpi yang dia dapatkan yang ditafsirkan bahwa akan ada seorang yang menjatuhkan kekuasaannya.

Fir'aun ketakutan. Tentu perasaan itu datang dari setiap penguasa yang tak mau tergantikan. Fir'aun pun membuat keputusan gila dengan membunuh setiap bayi laki-laki dan membiarkan hidup bayi perempuan dari Bani Israil. Sungguh pasti itu adalah ujian yang sangat berat dari Tuhan.

Rahmat pun berpikir bagaimana mungkin Fir'aun berbuat sejauh itu? Tuhan tak pantas takut dengan apa yang telah diciptakan atau dengan apapun itu baik dengan yang tak bisa dikendalikan, tidak juga bisa didefinisikan, hingga tak terkira. Tentunya terserah Tuhan yang mengatur berapa jumlahnya. Bahkan apapun yang diciptakan takkan membuat status Tuhan menghilang. Dalam hati Rahmat tak mungkin ada yang bisa membuat keputusan serumit itu selain Allah.

Karena merasa Orlando belum datang Rahmat pun memutuskan untuk mandi. Dia mulai mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi Rahmat memakai baju yang baru. Karena khawatir kepanasan dia pun memakai celana pendek dan kaos sederhana.

Orlando pun datang. Dia senang melihat majikannya masih menunggu dirinya.

"Bos, ponselnya sudah dapat. Merek iPhone seri terbaru. Kartu perdananya sudah aku masukkan dan bisa diaktifkan tanpa registrasi. Aku enggak tahu Bos suka atau tidak. Namun, aku yakin kalau semahal ini Bos pasti suka," ucap Orlando.

"Benar-benar kamu, ya. Kok, kamu sampai kamu berbuat sejauh ini agar aku bahagia? Kamu pasti yakin ini pasti salah," ucap Rahmat.

"Tahu dong Bos. Bukankah hidup kita akhirnya harus bahagia? Jadi, kalau ada uang tentu harus digunakan untuk mendapatkan kesenangan."

"Kamu kok bisa pintar ngomong kayak begini? Tahu aja."

"Iya dong biar Bosnya ngomong dan bisa tersenyum. Kalau Bosnya bahagia aku juga bahagia."

Rahmat pun kembali diam. Dia sadar tak mungkin bisa mengelak dari perkataan Orlando. Tentu, akhir dari hidup harus bahagia dan tak ada penderitaan. Dengan cepat dia pun mengambil kotak ponselnya dan mulai membuka isinya

Memang benar-benar barang yang mewah. Rahmat tahu ponsel itu adalah iPhone seri terbaru dengan eSIM dan nano Sim. Rahmat biasanya mudah memahami sesuatu. Namun, khusus kali ini dia sampai enggak mengerti alasan utama mengapa Orlando memberikan ponsel semahal ini. Rahmat pun menjadi ragu untuk memilikinya. Dengan segera dia pun memasukkan ponselnya kembali ke dalam kotak.

"Ya, sudahlah. Mending kita makan saja," ucap Rahmat.

"Tentunya dong. Sudah lapar banget aku," balas Orlando.

Mereka berdua pun mulai keluar dari kamar menuju restoran. Mereka pun mulai turun. Kemudian untuk kali ini Rahmat membawa ponselnya. Tak ada yang terlintas dibenaknya selain memberikan ponsel itu pada orang lain. Rahmat berubah pikiran untuk tidak menambah jumlah kartu perdana yang dia miliki.

Akhirnya Orlando dan Rahmat pun sampai di Asia Restauran yang ada di hotel Ritz-Carlton. Orlando yang begitu lapar tergoda dengan segala apa yang ada di menu makanan membuat meja makanan begitu penuh dan yang dipilih pun adalah makanan mahal. Orang-orang hanya bisa melihat tingkah mereka berdua. Rahmat tidak marah dan hanya menggelengkan kepalanya.

Dalam pikiran Rahmat dia terus mencari alasan agar ponsel itu diberikan kepada orang lain. Hanya saja dia tidak enak pada Orlando. Namun, di sisi yang lain yang ada di pikiran Orlando hanya makan. Tentunya Rahmat bersyukur dengan kondisi itu karena bisa mengalihkan perhatian Orlando.

Seketika Rahmat mengambil iPhone miliknya dan mencari tempat hiburan terdekat. Cukup lama dia mencari akhirnya pun ketemu. Lokasinya adalah taman kota Gelora Bung Karno.

"Orlando, mau ke Taman Kota Gelora Bung Karno? Aku agak penat di sini, ayo kita ke sana. Kita akan pergi setelah makan," ucap Rahmat.

"Baik, Bos. Siap laksanakan," ucap Orlando.

Mereka pun mulai menikmati makanan. Rahmat pun memikirkan Orlando. Meskipun banyak kekurangan Orlando tetapi Orlando selalu mencoba membuat Rahmat bahagia. Lalu, karena itulah Rahmat merasa memiliki teman yang selalu ada di sampingnya.

Barisan Doa Annisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang