22. Meet Him

12.7K 809 112
                                    

William adalah lelaki berusia dua tahun di atas Lady. Mereka bukan teman, begitu Lady menganggapnya. Keduanya saling mengenal karena Ayah mereka adalah relasi bisnis. William sering kali mencoba mendekatinya karena sudah mendapatkan lampu hijau dari Anthony. Tapi Lady tidak ingin berteman dengannya, sebagian hati Lady mengatakan bahwa lelaki itu bukan lah orang baik.

Semuanya terbukti saat perusahaan Anthony mengalami kebangkrutan. Salah satu dalang yang mencoba menjatuhkan perusahaan Anthony adalah Ayah William. Musuh di balik selimut, begitu orang-orang menyebutnya.

Kendati Ayah William sudah mendapatkan banyak aset, dia seolah tidak puas untuk mendapatkan yang lebih lagi. Uang dengan jumlah besar yang pernah Anthony pinjam saat perusahaannya berada di ambang kebangkrutan kembali diungkit-ungkit.

Lady sudah menjual rumah peninggalan Ayahnya untuk membayar hutang namun uang yang dia dapatkan dari hasil penjualan rumah nyatanya tidak seberapa dibandingkan hutang Ayahnya kepada Ayah William.

Mereka mengirim orang-orang berbadan besar yang datang dengan ancaman yang sama setiap harinya. Jika Lady tidak bisa melunasi hutang, mereka tidak akan segan-segan untuk membunuh Anthony.

Sejak saat itu Lady meminta bantuan Om Gerald—Ayah Paula—untuk mengamankan Sang Ayah dari ancaman. Setelah itu Lady pun berusaha melarikan diri. Dia sengaja mencari tempat tinggal tidak jauh dari Paula. Setidaknya jika terjadi apa-apa dengannya, Paula sekeluarga bisa melindunginya.

Tapi Lady sadar, seberapa jauh pun dia berusaha berlari, orang-orang licik seperti keluarga William pasti akan menemukan keberadaannya. Mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang-orang jahat yang tidak memiliki hati nurani.

"Ikut denganku." William menyentuh lengan Lady. Cukup keras hingga membuatnya meringis.

"Aku tidak mau!"

"Aku tidak suka dibantah, Lady. Ikut denganku!"

"Aku bilang aku tidak mau. Lepaskan!" Teriakan Lady mengundang perhatian orang-orang yang sedang menunggu kedatangan bus di halte.

William dengan banyak wajah bisa mengubah ekspresinya dalam waktu singkat. Kini dia melangkah mendekat bak seorang kekasih yang sudah putus asa membujuk kekasihnya yang sedang merajuk.

"Aku dan perempuan itu tidak memiliki hubungan apa-apa, sayang. Kau harus mendengarkan penjelasanku. Kita tidak boleh ribut di tempat umum. Jangan mempermalukan diri sendiri."

Dan benar saja, orang-orang di sekitar sudah tampak tidak tertarik lagi dengan keributan mereka. Terkadang orang-orang akan bersikap cuek jika itu menyangkut privasi orang lain.

William menggenggam tangan kanan Lady yang dingin. "Ayo kita masuk ke dalam mobil dan menyelesaikan semua masalah ini secara baik-baik."

Seolah tidak diberi pilihan, Lady akhirnya melangkah dengan berat hati saat William menarik tangannya menuju mobil mahal tersebut. Lady menatap keluar jendela saat mobil mulai melaju, berharap ada seseorang yang mengerti bahwa dia butuh pertolongan.

"Ini milikmu?" William mengeluarkan sebuah kalung dari saku celananya. Kalung emas milik Lady yang beberapa hari lalu dia serahkan kepada anak buah William. "Asal kau tahu kami tidak butuh kalung murahan seperti ini."

"Hanya itu yang aku miliki. Aku belum memiliki uang sebanyak sisa hutang Ayah."

"Sebenarnya kami tidak terlalu membutuhkan uangmu. Kami bisa mandi uang setiap hari. Hutang Ayahmu itu tidak seberapa. Kami hanya ingin membuatmu menyerah, Lady."

"A-pa maksudmu?"

"Kau tidak sadar bahwa sejak dulu kau selalu jual mahal?" William terkekeh. "Jika dulu kau bisa bersikap sombong, angkuh dan merasa dirimu adalah gadis paling cantik di dunia, aku masih memaklumi. Tapi sekarang, lihatlah dirimu, Lady Edeline! Kau hanya orang miskin yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki apapun untuk dibangga-banggakan, selain wajah cantik dan tubuh seksimu yang masih menjual."

Shout Out To My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang