57. Spaces Between Us

9.1K 600 94
                                    

Hari sudah gelap. Suasana makam semakin sunyi. Akan tetapi Ellgar masih betah berdiam diri disana. Duduk di dekat pusara yang Ayah dan menangis. Melepaskan semua luka yang ada di hatinya.

Nyatanya kehilangan sosok Ayah adalah hal paling mengerikan di dalam hidup Ellgar. Ada banyak mimpi yang belum berhasil Ellgar wujudnya ketika Ayahnya hidup. Kini kesuksesaan Ellgar pun tidak pernah bisa Ayahnya rasakan.

Ellgar pikir kematian seseorang memanglah takdir. Tapi setelah mendengar apa yang Ibu katakan, ada rasa tidak ikhlas untuk melepas kepergian Sang Ayah. Seharusnya Ayah bisa menikmati hasil dari kerja keras Ellgar.

"Bagaimana sekolahmu hari ini, El?" Ayah selalu menanyakan hal itu ketika Ellgar pulang sekolah, begitu perhatian.

"Lancar. Hanya saja ada rumus matematika yang sedikit sulit masuk otak."

"Tidak ada sesuatu yang tidak bisa dipelajari. Kau itu cerdas. Jadi kau harus gigih agar punya masa depan yang cerah. Nasibmu harus lebih baik dari nasib Ayahmu ini ya, El."

"Suatu saat nanti aku akan jadi orang sukses. Menaikan martabat keluarga kita. Punya perusahaan besar. Mempekerjakan orang-orang kecil agar hidupnya sejahtera. Itu mimpiku. Doakan aku agar semuanya bisa terwujud."

"Putra Ayah memang anak baik." Ayah menepuk pundak Ellgar dengan bangga, padahal pada saat itu Ellgar hanya mampu membutikan dengan meraih juara umum di kelas satu dan dua. Tapi Ayah selalu memberi apresiasi berlebih.  "Jika kau sudah menjadi orang sukses nanti, ingat kata-kata Ayah ini."

"Apa itu, Ayah?"

"Uang dan kekuasaan bukanlah segala, semua itu hanya titipan. Yang selamanya kau bawa adalah ini..." Telapak tangan Ayah menyentuh dada Ellgar yang masih mengenakan seragam. "Hati yang baik. Kau harus memiliki hati yang baik sepanjang hidupmu. Mungkin ada banyak orang yang tidak suka denganmu dan ingin menjatuhkanmu tapi kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan bukan?"

"Jadi maksud Ayah jika ada orang yang berbuat jahat padaku, aku harus diam saja. Begitu?"

"Bukan diam saja tapi kau harus mendoakan agar hidup mereka lebih baik. Kau tidak harus mengotori tanganmu untuk membalas mereka. Tidak harus mengotori hatimu yang baik hanya karena rasa dendam. Kau paham?"

Ellgar mengangguk walau pada saat itu dia tidak setuju dengan kalimat Sang Ayah. "Aku akan jadi Anak baik untuk Ayah."

"Bukan untuk Ayah tapi untuk dirimu sendiri. Hidupmu ada ditanganmu. Kau tidak akan selamanya bergantung pada Ayah dan Ibu. Jadi ingat terus kata-kata Ayah. Jadilah anak baik sepanjang hidupmu."

Ellgar menghusap keras wajahnya yang penuh air mata. Menarik rambutnya sendiri hingga kepalanya terasa sakit. Sampai kapan pun Ellgar tidak akan pernah bisa melupakan pesan Ayahnya; Jadilah anak baik sepanjang hidupmu. Tapi jika sudah seperti ini apakah Ellgar masih bisa menjadi anak baik?

Rasanya setiap nama Anthony melintasi kepalanya, Ellgar ingin sekali membunuh pria itu. Tetapi sebagian hatinya tidak tega melihat tangisan Lady—gadis yang teramat dia cintai hingga detik ini.

Semuanya semakin jelas sekarang. Ellgar menemukan alasan mengapa Lady tiba-tiba mengakhiri hubungan mereka, berkata bahwa mereka tidak akan pernah bisa bersatu sampai kapan pun. Kenyataan memang semenyakitkan itu.

Ellgar menjatuhkan kepalanya di atas pusara Sang Ayah sambil terisak. "Aku benci orang yang sudah memisahkan kita, Ayah. Tapi aku mencintai Putrinya, sampai saat ini aku masih mencintai gadis yang sama. Apakah aku salah? Apa yang harus aku lakukan? Bantu aku melewati ini, Ayah."

Shout Out To My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang