Nat melangkah keluar terburu-buru dari apartemennya sambil memeriksa kembali kelengkapan yang harus dia bawa pergi ke kantor. Nat tadi sempat turun ke parkiran bersama Neva sebelum akhirnya ia kembali lagi ke atas guna untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal.
Kepalanya yang menunduk tidak memperhatikan arah depan sehingga saat ia akan memasuki lift, dia tidak menyadari jika seseorang juga akan melangkah keluar.
Tubuh mereka pun saling bertabrakan hingga membuat Nat yang mengenakan sepatu hak tinggi sedikit oleng dan nyaris membuatnya jatuh. Beruntung sebuah lengan kekar lebih dulu menahan pinggangnya hingga tangan gadis itu refleks menggantung di kedua bahu si penolong.
Matanya yang semula terpejam terbuka lebar saat melihat sosok yang menahan tubuhnya yang tak lain adalah Arga. Jantung gadis itu berdebar kencang dengan posisi yang begitu dekat, ditambah bau harum dari parfum milik pria di depannya membuat Nat kehilangan fokus.
"Hei," tegur Arga.
Sadar akan apa yang ia lakukan, Nat gelagapan dan berusaha untuk menegakkan tubuhnya. Namun, tubuhnya kembali oleng dan Arga berusaha untuk
menahannya lagi."Kamu enggak apa-apa?" tanyanya pelan.
Arga sedikit aneh dengan tingkah laku gadis di depannya ini. Padahal sudah jelas ia menahan tubuhnya, agar tidak terjatuh. Namun, gadis ini justru kembali terjatuh saat akan berdiri.
"Oh, saya enggak apa-apa."
Canggung. Itulah yang dirasakan oleh Nat. Gadis itu dengan perlahan melepaskan tubuhnya dari dekapan Arga kemudian mundur satu langkah ke belakang.
"Terima kasih sudah menolong saya," ucap Nat tulus.
Gadis itu kemudian berjalan melewati Arga begitu saja dan masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka karena ada tetangganya yang baru saja keluar.
"Ya ampun, aku kenapa 'sih? Kok, deg-degan dekat sama tetangga apartemen aku sendiri?" Nat memegang letak jantungnya sambil menunggu lift turun ke bawah.
Sementara, Arga sendiri tidak peduli dengan sikap aneh gadis tadi. Ia langsung pergi ke apartemennya untuk mandi dan membersihkan diri sebelum ia pergi untuk manggung di stasiun TV.
"Mbak, kok lama banget? Mbak ngapain di atas? Boker dulu?"
Nat yang baru saja masuk ke dalam mobil langsung dicerca Neva dengan tiga pertanyaan di mana satu pertanyaan terakhir membuat Nat terkekeh geli.
"Tadi Mbak cari dulu barang yang ketinggalan. Tapi, sekarang udah dapat." Nat menyalakan mesin mobilnya. "Ayo, kita berangkat sekarang. Nanti justru kita telat ke kantor."
"Ayo, Mbak. Sampai di kantor aku langsung mau ke kantin. Lapar aku belum sarapan."
"Siapa suruh kamu bangun siang-siang." Nat melirik Neva yang memang bangun sedikit kesiangan hari ini.
"Mbak juga bangun kesiangan tadi, kok. Jadi, kita berdua adalah kebo." Neva tertawa di akhir kalimatnya memikirkan jika ia dan gadis yang lebih tua 2 tahun darinya itu sama-sama bangun kesiangan.
Sesampainya di kantor, Neva langsung bergegas ke kantin sementara Nat langsung menuju lantai ke tempat di mana ia dan Neva bekerja.
Jujur saja, pagi ini Nat tidak mood untuk sarapan. Pikirannya terlalu penuh tentang sosok yang baru saja tadi dia temui saat di lift.
"Apa mungkin aku lagi jatuh cinta?" Nat bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian, ia tersenyum memikirkan interaksi antara dirinya dan Arga tadi. Sepertinya, pria yang berstatus sebagai penyanyi itu tidak banyak terlalu dekat dengan wanita. Terbukti, tidak ada skandal yang ia temukan selama dalam masa pencariannya di internet.
"Apa dia aja yang jadi target nikah aku? Sepertinya enggak sulit untuk jatuh cinta sama dia."
"Jatuh cinta sama siapa, Mbak Nat?" tegur seseorang, membuat Nat gelagapan.
Gadis itu segera menegakkan tubuhnya menatap Annabella, yang juga merupakan teman sekantornya sekaligus senior di tempat dia bekerja. Yah, setidaknya Annabella lebih dulu berkaki darinya.
"Oh, enggak. Aku enggak ngomong begitu. Mungkin kamu salah dengar." Nat meringis canggung ketika gadis dengan penampilan tomboy itu memicingkan matanya.
"Yakin? Mau jatuh cinta juga enggak masalah. Hak pribadi. Enggak ada larangan karena yang dilarang itu jatuh cinta sama suami orang," sahutnya santai. Tidak lupa ia juga melempar ransel hitamnya ke atas meja hingga menimbulkan suara yang sedikit keras dan mengejutkan yang lain.
"Ana, bisa pelan enggak kalau mau naruh tas kamu di atas meja?" tegur Mischa terkejut. Mischa Nugroho adalah pria setengah wanita yang memang hobi menggosip. Hidupnya tanpa gosip, bagai tumbuhan yang tidak disiram air, alias layu.
"Enggak. Memang itu udah kesukaan gue." Ana melirik tajam ke arah Mischa, yang langsung gelagapan saat mendapat lirikannya.
Ana sendiri dijuluki sebagai tukang pukul di lantai tempat mereka bekerja. Sudah ada banyak korban pemukulan dari gadis itu, namun sayangnya Ana masih tetap selamat dan tidak dipecat karena melakukan kekerasan di wilayah kantor. Hal ini membuat beberapa orang berspekulasi jika Ana memiliki bekingan kuat.
"Mbak Nat! Yuhu, aku bawa sarapan buat Mbak Nat. Dimakan. Kalau enggak dimakan nanti maag-nya kambuh!"
Suara nyaring milik Neva terdengar di penjuru lantai tempat mereka bekerja. Hal ini tentu saja membuat beberapa orang mendelik sebal. Sayangnya, Neva sendiri adalah gadis kebal yang tidak peduli dengan orang lain.
Neva meletakkan nasi berisi ayam ke hadapan Nat dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
"Ini, Mbak. Buat Mbakku tercinta."
"Lo enggak beliin gue juga, Nev?" tegur Ana seraya bangkit berdiri. Tadi, sebelum berangkat bekerja ia tidak sempat sarapan karena ia memang bangun kesiangan. Ini semua karena tadi malam ia begadang sehingga bukan sarapan pagi yang ia dapatkan tapi justru omelan dari mamanya.
"Lha, gue lupa ada elo, Mbak. Apa gue harus balik lagi ke bawah?" Neva tercengang tidak menyadari sosok tukang pukul yang sudah datang lebih awal darinya.
"Pesan aja deh. Lo yang bayar. Gue utang dulu."
"Yah, Mbak Ana, kayak orang susah aja utang segala." Meski wajahnya cemberut, Neva tetap mengeluarkan ponselnya dan menghubungi anak kantin untuk mengantarkan makanan pesanan Ana.
"Ingat segera. Ini punya si tukang pukul," bisik Neva di akhir kalimat.
Setelah memastikan jika anak kantin akan mengantarkan makanan untuk Ana, gadis itu segera mematikan sambungan telepon.
"Sudah, Mbak," lapornya.
"Thanks." Ana kembali duduk di kursinya, sambil membuka laptop miliknya dan mulai bekerja.
"Mbak, tahu enggak ada gosip hari ini."
Neva yang baru saja duduk segera menegakkan tubuhnya mengingat jika ada segelintir gosip yang ia dengar di kantin.
"Gosip apa?" Mischa yang memiliki telinga tajam sontak bangkit berdiri dan menghampiri meja tempat di mana Neva duduk.
"Dengar-dengar, katanya, ada yang baku hantam sesama karyawan. Katanya 'sih karena memperebutkan Pak manager operasional."
"Oh, Pak Michael itu?" Mischa membelalakan matanya terkejut. "Aku dengar-dengar juga, kalau Pak Michael itu memang Playboy. Masa semua perempuan dekat sama dia."
"Mungkin aja. Aku juga enggak tahu apa-apa tentang Pak Michael." Neva mengangkat bahunya. "Mas Mischa, serius enggak dengar gosip itu?"
"Udah aku bilang jangan panggil aku, Mas. Panggil aja Mbak." Wajah Mischa cemberut mendengar panggilan Neva untuknya. "Aku enggak tahu apa-apa. Belum dengar gosip, sih."
"Ya udah nanti mas Mischa cari tahu aja dulu. Nanti kalau udah dapat informasi yang jelas, jangan lupa kasih tahu aku."
Mischa kembali melengos karena kembali Neva memanggilnya dengan sebutan yang tidak ia sukai itu. Sementara Nat yang melihat interaksi keduanya hanya bisa menggeleng kepalanya geli. Ia merasa bahagia bisa bersama dengan orang-orang yang memiliki karakter berbeda.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEJAR TARGET (sequel Dilema Istri Kedua)
RandomCover bye @aimeeAlvaro Nathalya Silvia. gadis cantik 24 tahun ditinggal menikah oleh kekasihnya tanpa kepastian. Keluarga Nat--sapaan akrabnya-- yang masih percaya mitos di keluarga besar mereka mendesak Nat untuk segera menikah dan mencari suami...