Dua Minggu berlalu begitu cepat tanpa terasa. Arga pun sudah mulai beraktivitas seperti hari-hari biasa setelah ia meminta libur.
Pria itu memiliki jadwal manggung di beberapa tempat. Kebetulan manajernya yakni Ruli sudah membuat jadwal konser untuknya yang akan dilakukan bulan depan. Hal ini tentu saja membuat Arga semakin sibuk. Beruntung, tawaran untuk bermain film sudah ia tolak beberapa waktu lalu. Ditambah lagi, jadwal syuting film terakhir sudah diselesaikan. Hanya menunggu proses editing dan hal lainnya untuk menampilkan film tersebut di layar bioskop.
"Mik, Hari ini jadwal saya kosong 'kan?" Arga menatap Miko yang saat ini sedang merapikan pakaiannya. Tidak jauh dari posisi Miko berada ada Melly yang juga membantu menata semua kelengkapan milik Arga.
"Kosong, Bang. Soalnya Abang hari ini 'kan harus pulang ke rumah," sahut Miko.
Mendengar jawaban dari asistennya, Arga menganggukkan kepala mengerti. "Ngomong-ngomong, Mami saya enggak telepon hari ini?"
"Enggak, Bang. Dari pagi enggak ada panggilan masuk dari Bu Nia."
"Kok, bisa? Biasanya Mami selalu telepon saya," komentar Arga, mengerut dahinya bingung.
"Enggak tahu, Bang. Mungkin maminya abang lupa," celetuk Melly.
"Kalau lupa juga enggak mungkin. Ingatan Mami saya itu kuat," balasnya. "Ngomong-ngomong, mana handphone saya? Saya mau menghubungi Mami saya dan tanya kenapa dia enggak telepon saya hari ini."
Melly menatap Arga sambil menggeleng kepalanya. Majikannya memang benar-benar anak mami, pikir kedua kembar itu bersamaan.
Segera, Melly menyerahkan ponsel pada Arga yang langsung diterima oleh pria itu.
Arga sendiri langsung mendial nomor maminya hingga beberapa detik kemudian akhirnya panggilan tersambung.
"Halo, Bang Arga? Kenapa telepon mami? Abang kangen ya sama Alana? Tapi, maaf, ya, Bang. Alana enggak kangen, tuh, sama Abang."
Suara ceria tersambung di telinga Arga saat sambungan telepon terangkat. Ini jelas adalah suara milik Alana. Adik bungsunya yang selalu membuat ulah. Alana benar-benar menuruni sifatnya yang memang nakal sejak kecil.
"Enggak. Abang enggak kangen kamu." Diam-diam Arga tersenyum geli membayangkan ekspresi lucu adik bungsunya itu yang pasti saat ini sedang cemberut. "Abang kangennya sama Alea. Oh, iya, Alea mana? Duh, Abang rindu berat ini."
"Ih, Abang! Ini 'kan Alana! Kakak Alea di kamarnya. Abang enggak sayang sama Alana. Alana aduin ke mami kalau Abang sering jalan sama cewek tapi enggak pernah dikenalin ke mami."
"Hei, Mami mana percaya sama ucapan kamu."
Geli sendiri ia mendengar ancaman Alana yang memang sering dilakukan oleh gadis itu padanya.
"Oh, kalau gitu Alana bakalan hasut mami supaya Abang cepat-cepat nikah."
"Eh," gumam Arga.
Pria itu benar-benar tidak menyangka dengan jalan pikiran gadis 10 tahun itu. Alana pasti akan benar-benar melakukan ancamannya dan Arga tidak siap untuk mendengar omelan sang mami tentang rencana pernikahan.
"Ya ampun, Alana. Adik Abang yang paling cantik, paling imut, paling menggemaskan, dan paling baik di dunia ini. Abang kangen banget sama kamu. Sampai-sampai kamu itu sering masuk ke dalam mimpi Abang. Unch, rindu sekali abang sama kamu ini. Adik kesayangan abang," ujar Arga merubah sikapnya.
Arga tidak mau lagi main-main dengan Alana karena mulut gadis itu sangat berbisa. Percayalah, di antara adik-adiknya yang lain, Alana adalah yang paling pintar menghasut orang.
"Hemp! Enggak ada yang meragukan hal itu." Alana terdengar penuh percaya diri, membuat Arga diam-diam memutar bola matanya.
"Oh, iya, Mami mana? Kenapa Mami enggak telepon abang hari ini?"
"Mami lagi enggak ada di rumah. Tadi pagi jalan ke toko buat cek barang, kata mami. Tapi sampai sekarang belum pulang. Terus, handphone Mami ketinggalan di rumah."
"Dari jam berapa memangnya mami pergi?"
"Jam 10, Abang. Tapi, tadi Mami telepon pakai nomor punya karyawannya. Mami kira handphone-nya ketinggalan."
"Oh, abang kira mami kenapa-napa. Soalnya dari tadi pagi, Mami enggak ada hubungi Abang."
"Ih, dasar Abang manja anak mami. Maunya dihubungi mami terus. Nikah, dong. Biar dihubungi sama yayang."
"Alana!"
"Ha-ha! Bye, Abang!"
Alana segera mematikan teleponnya. Sementara, Arga hanya menatap geram ponselnya yang sudah menampilkan layar hitam. Adik bungsunya ini memang benar-benar kelincahan mulutnya. Ini semua karena mungkin dia sudah meniru gaya bicara Mami mereka, pikir Arga.
"Alana buat abang kesel lagi?" Melly melirik majikannya yang saat ini tengah memasang wajah cemberut.
"Iya. Siapa lagi yang bisa buat saya kesal selain Alana? Itu anak, kecil-kecil mulutnya rawit banget," sahut Arga. "Oh, iya, saya mau pulang dulu. Biar mang Jupri yang antar saya. Soalnya saya mau ke tempat orang tua saya."
"Iya, Bang."
Melly dan Miko menjawab secara bersamaan. Mereka tahu orang tua yang dimaksud oleh Arga itu siapa. Siapa lagi jika bukan keluarga kandungnya yakni keluarga Dirman.
Arga turun dari mobil setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari lokasi tempatnya manggung sampai ke rumah orang tua kandungnya. Jujur saja Arga malas untuk datang ke rumah ini, karena ada sang nenek yang selalu merecoki hidupnya. Arga bukanlah tipe laki-laki yang suka dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak ia sukai. Kecuali, jika itu adalah permintaan dari mami Nia, maka Arga tidak masalah untuk menurut. Baginya, mami Nia adalah wanita terbaik yang mau menjaga dan merawatnya saat dia sedang sakit. Meskipun, mereka dipertemukan di usia Arga sudah memasuki 17 tahun.
Sementara keluarga kandungnya baru berpikir untuk menemuinya setelah ia menemukan kehidupan yang nyaman.
"Aku pulang." Arga sedikit tertegun saat masuk ke ruang tamu dan menemukan ada tiga orang asing yang tidak dikenalinya, serta nenek dan kakeknya.
Tak mau dianggap tidak sopan, Arga menghampiri nenek dan kakeknya dengan mencium punggung tangan pasangan tua itu. Lalu, beralih pada pasangan suami istri, serta seorang wanita.
"Arga, kamu sudah pulang." Ningrum menyambut hangat kedatangan cucunya. "Ayo, nenek mau memperkenalkan kamu dengan seorang perempuan cantik. Namanya Siska. Kenalan dulu, gih."
Arga kemudian memperkenalkan dirinya pada wanita yang dipanggil dengan sebutan Siska itu demi menjaga kesopanan di depan tamu sang nenek dan kakek.
"Dia adalah Siska, bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ternama, dan juga pendidikannya sudah S2. Pasangan yang terbaik untuk kamu, Arga."
Ucapan sang nenek tentu saja langsung membuat Arga menoleh.
"Maaf, Nek. Maksud nenek apa, ya?" Firasat pria itu mulai tidak enak saat melihat senyum sang nenek yang semakin lebar.
"Ini adalah Siska, perempuan yang akan nenek jodohkan dengan kamu."
Seketika pria 27 tahun itu mundur 2 langkah ke belakang sambil menatap neneknya tidak percaya.
"Jangan pernah ikut campur urusanku tentang masalah jodoh. Aku paling enggak suka hidupku diatur apalagi tentang jodohku," ujar Arga tegas.
Pria itu kemudian berbalik pergi menuju lantai 2 di mana letak kamarnya berada. Tujuannya datang ke rumah ini karena panggilan dari sang bapak yang memintanya untuk pulang ke rumah. Berhubung bapaknya belum ada, Arga lebih memilih untuk pergi ke kamar daripada bersama tamu sang nenek pasti akan memicu pertengkarannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/247403315-288-k721893.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KEJAR TARGET (sequel Dilema Istri Kedua)
AcakCover bye @aimeeAlvaro Nathalya Silvia. gadis cantik 24 tahun ditinggal menikah oleh kekasihnya tanpa kepastian. Keluarga Nat--sapaan akrabnya-- yang masih percaya mitos di keluarga besar mereka mendesak Nat untuk segera menikah dan mencari suami...