9: Gugup

2.6K 656 22
                                    

Nat membawa Arga kembali ke apartemennya. Gadis cantik itu menoleh menatap pria yang memiliki bobot tinggi lebih darinya.

"Bisa buka pintu apartemennya sendiri?" Nat bertanya, pasalnya ia tidak tahu password atau pun kunci apartemen milik tetangganya itu.

"000005."

"Hah?"

"Itu password apartemen saya. Id card punya saya tinggal di mobil."

Hawa panas dari mulut Arga mengenai tepat di ujung leher Nat. Pasalnya, posisi pria itu dengan kepala bersandar di pundaknya.

Nat bergidik. Kemudian, tanpa menunggu lama gadis itu segera menekan password apartemen yang sudah disebutkan oleh Arga. Terlalu mudah untuk membiarkan orang asing masuk ke dalam apartemen ini karena password-nya yang sangat mudah.

"Kenapa password-nya sangat mudah?" Nat bertanya penasaran sambil membawa pria yang lebih tinggi darinya itu masuk ke dalam setelah pintu terbuka.

"Karena Mami saya enggak tahan yang ribet-ribet."

Sahutan dari Arga membuat Nat hanya mengangguk. Sementara dirinya dengan susah payah membopong pria yang saat ini sedang kesakitan mencari keberadaan kamarnya.

"Kamar Mas yang mana?"

"Kamar di sini cuma ada satu. Pintu coklat yang ada di depan kita saat ini."

Sekali lagi Nat menganggukkan kepala. Gadis itu kemudian membawa Arga ke kamarnya dan membantu merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

"Saya hubungi nomor dokternya. Mas ada nomor dokter?"

Segera Nat menegakkan tubuhnya dan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya sambil menatap ke arah di mana pria itu sedang terbaring di atas tempat tidur.

"Saya enggak tahan kalau harus panggil dokter ke sini. Dokter itu pasti memberi tahu Mami saya kalau saya terlibat perkelahian lagi," gumam Arga pelan.

"Lalu?"

"Ambil aja kotak P3K di bawah rak yang ada di ruang tamu dekat televisi." Arga menjawab pelan. "Kamu bisa bantu saya mengobati luka saya 'kan?"

Nat spontan menatap tubuh Arga yang terlihat memar. Hanya ada beberapa luka lebam di pipi, dekat bibir. Kemudian bagian perut yang sepertinya juga terkena bogeman para preman yang sejak tadi di sentuh oleh Arga.

"Ini enggak ada luka dalam yang serius 'kan?"

Arga menggeleng kepala sebagai respon. Menghela napas, Nat kemudian melangkah keluar mencari kotak P3K yang berada di dekat televisi. Setelah menemukannya, dia kembali bergegas ke kamar dan mulai mengobati luka Arga dengan serius.

"Kamu sangat jago berkelahi," komentar Arga.

Posisi mereka sangat dekat, membuat Nat sedikit gugup. Terlebih lagi mata Arga yang menatapnya lekat, membuat gadis yang tidak biasa dekat dengan laki-laki asing seperti Arga semakin gugup.

"Kedua kakak saya laki-laki dan papa saya juga selalu memasukkan saya untuk ikut taekwondo dan olahraga pertahanan diri." Jawaban dari Nat membuat Arga mengerti jika kedua Kakak dan papa gadis ini memang mau Nat mampu melindungi diri sendiri.

"Oh? Sejak kapan?"

"SD."

Sejak SD, Nat memang sering mengikuti latihan pertahanan diri berbagai jenis hingga ia lulus kuliah. Hal ini dikarenakan sang papa dan kedua kakaknya ingin dia bisa melindungi dirinya sendiri dari marabahaya. Meskipun penampilan Nat terlihat lemah lembut dan sangat mudah diintimidasi, tidak ada yang tahu betapa kuatnya tenaga yang dimilikinya untuk melawan orang-orang yang berniat jahat. Maka dari itu, ketika berada di SMA, Nat mampu melindungi diri dari bullying anak laki-laki.



Terjadi keheningan di kamar tersebut setelah beberapa detik.

"Kenapa Mas tadi enggak langsung telepon polisi waktu di hadang sama para preman itu?"

"Saya tadi enggak sempat untuk menghubungi polisi. Saya biasa juga berkelahi waktu SMA. Sayangnya, saya sudah lama berhenti. Apalagi lawan saya para preman itu."

Semenjak berada di semester 4, Arga memang sudah berhenti berkelahi dan mencari masalah. Sebenarnya skill berkelahinya tidak kurang atau mengendur. Hanya saja, lawannya adalah tiga preman yang bekerja sama untuk mengeroyok dirinya. Jelas saja ia kalah.

"Lain kali kalau lagi di jalan, enggak usah berhenti atau keluar kalau ada preman seperti tadi. Takutnya mereka membawa senjata," ujar Nat.

"Maunya seperti itu. Tapi, kalau mereka masih menghadang?"

"Tabrak," jawab Nat dengan wajah serius.

Arga tentu saja melebarkan matanya tidak percaya mendengar sahutan dari gadis yang terlihat lemah lembut di depannya ini. Ternyata, gadis bernama Nat ini agak-agak mainstream, pikir Arga.

Usai mengobati luka Arga, Nat kemudian pamit dan memilih untuk pulang ke apartemen miliknya. Hari sudah semakin malam dan dia harus beristirahat sebelum besok pagi ia akan berangkat bekerja.

Setelah menutup pintu apartemennya, Nat menyandarkan tubuhnya di pintu sambil menghela napas melepaskan kegugupannya saat berada di dekat Arga tadi. Gadis itu, tidak mengerti dengan respon tubuhnya yang sedikit berlebihan. Saat berpacaran dengan Riko, Nat tidak merasa gugup atau jantungnya berdebar saat dekat dengan pria itu. Berbeda dengan berdekatan dengan Arga yang membuat jantungnya berdebar-debar.

Nat kemudian memilih masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri dan mandi.

Pagi harinya berjalan seperti biasa. Nat berangkat bekerja menggunakan kendaraan miliknya. Sebelum berangkat, dia sempat melirik ke arah pintu apartemen milik tetangganya yang ia tolong semalam. Menggelengkan kepala, Nat kemudian pergi dengan perasaan tak menentu saat melewati pintu apartemen tetangganya itu.


KEJAR TARGET (sequel Dilema Istri Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang