chapter 5 || Menang Telak

443 52 3
                                    

Pagi yang sedikit mendung ini, Sandrina kembali mengendarai vespa piaggio nya. CR-V nya masih dalam perbaikan.

Diparkiran, sudah ada Nudee yang menunggu untuk sarapan, karena sudah disepakati dari hasil chattingan semalam antara Sandrina, Nudee dan Satria .

Sandrina kembali menghampiri Nudee yang masih menunggu diluar, setelah dari ruangannya, meletakkan laptop dan berkas pekerjaan. Sandrina bisa saja menyuruh Nudee sebagai sekertarisnya, namun dia selalu melakukan sendiri hal-hal yang dianggap sepele. Baginya, tanggung jawab Nudee kepadanya hanya sebatas pekerjaan, karena Nudee tidak merangkap jadi asisten.

Sandrina tidak absen fingerprint seperti staf yang lain, karena secara tekhnik bisa dikatakan dia adalah bosnya disitu atau bahkan diseluruh BO se Jateng. Namun itu bukan alasan untuk Sandrina datang seenaknya, ia selalu datang ontime sebelum jam masuk kantor. Selalu memberi contoh baik untuk seluruh under nya. Kredibilitas dan loyalitasnya memang tidak diragukan, the reason why Sandrina berada diposisinya sekarang.

Sandrina dan Nudee lebih dulu datang di salah satu rumah makan soto terkenal di Solo. Laura memesan tiga soto dan tiga jeruk hangat. Sandrina dan Nudee sudah mulai menikmati sarapannya, Satria baru datang dengan muka yang tidak sesegar biasanya. Sebelum ditanya dia sudah tahu arti tatapan kedua perempuan dihadapannya

"Gue semalem jaga lilin. Pusiiing parah kepala gue, berasa abis nglunasin utang negara"

"Sattt bang Sat. Gaji lo udah gede ngapain lo buang-buang waktu buat crypto? " Kata Nudee sambil geleng-geleng kepala

"Iya tuh, herman"

"Heraaannnnn" Sandrina menutup kedua telinga dengan tangannya, karena kedua sahabatnya setengah berteriak tepat dikedua telinganya.

"Segede-gedenya salary gue, masih jauh dari kalian apalagi bu GM"

"Kata lo rejeki bukannya udah ditakar ya? Gimana ceramah lo kemarin?"
Sandrina menanggapi

"Setiap manusia punya takaran rejeki masing-masing. Ibaratnya nih takaran rejeki gue gelas kecil ini, mau gue setengah mampus buat ngisi ni gelas, kalo udah penuh ya isinya luber kalo gue paksa isi lagi. Dan, ibarat gelas gede ini takaran rejeki lo. Kalau belum penuh ya entah dari mana datangnya bakal terpenuhi, karena emang udah jatah lo"
Satria meneguk teh manisnya lalu melanjutkan kultum paginya
"Kesimpulannya, apa yang tidak ditakdirkan untuk kita tidak akan menjadi milik kita. Dan, sesuatu yang memang untuk kita, tidak akan melewatkan kita"
Tutup Satria yang memang selalu semangat kajian. Ya dugeman, ya pengajian, ya rasan-rasan

"Kuliah pagi nih"
"Gitu kenapa lo masih kurang terima? "
Kini Nudee menanggapi

"Mana gue bilang kurang.? Gue cuma bilang gaji gue ga segede lo. Dan, yang ini gue iseng aja sih. Kalau laku lumayan ternyata untungnya"
Satria tertawa bangga

Belum sempat mereka menanggapi, obrolan mereka terhenti. Ketika ada yang bersuara sambil menarik kursi

"Kosongkan? "

Mereka bertiga saling pandang dan mengangguk kaku. Sementara Raisa tidak menggubris jawaban mereka, sudah duduk cantik disebelah Satria, yang artinya berhadapan dengan Sandrina.

Sandrina sesekali mencuri pandang sembari berpikir. Raisa yang selalu nampak anggun, rupanya selera makannya tak jauh berbeda dari mereka bertiga. Sandrina pikir, Raisa hanya akan makan healthy food atau masakan dari koki tertentu yang tidak mengandung micin dan tanpa minyak. Kalaupun harus dengan minyak, mungkin Zaitun atau Bertolli atau bahkan Rafael Salgado. Yang sepertinya tidak mungkin sekali tersentuh Bimoli atau Hemart. Tapi sepertinya sama seperti dirinya dan dua sahabat kolesterolnya ini. Makan tidak afdol jika tidak ramai, berdebu dan pinggir jalan. Seperti halnya kemarin di kedai susu segar. Lagi pula, kuliner Solo dengan kearifan lokal, terlalu sayang untuk dilewatkan. Hal yang mereka bertiga rindukan dari kota berslogan the Spirit of Java tersebut memang masakannya. Benar jika ada yang melabeli Solo ngangeni.

Birunya Cinta (englot) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang