"Apa Bokap sama Bang Sam tau kalau lo kerja paruh waktu di sini?" tanya Daffa seraya melihat ke sekitar toko alat tulis yang hari ini terbilang cukup sepi daripada hari biasanya.
"Nggak." Kale menjawab tanpa mengangkat kepalanya dari buku sketsa yang sedang digambarnya.
Sebelah alis Daffa terangkat. "Lha, tumben banget. Kalau Bokap lo sih nggak heran, sikapnya, kan, emang dingin banget. Tapi kalau Bang Sam, aneh banget kalau dia nggak tau soal ini."
Tangan Kale berhenti menggambar untuk beberapa detik, ekspresinya terlihat kosong. "Bang Sam lagi sibuk nyelesein skripsinya, katanya sambil kerja juga. Jadinya nggak ada waktu buat ngurusin gue. Lagian, bagus kalau dia nggak ikut campur." Dia menghela napas panjang. "Kalau dia tau gue kerja, pasti dia bakalan ngomel ini itu."
Daffa tersenyum kecil. "Elahh, masih untung ada yang peduliin juga."
Kale mendengus. "Tapi cara dia peduliin gue itu nggak banget. Kayak sama anak kecil aja."
Daffa menepuk-nepuk kepala Kale seperti kepada anak kecil yang bandel. "Lo, kan, emang anak kecil. Uhhh, lutunya."
Kale langsung menampar wajah Daffa. "Singkirin tangan sialan lo itu."
Daffa mengusap-ngusap pipinya yang ditampar. "Sakit, Cuk." Tadinya dia mau terus menggoda Kale tetapi mengurungkan niat saat melihat hasil gambar Kale. Entah mau berapa kali melihatnya, dia selalu merasa kagum setiap kali melihat gambar yang dibuat temannya. Sederhana tetapi menusuk hati.
"Lo nggak ada niat buat jual gambar lo, Le?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan, lagipula ditampar lagi oleh Kale bukan hal yang menyenangkan.
"Nggak."
"Lha, terus ngapain lo ngegambar banyak-banyak kalau nggak dijual?"
Kale menutup buku sketsanya dan membereskan barang-barangnya saat melihat pemilik toko datang. "Hobi. Lagian mana ada orang yang mau beli gambar gue."
Daffa mendengus, hanya orang yang tidak punya mata yang menganggap semua gambar milik Kale itu jelek dan tidak layak jual. "Jangan sia-siain bakat lo." Dia menepuk-nepuk kepala Kale lagi. "Kayaknya temen gue ini bakalan diterima di jurusan seni sama arsitektur, deh."
Kale mendelik. "Sekali lagi lo nyentuh kepala gue, gue nggak akan segan-segan buat matahin tangan lo."
Daffa mengikuti nalurinya untuk segera menarik tangannya dan menyembunyikannya di balik punggung. "Entar gue ngomong ke Bang Sam soal gambar lo. Siapa tau dia bisa jualin gambar-gambar lo yang bejibun. Dapat cuan kan lumayan jadinya lo nggak perlu kerja kayak sekarang."
Kale berpamitan pada pemilik toko saat jam kerjanya selesai kemudian segera pergi keluar sebelum Daffa mengoceh lebih banyak hal yang membuatnya kesal. "Lo nggak ada kerjaan lain selain ngikutin gue?"
"Nggak ada."
Mata Kale menyipit, perasaan mereka punya cukup banyak teman untuk bisa diajak main.
"Mereka mainnya geng-gengan mulu." Daffa mengeluh karena Kale diam saja. "Dikit-dikit balapan, dikit-dikit tawuran. Njir, mereka itu sekolah buat jadi berandalan apa."
Kale mengerutkan kening, menatap cowok urakan di hadapannya dengan pandangan bingung. "Berandalan? Njir, omongan sama sikap lo itu nggak sinkron tau! Apa lo nggak nyadar kalau selama ini lo juga bagian dari mereka?"
"Sekarang gue udah tobat. Gue nggak akan begituan lagi."
Kale mencibir dan menghina omongan Daffa.
"Soal gambar--"
"Nggak perlu," potong Kale. "Gue ngegambar bukan buat dijual, lagian gue nggak kekurangan uang."
"Kalau nggak kurang terus kenapa sampai kerja di toko? Atau ada sesuatu yang mau lo beli tapi duitnya kurang?"
Kale memutar bola mata, selama ini dia hidup berkecukupan. Papa memberinya uang yang cukup banyak setiap bulan, jika dia membutuhkan sesuatu maka Samael akan lebih dulu membelikannya. Dia bekerja bukan untuk menambah uang bulanan, tetapi untuk membunuh rasa bosan ketika pulang ke rumah.
"Di rumah nggak ada siapa-siapa. Gue kadang suka paranoid kalau sendiri. Njir, mana di kamar mandi suka ada suara padahal nggak ada siapa-siapa."
"Dasar penakut lo."
"Bukannya takut." Kale menyangkal dengan cepat. "Gue cuma khawatir."
Untuk sesaat Daffa tidak bisa berkata-kata, terlalu takjub dengan sangkalan Kale yang cukup licik juga. "Makanya, rumah tuh jangan kegedean. Jadinya banyak penghuni halusnya."
"Kayak rumah lo nggak gede aja. Rumah lo bahkan ada lantai duanya!"
Daffa mencibir tidak peduli, dia melihat ke sekitar, baru menyadari bahwa ternyata toko tempat Kale bekerja dekat dengan salah satu sekolah negeri paling terkenal di Jakarta. Beberapa siswa sekolah tersebut bahkan melirik Daffa karena dia masih memakai seragam sekolahnya.
"Lhaa, bukannya ini sekolahnya Kenan?" tanya Daffa tanpa sadar. "Gue juga baru nyadar. Anjir, lo bolak-balik dari sekolah-rumah-toko tuh jauh banget!" Dia menatap Kale tidak percaya. "Jangan-jangan lo sengaja kerja di sini supaya bisa liat Kenan, kan?"
Kale hanya melirik Daffa kemudian membawa cowok itu masuk ke dalam gang agar tidak bertemu dengan anak-anak yang menjadi penguasa sekolah tersebut.
"Sejak kapan lo tau kalau Kenan sekolah di sana? Eh, bentar! Apa jangan-jangan lo ikutan olimpiade itu gara-gara Kenan juga? Dia ngewakilin sekolahnya, kan?" Daffa terus bertanya tanpa peduli Kale menjawabnya atau tidak.
Pada awalnya Daffa terus bicara kemudian secara perlahan terdiam ketika melihat Kale tidak merespon semua ucapannya dan malah terus menatap ke depan. Karena merasa bingung, dia mengikuti arah pandang Kale. Saat itu dia mengira yang dipandang Kale pasti Kenan, tetapi rupanya dia salah besar, ternyata orang yang sedang dipandang Kale adalah Papanya sendiri.
Kale menghela napas panjang, ekspresinya terlihat muram sebelum berbalik pergi.
Lidah Daffa kelu, kini dia mengerti mengapa Kale jauh-jauh kerja di tempat ini. Bukan karena ingin melihat apalagi bertemu dengan Kenan, melainkan karena ingin menemui Papanya yang selalu memerhatikan Kenan, tetapi tidak pernah mau menunjukan wajahnya di depan Kale."Lo nggak nyamperin Bokap lo?" tanya Daffa setelah duduk dalam bus.
Kale menundukan pandangan. "Yang pengen dia liat Kenan bukan gue."
Jawaban itu sederhana, tetapi entah mengapa terdengar cukup menyakitkan. Daffa jadi teringat omongan Kale ketika mereka pertama kali bertemu. Saat itu dia belum mengerti maksudnya, tetapi setelah melihat apa yang dilalui Kale selama ini, tanpa mengalaminya pun, dia bisa mengerti bagaimana sulitnya hari-hari yang dilalui sahabatnya.
"Seharusnya lo bersyukur. Orangtua lo cuma mengabaikan lo, nggak kayak gue. Bokap sama Nyokap gue bahkan nggak pernah menginginkan gue. Nggak peduli sebaik apa sikap gue, mereka nggak pernah mandang gue."
Daffa menghela napas panjang, bayangan Papanya Kale ketika memandang Kenan muncul dalam benaknya. Pandangan lembut seperti itu tidak pernah ditunjukan pada Kale yang notabenenya adalah anak kandung seperti Kenan.
"Lo sama Kenan itu sodara kembar, tapi kenapa nasib kalian beda banget, ya?" Daffa terkekeh pelan, pertanyaan ironi itu menjadi akhir dari percakapan mereka hari itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...