8. Luka di Hatimu

339 57 0
                                    

Malam itu Kale memasukkan semua baju-bajunya ke dalam ransel, besok dia harus segera pergi dari sini. Entah itu datang menemui ibunya atau pergi ke tempat lain, setidaknya dia harus pergi dulu agar hidup Samael lebih tenang.

Dia menghela napas panjang setelah selesai mengepak semua baju-bajunya. Entah hatinya yang gelisah, atau pikirannya yang sedang kalut, dia sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Setiap kali dia berusaha untuk tidur, kata-kata yang dilontarkan Tante Rose padanya selalu terngiang-ngiang dalam kepalanya, membuatnya semakin gelisah.

"Apa kamu tidak berniat tinggal bersama ibumu? Saya kasihan lihat Samael. Akhir-akhir ini dia terlihat kelelahan." Tante Rose menghela napas panjang. "Pasti sulit buat Samael sekarang, sudah harus bayar utang Papanya, sekarang malah harus mengurus orang lain."

Saat itu yang dilakukan Kale hanya diam sambil menundukkan kepala.

"Usianya masih muda, seharusnya dia bersenang-senang bukannya bekerja keras sampai nggak mengenal waktu." Tante Rose menatap Kale. "Jika kamu tinggal bersama ibumu, pasti beban Samael berkurang sedikit. Maaf jika Tante bicara keterlaluan, Tante cuma kasihan lihat keponakan Tante sekarang. Tante harap kamu pikirin baik-baik saran Tante."

Kale menghela napas panjang, tangannya memutar-mutar bungkus rokok. Dia menengadahkan kepalanya ke atas langit-langit, berusaha sekuat tenaga agar matanya yang berkaca-kaca tidak mengeluarkan air mata.

Kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Samael sudah melakukan banyak hal untuknya, bahkan lelaki itu mendapat hinaan dari orang-orang gara-gara dirinya. Jika dia terus tinggal di sini, Samael tidak akan bisa hidup untuk dirinya sendiri.

Sepertinya dia memang harus pergi dari sini.
Karena tidak bisa tidur sama sekali, ketika jam menujukan pukul enam pagi, Kale langsung keluar dari kamarnya lalu membuatkan sarapan untuk dirinya dan Samael. Setidaknya dia harus memberi kesan yang baik sebelum pergi meninggalkan rumah ini. Selama ini Samael sudah sangat baik padanya, dia juga harus membalas budi sedikit.

Sambil berusaha memasang raut wajah seolah semuanya baik-baik saja, Kale menatap Samael yang baru keluar dari dalam kamar lalu tersenyum lebar.

"Tumben banget lo nyiapin sarapan kayak begini." Samael mengerutkan kening. "Ada acara apa?" tanyanya sambil menerima secangkir kopi dari Kale.

Kale berdiri memunggungi Samael, berusaha menahan sesak dalam dadanya. "Nggak ada apa-apa. Sesekali bikin nggak papa kali." Dia melirik abangnya sekilas. "Lah, tumben banget rapi. Ada kerjaan?"

Samael menganggukkan kepala. "Hemm, sial banget. Ada kerjaan mendadak, harus ke kantor hari ini juga."

Kale tersenyum kecil. "Asal Mbak Rayya nggak protes sih nggak papa. Lagian lo bisa dapet bonus lebih."

"Duit gue emang nambah, tapi kapan nikmati hasilnya, elahh?"

Kale mendelik. "Sok banget. Mentang-mentang gaji lo gede."

Samael tersenyum lembut. "Harus, dong." Dalam benaknya, dia membayangkan jika gajinya terus bertambah besar maka dia bisa memenuhi kebutuhan dirinya dan Kale dengan baik, dia juga bisa memberikan pendidikan yang layak untuk adiknya. Namun sayangnya pemikirannya langsung terputus saat tiba-tiba Kale kembali bicara.

"Bang," panggil Kale setelah melihat Samael menghabiskan makanannya. "Kemarin... gue ketemu sama ibu..." Dia menundukkan kepala, tidak ingin melihat ekspresi Samael sekarang. "Terus ibu nawarin gue buat tinggal bareng beliau."

"Apa?"

Kale memasang senyum palsu, terlihat seolah dirinya bahagia. "Kemarin gue ketemu sama Ibu pas mau ngasih diarynya Ayah. Setelah bicara banyak hal, Ibu ngajak gue buat tinggal bareng." Dia menjelaskan dengan lancar.

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang