11. Jika

318 52 4
                                    

"Nggak ada yang duduk di sini, kan?" tanya Kale pada Gia yang saat itu sedang membaca buku di kantin, kedua matanya melihat ke sekitar—mencari tempat duduk kosong yang sama sekali tidak dia lihat kecuali bangku yang diduduki oleh Gia.

Gia melihat ke sekitar kantin yang penuh, seolah seperti setengah murid sekolah ini berkumpul di kantin. "Duduk aja. Nggak ada yang nungguin."

Kale segera menaruh buku sketsa dan alat gambarnya ke atas meja. Sama sekali tidak menyadari bahwa orang-orang di sekitar memperhatikan interaksinya dengan Gia.

"Kamu nggak makan siang?" Gia melihat Kale sama sekali tidak membawa makanan apa pun.

"Penuh, nunggu yang lain selesai pesen dulu."

Gia langsung terdiam, menunggu antreannya reda? Mungkin Kale harus menunggu hingga jam istirahat habis. Dia menggeser kotak bekal yang sedari tadi diabaikannya ke hadapan Kale saat mendengar suara samar dari perut Kale.

"Bakalan lama banget kalau nunggu orang habis ngantre. Aku masih ada nasi goreng yang belum dimakan." Gia bicara ragu-ragu. "Kamu makan aja kalau mau, tapi nasinya udah agak dingin mungkin nggak seenak yang lain."

Kale yang sedari tadi menggambar sambil menahan lapar karena belum makan apa pun dari semalam menatap nasi goreng di hadapannya seperti sedang mendapat hadiah paling berharga.

"Kamu aja yang makan, aku bisa nyerobot antrean, atau entar suruh Sandi buat beliin roti. Gampang."

Gia menunjuk kotak bekal yang sudah kosong. "Aku udah makan tadi." Dia tersenyum kecil. "Mama bikin bekalnya dua, tapi Mas Reza pergi buru-buru jadi nggak kebawa bekalnya. Kata Mama aku bawa dua-duanya aja. Daripada mubazir, kamu makan aja."

Mata Kale langsung berubah cerah. "Nggak papa nasi gorengnya buat aku?"

Gia menganggukkan kepala.

"Makasih. Kebetulan aku lagi laper banget." Takut Gia berubah pikiran, Kale langsung memakan nasi gorengnya. Dia mendesah panjang, mungkin karena sudah sangat lama hanya memakan mie instan setiap hari, entah mengapa dia merasa nasi goreng ini terasa begitu enak.

Yang tidak mereka sadari, orang-orang yang duduk dekat mereka mulai membicarakan mereka hingga kemudian langsung terhenti saat Daffa datang bersama seorang cewek.

"Udah mau kembali sekarang?" Kale mengerutkan kening saat melihat Gia membereskan barang-barangnya. "Istirahatnya masih lama."

Gia tampak gugup. "Aku masih ada tugas jadi harus pergi sekarang." Dia tersenyum pada Kale lalu buru-buru pergi bertepatan ketika Daffa sampai di meja yang ditempati oleh Kale.

Begitu menyadari sesuatu, Kale langsung mendesah panjang seraya menatap punggung Gia yang menghilang dibalik kerumuman orang-orang. Sepertinya cewek itu masih belum siap bertemu dengan Daffa secara langsung apalagi harus menahan diri saat melihat interaksi Daffa dan pacarnya yang sedikit kelewat batas.

"Cari meja lain sana!" Kale mendesis kesal, saat ini dia sedang tidak ingin berbasa-basi dengan cewek mana pun. "Udah penuh."

"Biasa aja kali." Daffa menarik tempat duduk untuk Erika. "Duduk di sini. Udah bersih."

"Makasih." Erika menatap Kale yang kini sudah kembali menggambar sesuatu di buku sketsanya. "Kamu pasti temennya Daffa, aku Erika—"

"Nggak usah ngomong sama dia." Daffa memotong sebelum Kale bicara sinis pada Erika. "Abaikan dia aja kalau ketemu, orangnya nyebelin. Nggak usah dianggap." Dia mencibir. "Gue aja bingung, apa yang diliat Gia sampai mau pacaran sama orang sinis macam dia."

"Gue denger, anjir." Kale membanting pensilnya. "Lo... kebiasaan deh kalau pacaran pasti lupa daratan. Awas ketipu lagi sama kayak yang dulu."

"Mereka beda orang. Jangan disamain dong. Lagian sekarang gue serius!"

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang