"Lusa nanti kosongkan waktu kalian. Saya berencana menemui Kenan dan Rima secara langsung." Papa menatap Kale, waspada jika anak itu ingin menolak lagi seperti sebelumnya. "Tidak ada penolakkan!"
Kale tidak peduli, dia terus makan dengan raut wajah datar, tidak menentang juga tidak menerima.
"Anggap saja kita sedang merayakan keberhasilan Kenan." Senyum di wajah Papa terlihat begitu tulus. "Ini pertama kalinya dia berhasil menjuarai olimpiade."
Kale tersenyum mengejek. "Bodoh."
"Apa?"
Kale melirik Papa masih dengan ekspresi yang sama. "Saya baru nyadar, diantara semuanya, Kenan yang paling bodoh." Dia mengabaikan ekspresi marah di wajah Papa. "Setelah sekian lama, Kenan baru sekali memenangkan kejuaraan." Dia mengangukkan kepala. "Memang pantas dirayakan."
Samael mengedipkan mata, apa adiknya sedang melakukan aksi protes dengan cara yang berbeda sekarang?
"Kamu sedang mengejek saudaramu."
Kale memutar bola mata. "Bukan mengejek tapi kenyataannya memang begitu." Dia menghela napas panjang. "Cuma Matematika, mana soalnya nggak beda jauh sama tahun kemarin. Menyedihkan."
"Diam! Kamu harus menghargai usaha Kenan. Keberhasilan ini diraih Kenan dengan susah payah. Dia belajar siang dan malam demi bisa menjadi juara olimpiade."
Kale terkekeh pelan, merasa lucu mendengar pembelaan Papanya. Dia menelengkan kepala. "Dan itu demi siapa?" Dia menatap Papa dengan serius. "Bukan Papa, tapi demi ayah barunya."
"Kale Rashad!"
Kale masih bersikap tenang, sama sekali tidak terganggu dengan bentakkan Papa. "Lusa, ya... Papa kasih tau aja waktu dan tempatnya. Nanti saya datang." Dia menatap Samael sekilas. "Abang bisa pegang kata-kata saya kali ini. Saya akan datang menemui saudara saya dengan bahagia."
"Kalian tidak perlu khawatir." Papa bicara saat Kale dan Samael hendak pergi. "Setelah ini, saya tidak akan mengajak kalian menemui Kenan lagi. Hanya sekali. Tolong dengarkan permintaan saya. Anggap saja sebagai perpisahan."
Kale menundukkan kepala dalam-dalam, teringat pembicaraannya dengan Papa beberapa hari yang lalu. Apakah perpisahan yang dibilang Papa adalah dengan pergi untuk selamanya? Apa karena Papa tahu dia tidak akan bisa menemui Kenan lagi untuk selamanya?
Diam-diam Kale menghela napas, entah sudah berapa kali dia mendapat ucapan bela sungkawa dari teman Papa dan keluarganya. Hampir semua dari mereka mengasihani dirinya karena sudah kehilangan salah satu orang tua. Dia tidak merasa heran, mungkin mereka menganggap kalau hubungannya dengan Papa sangat baik layaknya ayah-anak pada umumnya.
"Yang kuat ya, Nak!" Entah siapa yang bicara, Kale hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum kecil.
"Jangan berlarut dalam kesedihan. Kamu tidak sendiri." Entah siapa lagi yang bicara, Kale semakin muak didatangi oleh banyak orang.
Sejujurnya, andaikan tidak akan menimbulkan keributan, dia sangat ingin mengusir semua orang dari sini dan membiarkannya sendiri. Membiarkannya merenungi apa yang telah terjadi, membiarkannya sendiri untuk menyadari bahwa Papanya sudah benar-benar meninggal sehingga punya alasan untuk menangis dan bersedih.
Anehnya, alih-alih rasa sedih dan kehilangan, Kale sama sekali tidak merasakan apa pun. Dia tidak bisa menangis, bahkan sama sekali tidak merasa bersedih saat dokter bilang bahwa Papa sudah meninggal. Wajahnya terus menampilkan satu ekspresi; datar bahkan ketika semua orang menangis saat Papa dimakamkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...