Pagi itu Daffa berjalan malas-malasan ke dalam kelas, dia bahkan tidak peduli dengan suara ribut kelas yang bilang kalau hari ini akan ada ujian Biologi. Yang dia inginkan adalah cepat-cepat sampai ke tempat duduknya dan tidur, tetapi keinginannya langsung sirna saat melihat Kale sedang duduk sambil bermain game di ponselnya.
"Lahh, kirain lo nggak bakalan masuk, tau gitu kita berangkatnya bareng."
"Ngapain di rumah lama-lama, nggak ada gunanya." Kale menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel.
Sebelah alis Daffa terangkat, melihat ekspresi wajah Kale yang muram sepertinya cowok itu sedang kesal. Apa anak-anak di kelas langsung mengerubungi Kale dan bilang berduka untuk cowok itu? Dia menghela napas panjang, padahal Kale membenci hal seperti itu.
Dan Daffa baru sadar, ternyata sikap Kale mulai berubah.
Semenjak Papanya pergi, Kale menjadi lebih pendiam. Meski cowok itu masih suka bercanda dengan orang lain, tetapi Daffa merasa seperti Kale sedang berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Ada saat dimana dia melihat Kale duduk sendirian sambil melamun, bahkan suatu waktu, ketika Kale sedang menggambar tiba-tiba dia mencoret-coret gambar tersebut seolah marah pada hasil karyanya sendiri lalu mengatakan hal yang membuat Daffa tahu bahwa kepergian Papa berdampak besar pada hidup Kale.
"Daf, kenapa ya gue ngerasa capek padahal nggak ngelakuin apa-apa." Kale mengatakannya dengan nada biasa saja, tetapi kedua matanya memperlihatkan rasa sedih yang baru Daffa lihat.
Hari itu berbeda seperti hari-hari biasa, Daffa melihat Kale gelisah seharian sambil sesekali membaca sebuah buku. Bahkan cowok itu tidak berpura-pura bahagia, wajahnya menampilkan ekspresi muram.
"Ngapain kita ke sini? Bukannya lo udah nggak kerja di toko itu, kan?" tanya Daffa saat berjalan mengikuti Kale seraya melihat ke sekitar jalan yang terasa familier.
Tidak peduli seberapa banyak pun Daffa bertanya, Kale tidak pernah menjawab pertanyaan cowok itu. Dia hanya terus berjalan dengan ekspresi datar.
"Lo dengerin nggak, sih? Apa jangan-jangan lo mau ketemu sama Kenan?" Daffa bertanya lagi, sekilas dia melihat buku tebal sedari masuk sekolah selalu dipegang oleh Kale seolah buku itu adalah benda berharga yang tidak boleh disentuh oleh siapa pun. "Lo mau ngasih buku itu ke Kenan?" tebaknya tepat sasaran, mulai mengerti penyebab muramnya wajah Kale.
Langkah Kale terhenti sejenak, tetapi detik berikutnya dia kembali melangkah lebih cepat.
Mau tak mau Daffa terus mengikuti sampai akhirnya mereka berhenti saat mendengar suara gaduh dari arah gang sempit yang baru saja mereka lewati. Awalnya mereka tidak peduli dan hampir saja lewat andaikan Daffa tidak melihat siapa yang sedang diganggu oleh murid-murid nakal itu.
"Bukannya itu Kenan, Le!" Daffa menarik bahu Kale agar berhenti.
Kale langsung melihat ke arah yang ditunjuk Daffa. Ekspresi wajahnya tidak berubah malah terkesan dingin.
Saat itu Daffa berpikir Kale akan langsung melangkah maju dan menolong Kenan, namun siapa sangka kalau cowok itu hanya diam mematung. Alih-alih pergi menolong bak seorang superhero, Kale malah berbalik pergi seolah tidak peduli jika saudaranya sendiri dipukuli oleh anak-anak lain.
"Itu..." Belum sempat Daffa menyelesaikan ucapannya, terdengar teriakan peringatan dari belakang gerbang sekolah yang membuat anak-anak yang sedang mengganggu Kenan langsung pergi seketika.
Daffa mulai takut, sebenarnya sesakit apa hati Kale hingga sikapnya menjadi sangat dingin? Sejujurnya dia lebih suka Kale yang marah-marah dan melampiaskan semua emosinya, bukan diam seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...