"Sejak kapan lo suka sama Gia?" tanya Daffa saat Kale pertama kali membuka matanya. Entah sejak kapan cowok itu berada di kontrakannya. "Tunggu, kenapa gue nggak pernah denger kalau lo suka sama Gia? Perasaan baru-baru ini lo bilang tipe ideal lo itu Selena Gomez, deh. Kenapa sekarang ngedadak jadian sama Gia?"
Kale malas menanggapi Daffa, dia berbaring ke arah lain dan lanjut tidur.
Daffa menggoyangkan bahu Kale. "Oi, jawab, dong. Lo serius kan sama Gia? Dia sahabat gue dari kecil, kalau lo mainin dia, gue nggak akan peduli mau lo sahabat gue atau bukan pasti gue kasih pelajaran."
Kale membuka matanya dan menatap kosong dinding lusuh di depannya. Lidahnya kelu, tidak mampu mengatakan yang sebenarnya. Haruskah dia bilang kalau sebenarnya Gia lebih menyukai Daffa dan hanya menganggap dirinya sebagai teman, haruskah dia menjelaskan kalau sebenarnya yang ingin 'ditembak' Gia adalah Daffa bukannya dirinya. Dia mendesah pelan, merasa bingung, kenapa dia harus terjebak disituasi seperti ini?
"Aku nggak tau kalau ternyata Daffa udah punya pacar baru." Gia menundukkan kepala, tangannya mengusap kotak berisi cokelat yang sudah dia siapkan saat menyatakan perasaannya pada Daffa. "Untungnya aku keburu liat dia, kalau nggak hubunganku dengan Daffa pasti hancur."
Saat itu, Kale hanya diam.
Gia tersenyum. "Makasih udah bantuin aku." Dia memberikan kotak cokelat itu pada Kale. "Buat kamu aja. Katanya kamu suka yang manis-manis."
Sayangnya, gara-gara kotak pernyataan cinta yang dibawa Kale membuat orang-orang berpikir bahwa dia menerima pernyataan cinta Gia. Entah siapa orang yang menambahkan sampai semua orang berpikir bahwa dirinya dan Gia berpacaran.
Dalam hati Kale mencibiri sifat Daffa yang kurang perhatian sampai-sampai tidak sadar kalau sebenarnya Gia menyukai cowok itu dari dulu.
"Le! Ah, nggak seru lo mah! Bangun, dong! Cerita sama gue. Sejak kapan lo suka sama Gia?"
Karena sudah tidak tahan, tiba-tiba Kale bangun lalu menatap langsung ke mata Daffa. "Kenapa? Lo nggak setuju gue jadian sama Gia? Lo nggak suka kalau dia deket sama gue? Takut gue apa-apain dia?"
Wajah Daffa memerah, dia memalingkan wajah sembari menggerutu dalam hatinya karena tidak bisa berpikir jernih ketika mengetahui kedua sahabatnya memutuskan berpacaran. Jika dipikir-pikir lagi tidak ada salahnya jika Kale menjadi pacar Gia, dia mengetahui sifat Kale luar dalam yang membuatnya yakin kalau Kale tidak akan menyakiti Gia. Hanya saja, entah mengapa dia merasa sedikit ragu dan mungkin terkejut. Bingung, apakah dia harus merasa senang atau kecewa?
Kale tersenyum miring saat melihat raut wajah Daffa. "Kenapa? Apa sekarang lo berpikir buat nyuruh gue putus sama Gia, heh?"
"Eh, apa?"
Kale tidak menjawab, dia segera bangkit berdiri saat mendengar seseorang memanggil namanya.
Satu jam kemudian Kale kembali lagi dengan penampilan berantakan. Wajahnya yang tampan bahkan terlihat kumal sampai-sampai Daffa yang sedari tadi menunggu di dalam kontrakan merasa heran.
"Njir, habis bersihin sungai yang mana lagi? Badan lo bau banget!" Daffa segera menjauh saat Kale hendak masuk ke dalam.
Mata Kale menyipit, alih-alih langsung pergi ke kamar mandi, dia malah menghampiri Daffa lalu menggosok-gosokkan badan baunya ke pakaian Daffa sembari tertawa senang karena puas sudah berbagi bau dengan temannya.
"Gila lo!" Daffa meratap seraya memeluk tubuhnya sendiri, ekspresi wajahnya tampak mengenaskan. "Gue udah nggak perawan lagi, sialan." Dia menangis seraya mengusap-ngusap tubuhnya. "Gue nggak bisa dilecehin begini, anjir."
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...