4. Rasa Kesal

485 69 5
                                    

Kale menatap lembaran soal di hadapannya dengan pandangan muram. Dia menghela napas panjang, sepertinya guru di sekolah ini terlalu memandang tinggi dirinya. Dia mungkin memiliki ingatan yang bagus dan sedikit pandai berhitung, namun untuk mendadak pindah dari peserta olimpiade Matematika menjadi Fisika adalah hal yang sedikit tidak masuk akal.

"Entar lama-lama kertas itu jadi debu kalau lo tatap terus begitu." Daffa menegur seraya menepuk bahu Kale, dia menatap lembar soal di atas meja. "Itu soal Fisika yang dikasih sama Bu Agni?" Matanya menyipit kemudian melengos. "Njir, itu tuh soal pelajaran atau soal jalan buat menuju ke neraka? Ngeri banget!"

Kale menggeplak kepala Daffa. "Bukannya lo mau ambil jurusan Programer pas kuliah nanti."

Daffa mendengus. "Entar aja belajarnya pas mau kuliah." Dia menatap Kale penuh minat. "Ngomong-ngomong, jadinya lo mau kuliah di kampus mana?"

"Gue baru aja naik kelas 11, ngapain mikirin soal kampus. Entaran aja mikirnya pas udah kelas 12."

Daffa semakin sinis. "Anak pinter emang beda ya kalau ngomong." Dia menyindir. "Mentang-mentang bakalan diterima di kampus mana pun."

Kale hanya tersenyum seraya membereskan lembar soal di atas meja, dia berencana mengerjakan soal itu di rumah karena kebetulan hari ini dia libur kerja. Baru juga dia mau mengajak Daffa untuk meninggalkan kantin, tiba-tiba seorang cewek berteriak memanggil nama Daffa.

"Sial." Kale bergumam seraya memejamkan mata. "Kenapa itu cewek harus datang sekarang, sih!" Dia menggeram, menatap Daffa penuh permusuhan. "Anjir, gimana lo bisa suka sama cewek ganjen itu?"

Daffa memukul bahu Kale. "Jangan sembarangan kalau ngomong. Cewek yang barusan lo ejek itu pacar gue."

"Emang gue peduli!" Belum sempat Kale pergi, cewek ganjen yang menjadi pacar Daffa sudah tiba di hadapan mereka lengkap dengan senyum anehnya--setidaknya itulah yang terlihat di mata Kale.

"Sayang, kenapa nggak dateng ke kelas? Aku nunggu dari tadi." Mikaila duduk di samping Daffa sambil sesekali melirik ke arah Kale yang terpaksa membuka lembar soal lagi dengan gerakkan kesal.

Daffa tersenyum lebar. "Maaf, tadinya aku mau pergi ke kelas kamu, tapi nggak jadi soalnya nyari Kale dulu. Dari tadi dia nggak keluar-keluar setelah dipanggil sama Bu Agni."

Mikaila mengerutkan kening, mulai kesal. Sejak awal pacaran, dia merasa Daffa lebih suka mengurusi Kale dulu daripada dirinya. Seolah dirinya bukan pacar Daffa saja.

"Aku takutnya dia dapet masalah lagi. Tapi ternyata nggak." Daffa melanjutkan dengan tampang polos.

Mikaila langsung mengalihkan perhatian pada Kale. "Lo nggak ada urusan lain apa selain ngeganggu Daffa? Kayaknya tiap hari suka nempel terus sama Daffa."

Kale yang sedari tadi memfokuskan pikirannya pada soal Fisika di hadapannya langsung menatap Mikaila. "Baru jadi pacar aja udah belagu."

"Apa?!" Teriakan Mikaila yang melengking berhasil menarik perhatian seisi kantin. "Gue nggak belagu. Gue punya hak buat ngatur Daffa. Sementara lo apa? Cuma temennya yang bawa dampak buruk ke pacar gue. Asal lo tau aja, semenjak Daffa temenan sama lo, dia jadi urakan."

Rahang Kale mengetat, andaikan orang yang sedang bicara ini seorang cowok, dia tidak berpikir dua kali untuk memukulnya. "Tarik kembali ucapan lo."

"Kenapa? Semua yang gue katain bener, kan? Mending lo jauh-jauh dari Daffa."

Kale tersenyum kecil. "Apa yang lo kasih ke Daffa sampai bicara kayak gitu? Sampai berani bilang punya hak buat ngatur hidup Daffa? Uang? Anjir, lo bahkan bisanya cuma morotin duitnya Daffa. Atau jangan-jangan lo ngasih tubuh lo, heh."

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang