20. Pergi Tanpa Pamit

476 42 5
                                    

"Lo udah beneran yakin sama keputusan lo?" tanya Samael menghentikan Kale yang hendak menghidupkan mesin mobil. "Bertanggung jawab atas kesalahan orang lain bukan hal yang mudah buat dijalanin, Le."

Kale menatap Samael.

"Gue nggak mau tiba-tiba lo nyesel di tengah jalan terus ninggalin Gia dan anaknya karena nggak kuat."

"Lo pikir gue sebrengsek itu?"

Samael balas menatap Kale sungguh-sungguh. "Gue nggak akan ngelarang lo bantu Gia, kalau lo mau bertanggung jawab dan menikah dengan Gia, gue bakalan dukung, gue juga pasti bakalan bantuin lo ke depannya. Tapi yang gue tanya, apa lo bisa menikahi Gia bukan karena nurutin nafsu sesaat dan amarah lo aja? Apa lo mampu menikahi Gia karena rasa kasihan dan rasa sayang yang lo rasain ke dia?"

Kale terdiam.

"Gia juga punya perasaan, Le. Dia udah direndahin sama cowok lain, gue nggak mau lo juga ngelakuin hal yang sama nantinya." Samael menambahkan. "Lo masih muda, rasa penasaran lo masih tinggi, gue nggak mau lo ngerasa hidup lo hancur hanya karena menikah di usia muda."

Kale menatap Samael untuk waktu yang lama tanpa mengatakan apa pun.

"Daripada lo mundur di tengah jalan, mending lo berhenti dari sekarang. Kita bisa jelasin sejelas-jelasnya ke keluarganya Gia. Lagian, Thariq juga udah tau yang sebenarnya, lo nggak perlu nurutin keinginannya."

Alih-alih memikirkan ulang keputusannya, Kale malah tercengang saat mendengar semua ucapan Samael yang menggebu-gebu. Apakah abangnya masih trauma terhadap masa kecilnya yang selalu ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya?

"Bang, lo takut gue bersikap sama kayak Om Hasib?"

Samael tercengang.

Kale menarik napas panjang, sejujurnya dia tidak ingin mengungkit masa lalu Samael yang mungkin sangat menyakitkan bagi lelaki itu. "Lo takut gue ninggalin anaknya Gia kayak Om Hasib yang ninggalin lo dan Tante Endah?"
Ekspresi di wajah Samael langsung menghilang seketika.

Kale menghindari pandangan Samael karena dia tahu hati lelaki itu pasti terluka lagi jika mengingat masa kecilnya yang menyakitkan. "Gue nggak akan ninggalin Gia kecuali dia yang minta gue pergi. Setahun. Seperti yang diminta Mas Thariq, gue akan tetap tinggal apa pun yang terjadi."

Samael memandang ke arah lain, ekspresinya tampak muram. "Om Hasib juga bilang hal yang sama ke gue. Beliau bilang nggak akan ninggalin gue dan akan ngerawat gue sama Mama sampai tua nanti. Tapi, nyatanya beliau nggak tahan sama omongan orang-orang dan mungkin berpikir merawat kita hanya menjadi beban buat beliau, sebab itu pada akhirnya beliau pergi milih jalan hidupnya yang sempat kami ganggu karena harus bertanggung jawab atas kesalahan yang nggak beliau perbuat."

Dia melirik Kale. "Lo tau apa yang paling menyakitkan buat gue waktu itu?" Tanyanya dengan nada ironi. "Saat Mama bilang kalau gue nggak punya hak buat minta Om Hasib tinggal bersama gue. Saat Mama bilang kalau kita bukan bagian dari Om Hasib lagi."

Dia menarik napas panjang seolah sedang berusaha menahan sesak dalam dadanya. "Gue nggak mau anaknya Gia ngalamin hal yang sama karena gue tau gimana rasanya ditinggalin." Dia menundukkan pandangan. "Setangguh-tangguhnya lo, pasti ada saat dimana lo ngerasa pengen lari. Makanya, kalau lo cuma terbawa nafsu sama amarah, mending lo mundur, nggak perlu nurutin Thariq buat bertanggung jawab."

"Apa gue se-childish itu di mata lo, Bang?" tanya Kale merendahkan nadanya. "Apa di mata lo gue tipe orang yang gampang ninggalin orang tanpa mikirin orang yang gue tinggalin?"

Samael terdiam.

"Gue masih punya prinsip, Bang. Apa yang menjadi pilihan gue, pasti akan tetap gue pertahanin. Lo salah satunya." Kale berkata dengan sungguh-sungguh. "Hal yang sama berlaku juga buat Gia dan anaknya. Gue udah milih buat bertanggung jawab, meski itu bukan kesalahan gue. Mungkin awalnya berat, tapi gue akan berusaha buat beradaptasi dan nerima secara perlahan sampai gue nggak punya pikiran buat ninggalin mereka."

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang