17. Perpisahan

331 48 7
                                    

"Di mana?" Kale mengerutkan kening, rasa pening di kepalanya berhasil membuatnya memejamkan mata kembali. Dari bau alkohol dan suasana dingin yang dia rasakan, tanpa membuka mata pun dia tahu sedang dimana dirinya berada. "Kenapa gue bisa masuk UKS?" tanyanya lagi seraya menatap Daffa yang memerhatikannya dengan penuh kecemasan.

"Anjir, lo bikin gue jantungan aja!" Daffa menarik napas lega, ekspresi wajahnya memperlihatkan seolah dia baru saja keluar dari hal paling mengerikan.

Kale mencoba mengingat kembali yang terjadi padanya sebelum pingsan. Saat itu kalau tidak salah dia sedang olahraga mengelilingi lapangan bersama anak-anak lain. Apa saat itu dia terjatuh? Dia mencoba menggerakkan kakinya yang kini tiba-tiba terasa sakit.

"Kenapa? Lo ngerasa sakit? Bagian mana? Biar kita pergi ke rumah sakit aja."

Kale menarik napas panjang. "Nggak perlu. Ngapain ke rumah sakit segala."

Daffa berdecak pelan. "Nggak perlu lo bilang?" Dia berdecak pelan. "Njir, lo tiba-tiba pingsan gitu aja pas lari tadi, mana muka lo pucat banget. Tau nggak berapa lama lo pingsan?"

Kale mengerutkan kening, omelan Daffa benar-benar membuat kepalanya sakit.

"Empat jam! Lo pingsan empat jam, anjir! Lo bahkan nggak bangun-bangun masing anak-anak yang lain teriak manggilin lo sampai mereka diusir sama petugas." Daffa terus mengomel. "Sebenernya lo ini belum makan dari lusa atau gimana sih? Bikin khawatir aja!"

Kale tidak menjawab, sepertinya penyakitnya semakin parah. Dia menghela napas panjang, tadinya dia berhenti minum obat karena berpikir kakinya baik-baik saja, dia pun mengabaikan panggilan dokter yang menyuruhnya untuk melakukan pemeriksaan rutin.

"Bentar gue panggilin petugas kesehatan dulu. Dia kemana sih? Bukannya stay malah jalan-jalan keluar!"

"Nggak perlu." Kale mencoba bangun meski kepalanya langsung terasa pening. "Gue mau balik sekarang."

"Beneran? Lo udah nggak papa?"

Kale mengabaikan pertanyaan Daffa kemudian segera berdiri dengan benar dan mencoba bersikap baik-baik saja.

"Sini deh gue papah lo." Tanpa menunggu persetujuan dari Kale, Daffa langsung merangkul cowok itu dan membawanya pergi ke gerbang sekolah. "Lo tunggu di sini. Gue mau bawa mobil dulu."

Mau tak mau Kale menurut, dengan enggan dia duduk di halte depan sekolah. Karena kebetulan saat itu bertepatan dengan jam pulang sekolah, di depan menjadi sangat ramai sampai kedua matanya tidak sengaja menangkap sosok cewek yang dia kenal. Awalnya dia hendak memanggil Gia namun mengurungkan niat ketika melihat cewek itu langsung masuk ke dalam mobil.

"Kenapa bengong aja? Masuk!" teriakan Daffa menarik perhatian Kale.

Kale tidak langsung menurut, kedua matanya terus menatap kepergian mobil yang membawa Gia pergi. Entah mengapa melihat ekspresi Gia yang ketakutan tadi membuatnya gelisah.

"Lo udah ketemu sama Gia hari ini?" tanyanya saat masuk ke dalam mobil.

Daffa berdecak pelan, tidak mengerti suasana hati Kale. "Kenapa? Lo kesel karena nggak ada Gia pas lo buka mata?"

Kale memberi isyarat agar Daffa menjawab pertanyaannya saja.

"Tadi datang tapi cuma sebentar."

Kale mendesah panjang, tiba-tiba menyadari kalau akhir-akhir ini sikap Gia sedikit berubah. Cewek itu lebih sering menghindarinya, saat bersamanya pun, Gia sering melihat ke sekitar seperti takut dan gugup.

"Jangan marah. Dia datengnya pas jam pelajaran."

"Siapa yang marah." Kale melengos, sepertinya dia harus mencari tahu mengapa sikap Gia berubah secara tiba-tiba padahal kemarin tampak baik-baik saja.

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang