12. Lelah

421 51 4
                                    

"Gue nggak sengaja nemu surat pemeriksaan RS di tas lo." Samael segera menambahkan ketika Kale menatapnya. "Gue nggak baca banyak, cuma ujungnya doang."

"Oh." Kale menanggapi dengan gaya santai. "Itu punya Adrian, tadi dia pingsan pas pulang sekolah terus dibawa ke rumah sakit. Karena ortunya nggak dateng-dateng jadinya dia ambil sendiri hasil pemeriksaannya."

Tetapi entah mengapa Samael merasa ragu. Kale tidak berbohong padanya, kan? "Terus kenapa suratnya ada di lo?"

Kale menjawab tanpa menatap Samael, berpura-pura bahwa ayam geprek di hadapannya sangat enak. "Karena dia ngebuang suratnya. Ya kali gue biarin gitu aja. Gue ambil entar mau dikasih ke ortunya."

Ada perasaan lega ketika mendengar penjelasan Kale, tetapi entah mengapa Samael tetap merasa janggal. Dia merasa sejak awal ada yang disembunyikan oleh Kale darinya, samar-samar dia juga merasakan tembok pembatas yang dibuat Kale sehingga dirinya tidak bisa mendekat seperti dulu.

"Bang, gambar yang gue buat mulai dijual dan ada yang beli. Hasilnya lumayan, jadi lo nggak perlu ngasih gue uang lagi." Kale menatap Samael. "Lo bisa tabung uangnya buat acara nikah lo nanti, lagian lo juga masih harus bayarin utang Papa."

Samael menaruh sendoknya ke atas piring. "Uang yang gue kasih ke lo nggak seberapa. Nggak bikin gue ngedadak nggak makan, lo juga nggak perlu cemas. Utang Papa udah mulai lunas, gue juga dapat bonus banyak."

"Tetep aja." Kale memandang ke arah lain, meski ada rasa malu tetapi uang yang diberikan Samael selama ini berhasil membuatnya bertahan hingga sekarang. Meski tidak banyak, tapi cukup menyambung hidupnya hingga dia mendapat uang yang lebih cukup.

"Tunggu nanti aja. Kalau gaji gue naik dan gue udah lunasin utang Papa, lo bisa balik lagi ke sini." Samael tersenyum senang dengan pemikirannya. "Tanpa ada rasa sungkan. Tunggu aja."

Kale tidak bisa menahan senyumnya, diam-diam dia menghela napas.

"Gue balik dulu, udah malam." Kale mengambil ranselnya dan bersiap pergi.

Samael langsung berdiri. "Gue anter."

"Nggak perlu. Gue mau ketemu sama temen yang punya surat dulu. Udah nunggu di depan." Kale berjalan keluar. "Makasih buat makan malamnya." Setelah mengucapkan salam, dia segera pergi meninggalkan rumah tanpa memberi Samael kesempatan untuk bicara.

Kale berjalan sampai depan komplek tanpa rasa takut akan bertemu dengan Daffa. Saat melihat mobil hitam yang terparkir di depan, dia langsung masuk ke sana tanpa permisi.

"Kaki lo masih sakit?" tanya Adrian saat Kale masuk ke dalam mobil. "Wajah lo masih pucet, tuh." Sebenarnya dia sangat khawatir saat menemukan Kale terduduk lemah di depan gudang sekolah, saat membawanya ke rumah sakit, dia tidak pernah menyangka akan mendapat kabar buruk.

Kakinya masih sedikit terasa sakit, tetapi Kale masih bisa menahannya. "Gue baik-baik aja." Dia melirik Adrian. "Makasih udah nolongin gue tadi."

Adrian hanya menganggukkan kepala seraya memberikan tiga botol obat pada Kale. "Bokap nyuruh gue buat ngasih ini ke lo." Dia terdiam sesaat, tampak ragu-ragu. "Katanya beliau nggak akan maksa lo buat berobat, tapi sebisa mungkin lo harus rutin minum obatnya. Seenggaknya itu bisa ngeredain sakit di kaki lo."

Dia menatap wajah Kale yang tanpa ekspresi. Sejak mendapat kabar bahwa cowok itu ternyata terkena Osteosarcoma, sikapnya sedikit berubah. Kale menjadi lebih pendiam, tatapannya pun tampak kosong seolah jiwanya sedang tidak berada di tubuhnya.

Adrian menghela napas panjang, tidak bisa menyalahkan Kale. Pasti cowok itu terkejut tiba-tiba saja divonis terkena penyakit serius. Dirinya pun jika ada diposisi Kale pasti responnya akan lebih parah dan mungkin meraung-raung.

I WAS FINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang