"Lo masih di sini?" Kale bertanya dengan nada bingung saat melihat Samael masih ada di rumah.
Mata Samael menyipit. "Lo nggak suka gue di sini?"
Kale memutar bola mata. "Biasanya juga langsung pergi lagi sehabis makan malem. Tumben banget nginep di rumah." Dia menjawab seraya mencari motor maticnya yang semalam dia parkir di garasi. Namun, dia tidak melihat keberadaan motornya di mana pun. "Lo nggak ada kerjaan? Bukannya baru diterima di perusahaan bagus itu?"
Samael yang tadinya sedang mengelap kap mobil mendekati Kale yang masih kebingungan mencari motornya. "Tadinya memang mau langsung balik, tapi nggak jadi."
Kale mengerutkan kening.
Samael mendesah panjang, kebiasaan adiknya ini memang sangat buruk. Sangat jarang anak muda zaman sekarang yang tidak peduli pada kegunaan ponsel. Disaat yang lain sibuk bermain game lewat ponsel, Kale malah lebih suka menggambar dan mengabaikan ponselnya hingga terkadang lupa menaruhnya di mana atau bahkan lupa mengisi daya dan kuota.
"Coba buka WA lo."
Kale segera membuka aplikasi tersebut, ada banyak notifikasi yang masuk tapi dia mengabaikannya dan hanya membuka pesan dari Papa yang memberitahunya bahwa dia mengambil motornya sebagai bentuk hukuman atas kelakuan Kale semalam.
"Sial," gumam Kale setelah selesai membaca pesan dari Papa. "Lo tau ke mana Papa bawa motor gue?"
Samael mengedikkan bahu. "Dijual kayaknya."
"Anjir." Tanpa sadar Kale mengumpat kesal. "Kenapa nggak lo larang?! Bisa-biasanya lo biarin Papa bawa motor gue."
"Menurut lo apa gue bisa menang dari Papa? Kalau beliau ambil mobil gue gimana?!"
"Kayak Papa berani aja! Emangnya dia mau dikatain maling? Mobil kantor kok malah dibawa." Kale mencibir kesal, dalam hatinya merasa geram karena sikap Papa yang menurutnya keterlaluan.
"Sarapan lo." Samael melempar kantong kertas pada Kale. "Nggak sempet buat sarapan. Makan aja yang ada."
Kale hanya mencibir, sambil menggigit sandwich dia mengirim pesan pada Daffa untuk menjemputnya.
"Nggak perlu minta tolong ke Daffa. Gue anterin lo."
Mata Kale menyipit, masih teringat jelas dalam benaknya bagaimana histerisnya cewek-cewek di sekolah saat melihat tampang Samael yang sok bergaya. "Ogah. Bukannya anterin gue, lo malah ngegodain cewek di sekolah."
Samael terlihat ingin memukul Kale, dia mengalihkan perhatian ke arah lain untuk menekan rasa kesalnya. "Kapan gue ngegodain cewek-cewek di sekolah lo?! Enak aja. Gue ini lebih suka cewek yang lebih dewasa bukan ABG macam kalian." Dia melihat jam tangan yang menunjukan pukul setengah tujuh lebih. "Buruan masuk, entar telat."
Masih dengan sandwich di mulut dan ponsel di tangan, Kale segera masuk ke dalam mobil. "Bakalan sampai kapan Papa ambil motor gue?"
"Kan, udah gue bilang kalau Papa ngejual motor lo."
Kale menganga, hampir tidak bisa berkata-kata. Buru-buru dia menghubungi Papa untuk mengkonfirmasi info yang diberikan Samael, namun sayangnya Papa tidak menjawab teleponnya.
"Jangan cemberut begitu elahh, keliatan tambah jelek banget."
Kale mendelik. "Ini tuh keterlaluan banget! Masa cuma olimpiade Papa sampai harus ngejual motor segala." Dia mendesah panjang, dia kesal bukan karena malu tidak punya motor lagi, hanya saja jika dia tidak punya kendaraan, dia tidak bisa bergerak bebas seperti dulu.
"Lo nggak perlu khawatir. Gue bakalan anterin lo ke sekolah." Samael tersenyum lebar. "Pulangnya lo nebeng ke Daffa."
Kale mencibir, saat ini Daffa sedang tergila-gila pada cewek yang baru menjadi pacarnya, mana ada waktu untuk mengantarnya pulang. Kalau pun bisa, Kale pasti harus jadi obat nyamuk. Mana cara pacaran Daffa itu lebaynya kebangetan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WAS FINE
Teen Fiction(Tiga tahun sebelum I Was Here) Kale pikir dia akan baik-baik saja, meski dunianya mulai hancur, meski dia harus kehilangan ayahnya, meski dia ditolak berulang kali oleh Mamanya, meski dokter mendiagnosanya dengan penyakit mematikan, dia akan tetap...